Soeharto Bukan Pahlawan Rakyat !
Penulis : Adinda Putri Chaniavatov (Kepala Dept. Perempuan Pimpinan Pusat FMN)
Meski gelombang penolakan terus bergema, Kemensos tetap bersikukuh mengajukan nama Soeharto dalam daftar calon pahlawan nasional. Alasannya: telah memenuhi syarat formal sebagaimana tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan. Beberapa syarat tersebut: berjasa terhadap bangsa dan negara; setia dan tidak mengkhianati bangsa dan negara; pernah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara; dan pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata, politik, atau bidang lain untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Di samping itu, terdapat pula dukungan terbuka dari Partai Golkar; disebutkan bahwa Soeharto telah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menekan inflasi, dan mewujudkan kedaulatan pangan serta energi. Mudahnya “Bapak Pembangunan”. Namun, apakah betul demikian?
Soeharto: Bapak Pembangunan atau Bapak Fasisme?
Klaim “Bapak Pembangunan” yang dilekatkan pada Soeharto hanyalah kedok untuk menutupi kenyataan bahwa seluruh proyek pembangunan Orde Baru berdiri di atas pondasi kekerasan, eksploitasi, dan pengkhianatan terhadap kedaulatan rakyat. Apa yang disebut “pembangunan nasional” sejatinya adalah proyek besar penyerahan sumber daya bangsa kepada modal asing dan kroni politiknya. Tanah rakyat dirampas atas nama investasi; tenaga buruh diperas atas nama efisiensi; dan utang luar negeri dijadikan mesin penghisap yang menjerat generasi demi generasi. Di balik jargon pertumbuhan ekonomi, ada jutaan rakyat yang kehilangan tanah, hidup dari upah murah, dan dicekik harga-harga yang dikendalikan oleh korporasi besar.
Revolusi Hijau, Repelita, dan industrialisasi berorientasi ekspor bukanlah program untuk memajukan rakyat, melainkan mekanisme untuk memperkuat dominasi kapital internasional di bawah komando rezim militer. Pembangunan versi Soeharto tidak membebaskan, tetapi menindas; tidak menyejahterakan, tetapi menundukkan. Di setiap proyek “pembangunan” yang diagung-agungkan itu, mengalir darah rakyat yang dibungkam; dari petani Kedung Ombo hingga buruh-buruh yang ditindas di kawasan industri. Rakyat dipaksa tunduk, sementara segelintir elit hidup makmur dari utang dan rente.
Tak hanya itu, pembangunan ala rezim Orde Baru dijalankan dengan kekerasan sistematis yang menandai watak fasis rezim Soeharto. Negara berubah menjadi mesin teror yang melayani kepentingan kapitalis monopoli. Militer dilibatkan dalam segala lini kehidupan sosial, mulai dari ekonomi hingga pendidikan, dari desa hingga parlemen; seluruhnya dijalankan lewat kebijakan Dwifungsi ABRI. Akhirnya, setiap suara kritis, setiap gerakan rakyat, setiap organisasi independen dihancurkan. Mereka yang bersuara dibungkam, diintimidasi, dihilangkan. Ratusan ribu dibantai pada 1965–1966; ribuan lainnya disiksa lewat operasi militer di Aceh, Papua, dan Timor Timur. Rentetan dosa-dosa berat dan hina ini mestinya dapat menunjukkan betapa fasis dan kejamnya kebijakan rezim Soeharto secara ekonomi, politik, bahkan kebudayaan.
Namun, fasisme Soeharto bukanlah kebetulan sejarah, melainkan konsekuensi logis dari kekuasaan yang tunduk pada kapital monopoli. Ia mewujud dalam kediktatoran militer yang berpihak pada imperialis dan borjuasi komprador. Dalam wajahnya yang paling telanjang, fasisme Orde Baru adalah kediktatoran terbuka dari kapital finans: ia melindungi kepentingan modal, menindas gerakan rakyat, dan mengerahkan seluruh kekuatan negara untuk menjamin kelangsungan akumulasi kapital. Demokrasi yang dijanjikan pun hanyalah selubung palsu; rakyat diberi kebebasan untuk memilih, tapi tidak untuk berdaulat. Maka, wajar rakyat menolak dengan tegas usulan tersebut sebab rakyat tahu betul siapa Soeharto; ia bukanlah bapak pembangunan, melainkan bapak fasisme.
Warisan Orde Baru yang Dihidupkan Kembali
Sikap tunduknya negara pada kapital monopoli masih terasa hingga hari ini. Keran investasi dan saluran intervensi politik semakin lebar; dan hal tersebut tengah diwariskan oleh rezim yang berkuasa hari ini, yakni rezim Prabowo-Gibran. Rezim ini bukan sekadar mewarisi sistem politik Orde Baru, mereka mencoba menghidupkan kembali jiwanya: fasisme yang berselubung pembangunan, otoritarianisme yang berpakaian demokrasi. Pun, di balik slogan “melanjutkan pembangunan nasional”, kekuasaan hari ini sejatinya tengah menormalisasi kembali pola kekuasaan lama: mengonsolidasikan militer dalam politik sipil, menyingkirkan oposisi, dan mematikan ruang demokrasi rakyat.
Lihatlah “capaian” rezim hari ini. Di bawah dalih “efisiensi” dan “ketahanan nasional”, rezim memangkas subsidi dan menaikkan pajak rakyat kecil. Rezim juga masih setia pada perintah IMF dan Bank Dunia untuk menaikkan PPN dan PBB. Meski sempat ditentang rakyat, kebijakan ini masih diteruskan lewat jargon “efisiensi” yang memotong anggaran publik (sektor pendidikan dan kesejahteraan sosial) hingga Rp 306 triliun. Sedang anggaran kepolisian dan pertahanan tak sedikit pun tersentuh. Semua ini dilakukan demi membiayai proyek hilirisasi, Food Estate, dan Makan Bergizi Gratis (MBG); program yang justru jadi ladang korupsi dan monopoli tanah. Militer pun dibuat serentak keluar dari barak dan mulai hadir di tengah kehidupan sipil: di ladang, di pabrik, bahkan di ruang pendidikan.
Ketika kelak Soeharto benar-benar menjadi pahlawan nasional, maka ini sudah bukan menyoal definisi pahlawan beserta syarat-syarat administratifnya, melainkan soal keberpihakan negara. Bagi penguasa dan komprador, pahlawan adalah mereka yang menjaga stabilitas, mengamankan modal, dan memastikan roda akumulasi kapital dapat terus berputar tanpa gangguan. Dalam kerangka ini, Soeharto sudah pasti dipuja oleh para pemodal asing, para pejabat korup, dan elit politik yang hidup dari persekongkolan antara militer dan kapital; sebab ia adalah pahlawan bagi mereka yang menukar kedaulatan bangsa dengan utang dan investasi asing.
Bandingkan dengan sosok Marsinah. Ia hanyalah buruh pabrik yang menolak praktik eksploitasi sekaligus perempuan yang menolak tunduk. Dalam tubuh kecilnya, terkandung nyali besar perlawanan kelas buruh dalam menuntut upah dan kerja yang layak. Marsinah berbeda dengan Soeharto, ia tidak memerintah dengan teriakan komando, juga tanpa senjata. Ia berdiri dengan tegak di hadapan rezim dan bersuara dengan lantang menuntut keadilan; ia juga memimpin aksi mogok di pabrik pada tahun 1993. Namun, seluruh upaya tersebut direspons negara dengan cara yang paling keji. Marsinah diculik, disiksa, dibunuh, dan kasusnya tak pernah diusut hingga tuntas; bahkan Munir selaku pembela hukum yang memperjuangkan kasus ini turut dilenyapkan.
Marsinah gugur, tapi namanya akan selalu hidup di jalan-jalan, di pabrik-pabrik, dan di hati rakyat. Sebab, bagi rakyat, pahlawan adalah mereka yang menuntut hak-hak rakyat paling sejati. Bagi kelas buruh, pahlawan adalah mereka yang menolak upah murah, menolak kerja tanpa kepastian, dan menegakkan cita-cita pembebasan kelas buruh. Bagi perempuan, pahlawan adalah mereka yang menolak tunduk pada segala bentuk diskriminasi dan subordinasi perempuan. Dan seluruh hal tersebut terkandung dalam diri Marsinah. Ia membuat wacana pahlawan kembali ke makna yang paling jujur: bukan gelar, bukan penghargaan, tapi pengorbanan demi hari depan rakyat. Ini turut menegaskan bahwa sosok Marsinah sangat berbeda dengan Soeharto yang memiliki rentetan tindakan brutal.
Dan rezim hari ini, rezim Prabowo-Gibran, justru mengamini pengusulan Soeharto sebagai pahlawan nasional meski menimbulkan polemik; seakan-akan tak cukup bagi mereka untuk menghadirkan Soeharto dalam wujud kebijakan pemerintahan yang kembali membunuh jutaan nyawa rakyat dan membunuh hari depan serta cita-cita rakyat. Dalam bayang-bayang inilah, pengusulan Soeharto sebagai pahlawan nasional menemukan maknanya: bukan sebagai penghormatan, tetapi upaya dari anak ideologis rezim Orde Baru untuk perlahan menghilangkan jejak dan bukti tindakan fasis Soeharto. Hal ini juga sekaligus menunjukkan dengan terang bahwa Indonesia adalah negara boneka yang patuh dan tunduk pada kapitalis monopoli internasional dan tuan tanah besar.
Menolak Soeharto: Menolak Lupa, Melanjutkan Perjuangan
Tindasan yang dirasakan Marsinah, sebagaimana penderitaan rakyat di bawah pemerintah rezim militeristik Soeharto, sudah pasti akan mengakar erat dalam ingatan. Atas nama “pembangunan”, tanah dirampas, buruh diperas, tani disingkirkan, mahasiswa dan gerakan rakyat dibungkam. Maka, sebuah keniscayaan bila pengalaman tersebut menjadi memori kolektif tersendiri, terlebih bagi mereka yang hidup di era Soeharto berkuasa: mereka akan ingat betul betapa kejam dan kejinya rezim. Kini, ketika pemerintah berani mengusulkan nama Soeharto sebagai pahlawan nasional, luka tersebut macam dikorek habis.
Lagipula, bagi rakyat, Soeharto bukanlah pahlawan. Ia adalah teror sehingga pengusulan ini tak lebih merupakan penghinaan terhadap rakyat, utamanya bagi para penyintas ‘65 dan ‘98 yang pernah jadi saksi hidup kekejaman rezim militeristik. Maka, rakyat paham. Ketika rezim Prabowo-Gibran mendukung upaya pelekatan paksa gelar pahlawan pada sosok Soeharto, itu adalah upaya sabotase sejarah untuk menghapus jejak tindakan hina rezim Soeharto terhadap rakyatnya sendiri; dan ketika jejak sejarah itu hilang, kelak generasi mendatang akan dihadapkan dengan kenyataan sejarah versi rezim.
Maka jelas, menolak Soeharto adalah bagian dari perjuangan kebudayaan rakyat; perjuangan untuk mempertahankan kesadaran dan kenyataan sejarah milik rakyat. Kita harus terus menggugat perbuatan anti-rakyat dan anti-demokrasi yang pernah dilakukan rezim Soeharto selama masa hidupnya. Kita juga mesti terus menyampaikan sejarah nyata bahwa pembangunan dan stabilitas rezim Orde Baru ditegakkan di atas tumpukan mayat rakyatnya sendiri. Namun, perjuangan ini tidak boleh berhenti hanya pada level merawat ingatan. Ia harus dilanjutkan dengan perjuangan konkret; menuntut hak ekonomi-politik yang berpihak pada rakyat. Sebab, Soeharto tak benar-benar mati, ia turut menjelma dalam kebijakan milik anak ideologis Orde Baru, yakni rezim Prabowo-Gibran yang anti terhadap reforma agraria sejati, anti industrialisasi nasional, dan anti rakyat.



Posting Komentar untuk "Soeharto Bukan Pahlawan Rakyat !"