NAMA SAYA DUA EMPAT LIMA
Aku lahir di sebuah desa yang bahkan Google Maps pun enggan menandainya. Setiap kali ada yang bertanya, "Di mana itu?", aku hanya bisa menunjuk ke arah hutan dan berkata, "Di balik sana."
Namaku Dua Empat Lima. Bukan, bukan karena orang tuaku penggemar angka, tapi karena Bapakku percaya bahwa aku adalah bagian dari Indonesia Emas 2045. Ironisnya, sekolahku masih berdinding bambu dan beratap langit. Namaku diberikan dengan harapan, katanya, agar setiap kali aku menyebutkan namaku, aku mengingat bahwa aku bagian dari masa depan yang sedang dipersiapkan.
Aku tinggal di Dusun Lappa Tallu1, sebuah desa kecil di Sulawesi Selatan yang perlu melewati 3 lintasan lereng gunung curam untuk sampai kesini. Desa kami lebih sering disapa kabut pagi daripada sinyal telepon. Aku satu-satunya anak di kelas lima SD yang bisa menulis dua halaman penuh tanpa jeda. Bu Guru suka menyebutku 'kecil-kecil cabe rawit', meskipun aku lebih sering jadi pengganti penghapus papan tulis karena spons sekolah sudah lebih berlubang daripada keranjang anyaman penyimpanan jagung Pak Kades.
Kami punya sekolah yang berdiri miring ke kiri saat angin kencang datang. Dulu, orang tua kami mengira itu karena ulah hantu penunggu bambu tua, tapi ternyata karena tiang pondasinya memang hanya cuma ditancap seadanya. Biarpun begitu, kami tetap bangga. Setidaknya sekolah kami punya papan nama. Meski huruf-hurufnya sudah luntur dimakan matahari dan hujan.
Suatu hari, seorang pejabat datang dengan mobil hitam besar dengan plat merah yang mengkilap. Masyarakat geger. Ibu-Ibu mempersiapkan kue barongko2 dan sarabba3, Bapak-Bapak memotong rumput di halaman balai desa yang biasanya dipenuhi kambing. Kami semua berjejer rapi seperti lomba 17-an, meski hari itu bukan hari kemerdekaan.
Pejabat itu membawa janji-janji tentang pendidikan digital dan masa depan cerah. Katanya, "Anak-anak sekarang harus melek teknologi". Kami semua bertepuk tangan, meski listrik di desa hanya menyala saat bulan purnama dan layar proyektor yang dibawa Pak Pejabat hanya menampilkan simbol 'no signal'.
Aku tersenyum, membayangkan bagaimana caranya mengakses internet dengan sinyal yang lebih sering hilang daripada ada. Saat ia menunjuk ke arah kami dan berkata, "Kalian adalah masa depan Indonesia!" aku mencatat itu di buku catatanku, persis di bawah daftar belanja Ibu.
Saat sesi tanya jawab yang entah kenapa hanya satu arah itu berakhir, Pak Pejabat tiba-tiba menunjuk ke arahku.
"Kamu, yang kecil tapi semangat itu. Siapa namamu, Nak?"
Aku berdiri tegap, dada membusung. Setengah karena bangga, setengah karena jepitan celana seragam yang terlalu kecil.
"Nama saya Dua Empat Lima, Pak!" kataku lantang.
Pak Pejabat mengernyit. "Apa? Ulangi."
"Dua. Empat. Lima."
Pak Pejabat menoleh ke ajudannya, lalu ke kepala desa. "Ini nama asli?"
Aku mengangguk yakin. "Iya, Pak. Karena Bapak saya yakin saya adalah bagian dari Indonesia Emas 2045."
“Wah, unik sekali. Tapi kenapa hanya Dua Empat Lima? Kenapa bukan Dua Ribu Empat Lima sekalian?”
Anak itu menatap jauh, seolah mengingat sesuatu.
“Bapak bilang, seribu itu harapan orang banyak. Tapi Dua Empat Lima… itu janji kecil yang saya bawa sendiri.”
Ia menunduk, lalu tersenyum kecil. “Biar saya ingat, saya lahir bukan buat menunggu Indonesia Emas. Tapi buat bantu sedikit-sedikit, sampai hari itu datang.”
"Wah…" gumamnya. "Kalau begitu, siapa nama Bapakmu?"
Aku menjawab cepat, "Sembilan Belas Empat Lima, Pak."
Suasana hening sejenak. Lalu terdengar tawa kecil dari barisan anak-anak. Bahkan Pak Pejabat ikut tertawa, meskipun agak kikuk.
"Wah, luar biasa. Ini keluarga tahun-tahun penting! Jangan-jangan nanti anakmu namanya Tujuh Belas Agustus!"
"Aamiin, Pak!" jawabku mantap.
Setelah pidato, dia pergi sebelum sempat melihat kondisi sekolah kami. Mungkin takut sepatunya kotor. Mungkin juga karena ia hanya mampir untuk dokumentasi.
Hari-hari setelah itu, sekolah kembali seperti biasa. Kecuali satu hal: lomba pidato daring. Bu Guru yang semangat setengah mati mendaftarkan kami semua. Aku terpilih karena katanya aku bisa berbicara seperti orang besar, padahal aku hanya menirukan gaya bicara Bapak saat berdebat dengan televisi.
Masalahnya, bagaimana mengirim pidato secara daring kalau modem Wifi saja terdengar seperti istilah kimia? Kami mencoba rekaman pakai HP Bu Guru. Tapi baru tiga menit berbicara, layar gelap. Baterainya habis. Kami ulang lagi. Kali ini HPnya panas, mendadak mati. Di percobaan ketiga, seekor ayam berkokok keras tepat saat aku mengucapkan kata 'kemajuan'.
Namun kami tidak menyerah. Aku dan teman-teman pergi ke puncak bukit, tempat katanya sinyal suka main petak umpet. Kami berbekal power bank, kipas tangan, dan segelas air gula. Rekaman pidatoku terjadi di bawah langit yang mengancam hujan.
"Nama Saya Dua Empat Lima," kataku dengan suara lantang. "Saya bagian dari masa depan yang katanya akan bersinar. Tapi sebelum itu, bolehkah kami meminta sinyal dulu, Pak?"
Hari pengumuman tiba. Nama kami tidak muncul. Bu Guru bilang mungkin ada kesalahan sistem. Tapi aku tahu, sistem memang sudah lama tak berpihak pada kami. Anak-anak kota dengan studio YouTube dan Wifi stabil tentu lebih berpeluang. Kami hanya punya tekad, dan kadang itu tak cukup.
Malam itu, aku menangis di pangkuan Ibu. "Kenapa tidak ada yang dengar, Bu? Padahal aku sudah bicara sekeras-kerasnya."
Ibu membelai rambutku. "Kadang dunia terlalu bising, Nak. Tapi suara yang tulus, tak pernah benar-benar hilang. Ia akan tinggal di hati orang-orang yang sempat mendengarnya."
Keesokan harinya, sekolah kami dikunjungi seseorang tak dikenal. Seorang jurnalis muda dari Makassar yang melihat rekaman pidatoku yang viral karena diunggah ulang oleh seorang aktivis dan pegiat literasi. Ia menulis tentang kami. Tentang Lappa Tallu. Tentang sinyal yang tak sampai, dan mimpi yang tetap melambung.
Satu bulan kemudian, kami dapat bantuan: panel surya dan satu unit pemancar sinyal kecil. Bukan dari pemerintah, tapi dari donasi orang-orang yang membaca cerita kami.
Hari pertama sinyal menyala, aku menerima pesan. Bukan dari lomba, bukan dari pejabat. Tapi dari anak di kota, yang menulis, "Kakak Dua Empat Lima, pidatonya menginspirasi. Aku juga ingin membantu desaku."
Aku membaca itu sambil tersenyum.
Ibu benar, suara yang tulus memang tak pernah benar-benar hilang.
Kini, aku terus menulis. Bukan untuk menang lomba, tapi untuk terus bicara, walau hanya kepada langit, atau mungkin—kepada kamu yang sedang membaca ini.
Karena namaku Dua Empat Lima, dan aku adalah bagian dari masa depan yang tetap percaya bahwa perubahan bisa datang, bahkan dari ujung hutan, bahkan dari desa yang lupa ditandai di peta.
Ket:
- Lappa Tallu : Desa Fiktif yang dibuat oleh pengarang. Istilah ini dari Bahasa Bugis-Makassar yang berarti “tiga jalan” atau “tiga lintasan”
- Barongko : Kue tradisional Sulawesi Selatan yang terbuat dari pisang, santan, dan gula, dibungkus daun pisang dan dikukus.
- Sarabba : Minuman khas Sulawesi Selatan terbuat dari jahe, gula merah dan santan, biasa diminum untuk menghangatkan tubuh.
KEREN BGT😍😍😍😍
BalasHapusCeritanya sangat emosional dan related
BalasHapusKeren sih ini.., saya cuma membaca tapi seperti nonton film
BalasHapus