Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kontradiksi Ketahanan Pangan: Tepatkah Pembangun Batalyon di Atas Lahan Pertanian ?

Penulis : Ahmad Alimun Ali Musa Firdaus (FMN UNTIRTA / Universitas Sultan Ageng Tirtayasa)
Hasil Investigasi Sosial dan Analisis Klas di Desa Rancapinang



Belakangan ini beredar narasi ketahanan pangan yang diserukan oleh rezim fasis Prabowo dan masuk dalam kategori Program Strategis Nasional, program ini juga direncanakan di eksekusi oleh golongan reaksioner Tentara Nasional Indonesia (TNI) angkatan darat sebagai operasi militer selain perang. Walaupun terkesan ambigu mengenai program yang menyangkut pangan dikerjakan oleh militer, namun kenyataannya rencana ini sudah mulai dijalankan dan tertuang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2025-2029. Sebagai langkah awal untuk menjalankan program ini, pemerintah mulai membangun Batalyon Teritorial Pembangunan di beberapa daerah dari sabang sampai merauke, tak terkecuali pembangunan batalyon ini juga dilaksanakan di provinsi Banten, tepatnya di Kabupaten Pandeglang, Kecamatan Cimanggu. Saat ini sudah terdapat 4 desa yang terdampak oleh adanya pembangunan batalyon teritorial ini, yaitu desa Rancapinang, desa Cibadak, desa Tugu dan desa Batu Hideung. Total kurang lebih sekitar 370 Hektar lahan pertanian dan pemukiman warga yang akan menjadi sasaran pembangunan dan di klaim sepihak oleh TNI dengan Sertifikat Hak Pakai (SHP) yang dikeluarkan oleh ATR/BPN Kabupaten Pandeglang yang belum bisa dipastikan asal-usul, legalitas dan keberadaan dari SHP yang diklaim oleh pihak TNI tersebut. Di lain sisi jelas masyarakat sudah mengolah lahan tersebut dari puluhan tahun yang lalu, sehingga konflik dari sengketa lahan ini tidak bisa dihindarkan dan mengganggu perekonomian warga yang mayoritas berprofesi sebagai petani.


Secara historis, konflik agraria di Banten Selatan tersebut bermula ketika TNI mengklaim bahwa tanah seluas 370 Hektar tersebut telah dibeli dari masyarakat. Namun ketika melakukan investigasi dan melakukan wawancara dengan warga desa Rancapinang, mereka mengaku belum pernah merasa menjual lahannya kepada TNI. Masyarakat mengaku menerima uang sebesar Rp. 250,- (Dua Ratus Lima Puluh Rupiah) alias 250 perak per meter dari pihak TNI pada tahun 1997 sebagai ganti rugi dari TNI atas beberapa lahan warga yang rusak akibat kegiatan latihan pada masa orde baru, namun bukan sebagai transaksi pembelian lahan. Klaim yang dilakukan oleh pihak TNI ini tentu tidak sesuai dengan kesepakatan yang dipahami oleh masyarakat di sana. Suatu kewajaran apabila masyarakat menuntut transparansi mengenai sertifikat hak pakai yang di klaim oleh TNI, namun dengan dalil keamanan dan rahasia negara baik pihak TNI ataupun ATR/BPN enggan untuk menunjukkan SHP yang dijadikan legalitas klaim mereka.


Seperti apa kondisi konkret masyarakat desa Rancapinang? Bagaimana kontradiksi yang terjadi di sana? Apakah program ketahanan pangan ini merupakan kebijakan yang tepat? Terlebih dengan Tentara sebagai eksekutor lapangannya? Siapa yang sebetulnya diuntungkan dengan adanya program ketahanan pangan ala rezim Prabowo di negara setengah jajahan setengah feodal seperti di Indonesia?


Massa di Rancapinang beberapa kali melakukan audiensi untuk bisa berdialog dengan pihak TNI. Namun berulang kali juga mengalami kegagalan untuk menempuh cara-cara diplomasi. Di berbagai media sosial sudah banyak terangkum bagaimana kronologi yang terjadi di sana, perjuangan masyarakat Rancapinang terus berlanjut walaupun lagi-lagi menemukan kebuntuan yang pada akhirnya membuat masyarakat kecewa dan hanya bisa pasrah lahan mereka yang sudah digarap puluhan tahun dirampas begitu saja tanpa ada kompensasi yang setimpal. Tuntutan masyarakat jelas, mereka ingin mendapatkan hak atas tanahnya kembali. Mayoritas lahan masyarakat di sana adalah lahan produktif. Bahkan ada beberapa lahan masyarakat yang sudah hampir panen harus digusur habis untuk di bangun Kompleks Perumahan untuk para prajurit yang ditugaskan di wilayah tersebut. Ini menjadi ironi tersendiri, ingin menciptakan ketahanan pangan dengan menggusur lahan pertanian. Alat-alat berat berdengung bergerak perlahan tapi pasti, menghancurkan sumber kehidupan masyarakat setempat. Kita bisa membayangkan berapa luas alam yang dirusak oleh mesin-mesin fasis di desa Rancapinang ke depannya. Oleh karenanya masyarakat di sana mengalami penderitaan ganda, kehilangan lahan produktifnya dan juga kehilangan profesi keseharian untuk menafkahi keluarga mereka sehari-hari. Seterusnya negara harus bertanggung jawab pada alam yang dirusak dan juga pada keluarga yang sulit bertahan karena mata pencahariannya dirampas.




Ketahanan pangan versi rezim Prabowo ini adalah ketahanan pangan palsu. Karena ketahanan pangan in di bangun dengan cara merampas tanah petani, ketahanan pangan di bangun dengan cara menghilangkan mata pencarian petani. Bagaimana mungkin menyerahkan ketahanan pangan pada lembaga yang tidak ada hubungannya dengan pangan, juga tidak memiliki pengalaman yang memadai mengenai pangan. Negara ini selalu kehilangan arah dalam mengeluarkan kebijakan yang menyangkut kaum tani. Di rezim Jokowi negara membagikan sertifikat tanah kepada masyarakat untuk bisa digarap, namun tidak di fasilitasi dengan baik dari segi alat produksi, yang ujungnya menimbulkan paradoks yang membuat masyarakat menjual tanahnya kepada bank tanah untuk pada akhirnya diambil alih oleh pihak swasta. Baik rezim Jokowi maupun rezim Prabowo keduanya gagal memahami bagaimana cara untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Karena memang kita tidak bisa terlalu berharap banyak pada rezim yang terus-terusan di bayang-bayangi kekuatan imperialis. Outputnya tetap para borjuis komprador yang diuntungkan melalui tangan-tangan kapitalis birokrat. Sedangkan kaum tani miskin semakin terinjak. Jika rezim Jokowi menindas tani miskin dengan tidak memberikan alat produksi, rezim Prabowo jauh lebih ekstrem karena merampas lahan para petani miskin di desa Rancapinang mengatasnamakan ketahanan pangan.


Segala sesuatu yang menyangkut pangan atau agraria, kita tentu menginginkan perubahan total terhadap tata kelola di daerah pedesaan terutama yang menyangkut persoalan petani miskin di desa. Puluhan tahun sudah kita membayangkan perwujudan reforma agraria sejati, namun berulang kali juga kita disuguhkan oleh kebijakan reforma agraria palsu yang dilayangkan oleh rezim. Reforma agraria diwujudkan dengan didorongnya program minimum dan maksimum. Program minimum direalisasikan dalam bentuk penurunan harga sarana-prasarana pertanian, menurunkan riba hutang, kenaikan harga produk pertanian, mendorong adanya kerjasama berproduksi kaum tani dan kegiatan menabung di kalangan kaum tani. Dalam konflik agraria di rancapinang, para masyarakat di sana sudah memiliki lahan pertanian secara pribadi. Namun selama puluhan tahun negara tidak hadir dalam pekerjaan petani di sana. Tapi dengan munculnya program strategis nasional ini, memang membuat negara hadir melalui tangan-tangan tentara, bukan untuk mendampingi masyarakat di sana, sebaliknya justru merampas tanah yang jelas-jelas di garap oleh warga di Rancapinang sebagai sumber mata pencaharian selama bertahun-tahun. Masyarakat tidak pernah menuntut hak demokratisnya untuk kesejahteraan mereka kepada negara dengan bentuk perwujudan reforma agraria melalui program minimum. Puluhan tahun juga masyarakat melakukan kegiatan pertanian produktif secara mandiri tanpa ada pendampingan negara.


Di beberapa daerah mungkin diperlukan perwujudan reforma agraria dengan program maksimum, yaitu dengan menyita tanah milik tuan tanah besar tanpa kompensasi dan membagikannya kepada kaum tani miskin dan buruh tani secara cuma-cuma, karena Indonesia memang sebagai negara kelima dengan luas wilayah terbesar, namun mayoritas tanahnya masih dikuasai oleh tuan tanah besar dan petani hanya memiliki sebagian kecil atau bahkan hanya menjadi buruh tani dengan upah rendah. Tapi kenyataan yang terjadi sebaliknya, negara justru merampas tanah milik masyarakat atas nama program strategis nasional, lebih lucu lagi mengatasnamakan ketahanan pangan. Harusnya negara menyita tanah terlantar yang kebanyakan dimiliki oleh tuan tanah besar, bukan lahan produktif milik petani kecil di desa. Jika memang ketahanan pangan yang ingin dibidik oleh pemerintah, sokong para petani yang bisa produktif namun terkendala akses terhadap alat produksi pertanian. Bukan justru mengambil alih peran petani dengan masuknya militer ke ranah sipil. Dampak yang ditimbulkan menjadi berlipat, petani yang kehidupannya hanya bersumber dari tanah akhirnya semakin sengsara dengan di rampas lahan pertaniannya. Para petani yang kehilangan lahannya ini akhirnya menjadi pengangguran karena kehilangan pekerjaan.


Jelas akhirnya kontradiksi yang ditimbulkan oleh program ketahanan pangan versi rezim Prabowo ini. Selain memakan banyak anggaran dalam merekrut tamtama yang menjadi suplai tenaga untuk mengeksekusi program ketahanan pangan di lapangan, juga banyak kemungkinan negatif yang dirasakan baik oleh masyarakat Rancapinang, ataupun dirasakan di daerah-daerah yang terdampak pengerjaan batalyon teritorial pembangunan ini. Para kaum tani yang terlanggar haknya tidak boleh menyerah karena proses yang panjang dan melelahkan. Hak harus terus dinarasikan dan direbut dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan menguntungkan sistem setengah jajahan setengah feodal. Ketahanan pangan harus tercipta melalui proses reforma agraria sejati, agar surplus dari hasil produksi petani melalui tanah yang didistribusikan bisa menjadi modal awal menciptakan industrialisasi nasional. Kaum Tani Indonesia! Sokong Buruh Pembebasan.




Posting Komentar untuk "Kontradiksi Ketahanan Pangan: Tepatkah Pembangun Batalyon di Atas Lahan Pertanian ? "