Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Memahami Indonesia Sebagai Negara Setengah Jajahan Setengah Feodal

Ilustrasi/wahananews

Penulis/Editor: Popeye :)

Sistem Setengah Jajahan Setengah Feodal (SJSF) adalah suatu keadaaan dimana eksisnya dua kekuataan ekonomi-politik dalam waktu yang bersamaan, yakni kekuatan imperialisme dan feodalisme dalam negara. Keadaan ini berarti dua kekuatan tersebut hadir dalam keadaan yang tidak lagi utuh: tidak sebagai kekuatan imperialisme secara utuh dan tidak pula sebagai kekuatan feodalisme secara utuh, melainkan penggabungan dari keduanya.

Imperialisme sendiri dimaknai sebagai tahapan tertinggi perkembangan kapitalisme atau akhir dari perkembangan kapitalisme. Pasca revolusi industri pada 1860, klas borjuasi di negeri-negeri industri maju seperti Inggris, Prancis hingga Amerika Serikat berada dalam kondisi persaingan yang masih relatif bebas, namun secara bertahap persaingan tersebut terus meningkat ditandai proses merger dan akuisisi. Klas borjuasi yang gagal dan tidak mampu bertahan dalam persaingan perebutan pasar, daerah jajahan untuk sumber bahan mentah hingga tenaga kerja murah, akhirnya bangkrut dan diakuisisi oleh klas borjuasi yang lebih unggul. Proses pertarungan berlangsung hingga akhirnya mengubah kapitalisme pasar bebas menuju kapitalisme monopoli (imperialisme) dengan kemunculan Amerika Serikat sebagai pemenang tunggal sekitar tahun 1903.

Sementara, feodalisme adalah sistem sosial yang berbasiskan pada monopoli tanah dan hubungan produksi tuan tanah – tani hamba di lapangan ekonomi, kekuasaan monarki yang anti demokrasi di lapangan politik, berwatak dogmatis, anti pengetahuan maju dan anti sains di lapangan kebudayaan. Feodalisme adalah sistem sosial yang eksis di abad pertengahan dalam periode kejayaan kerajaan-kerajaan monarki di masa lalu, namun revolusi pengetahuan melalui babak “abad pencerahan” mendorong perkembangan pesat berbagai ilmu pengetahuan filsafat, fisika, kimia, biologi, dan lain sebagainya. Perkembangan pesat berbagai ilmu pengetahuan ini kemudian melahirkan berbagai penemuan-penemuan seperti mesin, listrik, kendaraan, telepon, mesin ketik, mesin pemintal benang, dan sebagainya yang memudahkan pekerjaan manusia dan akhirnya berujung pada revolusi industri.

Revolusi industri adalah babak sejarah yang mengubah secara besar-besaran corak produksi dan hubungan produksi: corak produksi agraria menjadi corak produksi industrial, dari tenaga manual ke tenaga mesin hingga hubungan produksi tuan tanah – tani hamba menjadi tuan kapitalis – buruh pabrik. Sejak “abad pencerahan” feodalisme terus mendapatkan serangan bertubi-tubi, kekuasaan dan hegemoninya atas pikiran dan kesadaran masyarakat yang awalnya berdiri kokoh di atas fondasi dogma, mistisme dan takhayul secara terus-menerus dirongrong oleh perkembangan berbagai ilmu pengetahuan ilmiah. Fenomena alam dan masyarakat yang awalnya dijelaskan dengan dogmatis dan tidak bertolak dari pengetahuan ilmiah demi mempertahankan pengaruh dan legitimasinya di hadapan masyarakat pada akhirnya kehilangan relevansi dan legitimasinya seiring dengan perkembangan berbagai ilmu pengetahuan yang mampu menjelaskan berbagai fenomena alam dan masyarakat secara lebih ilmiah.

Begitupun dengan perkembangan tenaga produktif baru yang lahir dari hubungan manusia dengan alat kerja baru berbasis elektro-mekanis sejak revolusi industri pada akhirnya membuat hubungan produksi tuan tanah – tani hamba menjadi tidak lagi mendominasi.

 

Proses Kemunculan dan Perkembangan Sistem SJSF di Indonesia

Penerapan kebijakan Agraische Wet de Wall (UU Pertanahan) oleh pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1870 membuka babak baru bagi penetrasi modal secara besar-besaran di Hindia Belanda pada masa itu. Sebelum penerapan kebijakan ini, modal yang masuk ke Hindia Belanda masih didominasi oleh modal yang bersumber dari klas borjuasi yang berasal dari negeri Belanda sendiri. Namun penerapan Agrarisce Wet ini kemudian menempatkan pemerintah Hindia Belanda sebagai penyedia tanah yang tidak saja melayani kepentingan klas borjuasi dari negeri Belanda, melainkan juga kepada klas-klas borjuasi dari berbagai negeri seperti Inggris, Prancis, Amerika Serikat hingga Jepang.

Penting untuk diperhatikan bahwa pada masa ini, penetrasi modal yang masuk secara besar-besaran ke Hindia Belanda tidak berlangsung di atas corak produksi industrial berbasis elektro-mekanis sebagaimana yang terjadi dalam proses perkembangan kapitalisme di negeri-negeri industri maju, penetrasi modal di Hindia Belanda justru berlangsung di atas usaha-usaha perkebunan teh, kopi, pala, lada, cengkeh, kayu manis, hingga pertambangan yang berbasiskan pada monopoli tanah berskala luas beserta penggunaan tenaga buruh tani dengan keterampilan rendah. Kemudian, bahwa modal yang berkembang dan mendominasi di Hindia Belanda pada saat itu bukanlah milik dari borjuasi nasional di Hindia Belanda sendiri, melainkan milik klas borjuasi di berbagai negeri yang berminat untuk memperluas usahanya.

Hal tersebut berdampak pada pertama, usaha-usaha perkebunan berbasis monopoli tanah dan penggunaan alat kerja sederhana bahkan kuno melahirkan klas buruh dengan keterampilan rendah dan gagap teknologi. Di negeri-negeri Industri maju, mesin-mesin berbasis elektro-mekanis menuntut skil dan kecakapan teknologi klas buruh agar mampu mengoperasikannya dengan baik, sementara pada perkebunan-perkebunan yang alat kerjanya masih berupa arit, cangkul, tombak, parang dan sebagainya dapat merekrut tenaga kerja buruh yang tidak mampu baca tulis dan berhitung sekalipun serta dapat diupah dengan sangat murah. Perkembangan alat produksi akan mendorong perkembangan tenaga produktif, sehingga terhambatnya perkembangan klas buruh sebagai tenaga produktif di Hindia Belanda saat itu tentu disebabkan oleh hubungannya dengan alat produksi terbelakang yang tidak mengalami perkembangan.

Kedua, mendominasinya kapital asing dari berbagai negeri pada masa itu menyebabkan kekuatan borjuasi nasional di Hindia Belanda tidak dapat berkembang, hal ini berarti tidak adanya klas atau kekuatan yang akan menghancurkan feodalisme melalui jalan revolusi borjuis sebagaimana yang terjadi di Eropa pada periode peralihan feodalisme ke kapitalisme. Tidak adanya revolusi borjuis yang mampu menghancurkan kekuatan feodalisme secara utuh menyebabkan perkembangan kapitalisme sejak masa Hindia Belanda hingga saat ini menjadi tidak sempurna. Perkembangan kapitalisme justru bercokol di atas hubungan produksi feudal yang berbasiskan pada monopoli tanah, penggunaan alat kerja terbelakang hingga buruh dengan skil dan keterampilan rendah. Proses pencangkokan feodalisme dan kapitalisme ini berlangsung mulus seiring dengan masih eksisnya bangsawan dan tuan tanah lokal yang memiliki pengaruh dan kekuatan dalam proses konsolidasi atau perampasan tanah-tanah rakyat.

Ketiga, dominasi modal asing mengakibatkan industri-industri dalam negeri dibangun semata-mata untuk melayani kepentingan industri di negeri-negeri maju, seperti kebutuhan bahan mentah murah, tenaga kerja murah dan konsumen atas produk-produk mereka yang tidak terserap oleh pasar di negerinya sendiri. Hal ini berdampak pada terhambatnya perkembangan industri dalam negeri. Industri-industri yang terbangun hanya sebatas industri yang memproduksi bahan mentah, bahan setengah jadi, industri perakitan, industri pengemasan dan sebagainya.

Bahkan hingga kebangkitan kesadaran nasional dan gerakan kemerdekaan dengan kemunculan Sarekat Islam maupun partai politik seperti Partai Nasionalis Indonesia (PNI), kekuatan klas borjuasi nasional tetap tidak mampu mengalahkan dominasi klas borjuasi asing dari berbagai negeri, baik dalam aspek ekonomi maupun politik. Sampai pada periode ini, sistem dan corak produksi setengah feudal telah terbentuk, meskipun di sisi lain Indonesia (Hindia Belanda) masih berstatus sebagai jajahan langsung kerajaan Belanda.

Sistem SJSF kemudian kokoh melalui kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB) pada tahun 1949. Perjuangan panjang rakyat Indonesia selama ratusan tahun untuk merdeka dari penjajahan dan niatan untuk membangun negara yang mandiri dan berdaulat berhasil dipatahkan begitu saja oleh imperialisme Amerika Serikat yang tidak ingin kehilangan dominasinya di Indonesia dengan disetujuinya kesepakatan KMB oleh Moh. Hatta dan Sutan Syahrir yang mengatas namakan pemerintah Indonesia. Semangat rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah diraih pada 17 Agustus 1945 dan perjuangan untuk mengusir penjajah yang mencoba kembali masuk melalui agresi militer dikhianati oleh perjuangan diplomasi yang berhasil mempreteli kemerdekaan yang telah diraih. Meskipun terjadi peralihan kekuasaan dari pemerintah Belanda kepada pemerintah Indonesia, namun pada sejatinya Amerika Serikat sebagai kekuatan imperialisme dan pemenang perang dunia kedua berhasil menancapkan dominasinya di lapangan ekonomi, politik, militer dan kebudayaan.

KMB pada sejatinya adalah keberhasilan imperialisme untuk menciptakan pemerintahan boneka yang tunduk pada dikte dan kepentingannya di Indonesia. Inilah yang disebut sebagai sistem setengah jajahan. Rakyat Indonesia tidak lagi ditodong langsung oleh moncong senjata penjajah, melainkan oleh moncong senjata aparatus pemerintahan boneka yang tunduk pada dikte dan kebijakan imperialisme.

Jadi kesimpulan bahwa Indonesia adalah negara SJSF dilihat dari dua hal ini: pertama, setengah jajahan karena hadirnya pemerintahan boneka yang setia untuk terus memuluskan dikte dan kepentingan imperialisme sekalipun harus megorbankan kepentingan dan kedaulatan nasional. Kedua, setengah feodal karena masih bertahannya kekuatan feodalisme dalam bentuk monopoli dan perampasan tanah oleh tuan tanah besar untuk melayani kebutuhan kapitalisme monopoli yang ingin membangun berbagai usaha perkebunan maupun pertambangan di Indonesia.

Sistem SJSF inilah yang terus bertahan hingga hari ini di Indonesia, agenda reforma agraria untuk menghancurkan monopoli tanah sebagai basis bertahannya kekuatan feodalisme tidak pernah dijalankan. Di sisi lain, pemerintahan Indonesia yang telah mengalami berbagai pergantian sejak masa kemerdekaan terus menjadi pelayan setia bagi kepentingan imperialisme melalui pemaksaan utang dan investasi maupun sikap patuh pada resep-resep ekonomi maupun kebijakan fiskal IMF-World Bank sebagai lembaga internasional di bawah kontrol imperialisme Amerika Serikat untuk memaksakan dikte neoliberalnya ke seluruh dunia, termasuk Indonesia.

Jika kawan-kawan bertanya mengapa pemerintah Indonesia terus membuka diri pada modal asing, baik dalam bentuk utang maupun investasi langsung pada berbagai proyek nasional, maka jawaban penulis adalah, bahwa hal tersebut merupakan bentuk nyata tunduknya pemerintah Indonesia pada dikte Imperialisme. Kebijakan berhutang dan membuka diri selebar-lebarnya pada investasi oleh pemerintahan di negeri-negeri berkembang seperti Indonesia sejalan dengan kepentingan imperialisme Amerika Serikat untuk terus melancarkan ekspor kapitalnya ke seluruh negeri agar dapat menciptakan keuntungan lebih besar yang akan kembali kepada mereka.

Tidak berkembangnya industri nasional dalam negeri juga adalah dampak dari dominasi imperialisme. Tidak adanya industri dasar atau industri hulu menyebabkan keberlangsungan industri hilir seperti manufaktur dalam negeri bergantung pada suplai mesin dan teknologi yang hanya diproduksi oleh industri-industri berat di negeri-negeri maju. Kondisi ini akan terus dipertahankan oleh kekuatan imperialisme untuk menjaga agar industri nasional di Indonesia tidak terbangun dan tetap bergantung pada mereka.

Industri di Indonesia hanya didominasi oleh industri pengemasan, pengolahan dan pembuatan bahan setengah jadi untuk diekspor ke negara maju yang kemudian akan diolah kembali menjadi barang jadi dengan nilai guna baru yang siap dipasarkan. Selain itu, industri yang banyak berkembang adalah industri pengepakan atau perakitan seperti industri otomotif, elektronik, dan teknologi yang bahannya diimpor dari luar lalu kemudian dirakit oleh industri dalam negeri menjadi barang jadi yang siap dipasarkan.

 

 

 

 

 

 


Posting Komentar untuk "Memahami Indonesia Sebagai Negara Setengah Jajahan Setengah Feodal"