Sidang Saksi Ungkap Dugaan Pelanggaran Upah Lembur di Kawasan Industri Bantaeng
Makassar, 14 Oktober 2025 — Suasana ruang sidang Pengadilan Negeri Makassar kembali dipenuhi catatan, dokumen, dan pernyataan tegas dari para saksi yang dihadirkan Serikat Buruh Industri Pengelolaan Energi (SBIPE) Kawasan Industri Bantaeng (KIBA). Sidang yang digelar pukul 13.08 Wita itu memasuki agenda pemeriksaan saksi dari pihak tergugat, menghadirkan tiga nama: Andi Sukri, Pengawas Ketenagakerjaan Provinsi Sulawesi Selatan Wilayah IV; Ilham Canning, Mediator Disnaker Bantaeng; dan Abdul Habir, Sekretaris Jenderal SBIPE KIBA.
Mereka bertiga mengurai jalannya perkara yang bermula dari laporan buruh PT Huadi Nickel Alloy Indonesia, perusahaan smelter nikel di Kawasan Industri Bantaeng soal kekurangan pembayaran upah lembur dan gelombang pemutusan kerja.
Saksi pertama, Andi Sukri, memaparkan langkah pengawasan yang ia tempuh setelah menerima laporan dari anggota SBIPE KIBA.
“Kami menerima laporan dari para pekerja, kemudian berkoordinasi dengan provinsi karena pengawasan ditarik ke wilayah provinsi untuk menindaklanjuti dugaan pelanggaran upah lembur,” ujarnya di depan majelis hakim.
Pada 20 Maret 2025, Sukri menghubungi asisten PT Huadi bernama Muhlis untuk meminta data pendukung. Dua hari berselang, surat resmi permintaan data dilayangkan ke perusahaan. Namun hingga 11 April 2025, tidak ada jawaban.
“Kami konfirmasi lewat WhatsApp, katanya datanya belum ada. Kami beri tenggat satu minggu lagi, tapi sampai 20 April tetap tidak ada respons,” kata Sukri. Karena perusahaan tak kunjung memberikan dokumen, pengawas menggunakan data pekerja sebagai dasar perhitungan.
Analisis dilakukan dengan mengelompokkan slip gaji berdasarkan posisi kerja, meski data tidak lengkap.
“Kami temukan perbedaan jumlah jam kerja antar periode, dan hasil telaah itulah yang menjadi dasar penetapan pada 27 Mei 2025,” katanya. Surat penetapan itu dikirim ke semua pihak tanpa ada keberatan dari perusahaan dalam jangka waktu 14 hari sebagaimana diatur dalam perundangan.
Sukri menegaskan bahwa penetapan tersebut sah secara hukum dan seharusnya tidak digugat di Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).
“Surat penetapan itu urusan administrasi negara, saya kaget karena digugat di PHI, seharusnya di PTUN,” ujarnya tegas. Ia mengaku baru kali ini, sejak bertugas pada 2014, menghadapi penetapan pengawasan yang dibawa ke PHI. Ia juga menyinggung kekeliruan perusahaan yang menganggap insentif shift sebagai upah lembur.
“Insentif tidak diatur dalam undang-undang. Karena itu kami keluarkan penetapan agar tidak disamakan,” ujarnya. Ia menutup kesaksian dengan menyebut bahwa pada 2021 ia pernah menangani kasus serupa yang akhirnya dipenuhi perusahaan.
Kesaksian berikutnya datang dari Ilham Canning, Mediator Hubungan Industrial Dinas Ketenagakerjaan Bantaeng. Ia menjelaskan kronologi pengaduan yang diajukan anggota SBIPE KIBA terhadap PT Huadi. Menurutnya, laporan awal disampaikan secara resmi lalu diverifikasi oleh Disnaker untuk memastikan adanya perselisihan.
“Kami mempertemukan kedua pihak. Hasilnya, disepakati pembayaran pesangon bagi buruh yang di-PHK, dan kami keluarkan PB atau pencatatan bipartit. PB itu hanya terkait PHK, jadi tidak bisa dicampur dengan urusan lain,” ujarnya.
Namun setelah persoalan PHK rampung, muncul kembali perselisihan baru mengenai kekurangan pembayaran upah lembur.
“Kami panggil kedua pihak, tapi tidak tercapai kesepakatan,” ujar Ilham Canning. Karena tidak ada titik temu, Disnaker meminta Dinas Pengawasan Provinsi untuk menindaklanjuti.
“Dalam hal ini Pak Andi Sukri yang menangani penetapan. Setelah itu kami kembali memediasi agar perusahaan memenuhi penetapan tersebut, tapi tetap tidak ada kesepakatan,” katanya.
Atas kebuntuan itu, mediator mengeluarkan anjuran resmi agar perusahaan segera membayar kekurangan upah lembur sesuai hasil penetapan pengawas.
“Anjuran kami jelas: perusahaan harus membayar kekurangan upah lembur yang sudah ditetapkan pengawas,” tegas Ilham Canning. Ia menambahkan, anjuran itu diterbitkan untuk 20 buruh yang kini perkaranya masuk di PHI Makassar.
Ilham Canning juga menyinggung pertemuan 29 Juli 2025 yang dihadiri Bupati Bantaeng, Kapolres, Direksi PT Huadi, perwakilan SBIPE, Kepala Disnaker, dan kuasa hukum perusahaan.
“Kesepakatannya waktu itu, hasil PHI atas 20 orang ini akan jadi rujukan bagi buruh lainnya yang juga di-PHK,” ujarnya.
Menurut Ilham, perusahaan hanya berjanji akan membayar kekurangan upah lembur tanpa pernah menyebut nominal pasti. “Tidak ada angka yang disepakati,” katanya.
Saksi terakhir, Abdul Habir, Sekretaris Jenderal SBIPE KIBA, menyoroti langsung substansi persoalan: sistem kerja dan penghitungan lembur yang dinilai melanggar Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 35 Tahun 2021. Ia menjelaskan, Pasal 21 huruf (b) PP tersebut menetapkan waktu kerja normal delapan jam per hari dan empat puluh jam per minggu untuk lima hari kerja, sedangkan Pasal 26 membatasi kerja lembur paling lama empat jam per hari dan delapan belas jam per minggu atau 72 jam per bulan.
“Namun di slip gaji Faisal, salah satu buruh, justru tercatat 160 jam kerja reguler, ditambah 76 jam insentif shift dan 4 jam insentif hari libur. Totalnya 240 jam kerja sebulan,” ujar Habir. Ia menyebut perusahaan menerapkan sistem 12 jam kerja per hari, delapan jam reguler dan empat jam lembur, tetapi tidak menghitung lembur sesuai ketentuan Pasal 31 dan 32 PP 35/2021.
Jika upah buruh sebesar Rp4 juta, kata Habir, maka perhitungan lembur seharusnya berdasarkan 1/173 upah sebulan sekitar Rp23.121 per jam.
“Jam pertama lembur semestinya dibayar Rp34.682, jam berikutnya Rp46.243,” jelasnya.
Namun dalam slip gaji yang ditunjukkan ke hakim, perusahaan hanya mencantumkan insentif shift Rp1.520.000 untuk 76 jam lembur, atau sekitar Rp20 ribu per jam. “Padahal nilainya seharusnya bisa mencapai Rp173 ribu untuk 10 jam lembur. Itu berarti buruh kehilangan sekitar 40 persen dari haknya setiap bulan,” tegasnya.
Menurut Habir, praktik tersebut telah berlangsung lama dan merugikan ratusan buruh yang bekerja dengan pola serupa.
“Kalau tahun 2022 mereka masih dibayar Rp12 ribu per jam, seharusnya sekarang sudah Rp34 ribu lebih. Jadi sangat jelas bahwa perusahaan tidak menjalankan ketentuan perundang-undangan,” katanya.
Dari rangkaian kesaksian itu, benang merahnya tampak tegas: PT Huadi Nickel Alloy Indonesia tidak hanya abai terhadap ketentuan upah lembur, tetapi juga mengabaikan penetapan resmi pengawasan ketenagakerjaan. Penetapan yang seharusnya menjadi dasar perbaikan justru digugat oleh perusahaan ke Pengadilan Hubungan Industrial—seolah hendak membenarkan pelanggaran dengan legitimasi hukum.
Posting Komentar untuk "Sidang Saksi Ungkap Dugaan Pelanggaran Upah Lembur di Kawasan Industri Bantaeng"