Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

"Upah yang Dirampas, Derita yang Diabaikan.”


Di kaki gunung yang dulu sunyi

kini menggelegar mesin-mesin rakus,

menyedot nikel dari tanah moyang

menyedot peluh dari dahi rakyat.

 

PT Huadi berdiri megah,

dengan tembok tinggi dan janji-janji palsu,

di balik seragam dan helm proyek,

ada buruh lapar,

ada gaji yang tak pernah lunas,

ada malam-malam tanpa nasi.

 

Mereka, yang menggali bumi

dengan tangan pecah dan jantung resah,

tak diberi apa yang dijanjikan,

hanya disuruh diam,

dengan kata-kata manis yang memualkan:

“Ini untuk kemajuan, bersabarlah.”

 

Tapi yang tumbuh bukan kemajuan

melainkan luka.

 

Buruh yang sakit dibuang,

yang bersuara diancam,

yang bertanya dianggap pembangkang.

 

Dan kau, wahai pemimpin kabupaten,

kemana matamu menoleh?

Apa kau tak lihat mereka yang mengais

upahnya sendiri di kubangan debu?

Apa kau tuli pada jeritan

anak-anak buruh yang tak lagi sekolah?

Lidahmu kelu seperti disuap

oleh laporan palsu dan plang perusahaan,

padahal rakyatmu terbakar

oleh ketidakadilan yang kau biarkan tumbuh.

 

Apakah kau lupa,

daerah ini bukan hanya untuk investor,

tapi untuk petani yang ditendang dari tanahnya,

untuk nelayan yang lautnya memutih oleh limbah,

untuk buruh yang gajinya dijadikan lelucon oleh perusahaan?

 

Kami tidak minta emas,

hanya upah yang layak,

keringat yang dihargai,

dan pemimpin yang berani berpihak

bukan kepada modal

tapi kepada manusia.

 

Jika kau tetap bungkam,

kau tak lagi pemimpin,

kau hanya papan reklame

yang disewa oleh oligarki.

 

Dan kami akan terus bersuara,

dengan megafon, spanduk,

puisi, dan amarah,

sebab diam artinya mati,

dan kami ingin hidup

bukan sekadar bertahan

di bawah bayang-bayang pabrik

yang merampas segalanya

kecuali kehormatan kami.

 

Untuk para buruh yang dirampas haknya. Untuk Bantaeng yang hampir kehilangan nuraninya

.(oleh Pejuang di Kegelapan)

Posting Komentar untuk ""Upah yang Dirampas, Derita yang Diabaikan.”"