"Upah yang Dirampas, Derita yang Diabaikan.”
⸻
Di kaki gunung yang dulu sunyi
kini menggelegar mesin-mesin rakus,
menyedot nikel dari tanah moyang
menyedot peluh dari dahi rakyat.
PT Huadi berdiri megah,
dengan tembok tinggi dan janji-janji palsu,
di balik seragam dan helm proyek,
ada buruh lapar,
ada gaji yang tak pernah lunas,
ada malam-malam tanpa nasi.
Mereka, yang menggali bumi
dengan tangan pecah dan jantung resah,
tak diberi apa yang dijanjikan,
hanya disuruh diam,
dengan kata-kata manis yang memualkan:
“Ini untuk kemajuan, bersabarlah.”
Tapi yang tumbuh bukan kemajuan
melainkan luka.
Buruh yang sakit dibuang,
yang bersuara diancam,
yang bertanya dianggap pembangkang.
Dan kau, wahai pemimpin kabupaten,
kemana matamu menoleh?
Apa kau tak lihat mereka yang mengais
upahnya sendiri di kubangan debu?
Apa kau tuli pada jeritan
anak-anak buruh yang tak lagi sekolah?
Lidahmu kelu seperti disuap
oleh laporan palsu dan plang perusahaan,
padahal rakyatmu terbakar
oleh ketidakadilan yang kau biarkan tumbuh.
Apakah kau lupa,
daerah ini bukan hanya untuk investor,
tapi untuk petani yang ditendang dari tanahnya,
untuk nelayan yang lautnya memutih oleh limbah,
untuk buruh yang gajinya dijadikan lelucon oleh
perusahaan?
Kami tidak minta emas,
hanya upah yang layak,
keringat yang dihargai,
dan pemimpin yang berani berpihak
bukan kepada modal
tapi kepada manusia.
Jika kau tetap bungkam,
kau tak lagi pemimpin,
kau hanya papan reklame
yang disewa oleh oligarki.
Dan kami akan terus bersuara,
dengan megafon, spanduk,
puisi, dan amarah,
sebab diam artinya mati,
dan kami ingin hidup
bukan sekadar bertahan
di bawah bayang-bayang pabrik
yang merampas segalanya
kecuali kehormatan kami.
⸻
Untuk para buruh yang dirampas haknya. Untuk Bantaeng
yang hampir kehilangan nuraninya
.(oleh Pejuang di Kegelapan)
Posting Komentar untuk ""Upah yang Dirampas, Derita yang Diabaikan.”"