POTRET DINAMIKA KEHIDUPAN KAMPUS : ANTARA HARAPAN DAN REALITA
Penulis : Nur Hikmah | Sekretaris Bidang 1 HMPS Pend. Ekonomi FEB UNM | Angkatan 2023
Kampus bukan hanya tempat menimba ilmu, melainkan juga wadah tumbuh dan berkembangnya karakter, pemikiran kritis dan semangat perubahan. Dibalik gedung-gedung tinggi dan taman-taman asri, kehidupan kampus menyimpan berbagai cerita yang penuh warna dari yang penuh semangat hingga tantangan yang menyentuh nurani.
Kampus, dalam pandangan banyak orang, adalah tempat ideal untuk menimba ilmu, mengembangkan potensi dan mempersiapkan masa depan. Di sinilah tempat generasi muda menempa diri menjadi motor perubahan, pemimpin masa depan, dan penggerak peradaban. Namun dibalik harapan itu, kampus juga menyimpan dinamika realita yang tak selalu seindah teori. Di Makassar, wajah kehidupan kampus hari ini banyak dipenuhi oleh ketegangan, suara yang dibungkam, dan ruang belajar yang tidak lagi aman.
Di dalam kampus, mahasiswa datang dari berbagai latar belakang. Mereka membawa mimpi dan harapan untuk masa depan yang lebih baik. Kegiatan perkuliahan menjadi rutinitas utama, namun kehidupan kampus tidak berhenti sampai di sana. Organisasi kemahasiswaan, unit kegiatan mahasiswa, hingga diskusi-diskusi terbuka menjadikan kampus sebagai ruang yang hidup. Di sinilah mahasiswa belajar berorganisasi, berdebat, menyuarakan pendapat, hingga mengasah kepedulian sosial.
Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa dinamika kampus juga menghadirkan berbagai persoalan. Isu-isu seperti birokrasi yang berbelit, keterbatasan fasilitas, ketimpangan akses informasi, hingga tekanan akademik seringkali menjadi cerita yang tak terdengar di luar tembok kampus. Tak sedikit mahasiswa yang harus membagi fokus antara kuliah dan pekerjaan demi menunjang kehidupan sehari-hari.
Salah satu realita yang mencolok adalah bentrokan yang terjadi antara mahasiswa dan warga sekitar kampus. Harapan bahwa kampus menjadi pusat dialog dan nalar akademik tergantikan oleh asap gas air mata, lemparan batu dan kerusakan fasilitas pendidikan. Aksi mahasiswa yang awalnya bertujuan menyampaikan kritik terhadap kebijakan nasional justru berujung bentrok, menunjukkan bahwa komunikasi dan empati antar masyarakat kampus dan warga sekitar belum terbangun dengan baik. Realita ini menunjukkan bahwa ruang demokrasi seringkali disalah pahami baik oleh aparat, warga, bahkan mahasiswa itu sendiri.
Di sisi lain, pembatasan aktivitas mahasiswa dan pemangkasan anggaran di salah satu kampus ternama yang ada di makassar menjadi gambaran lain dari jurang antara harapan dan realita. Mahasiswa berharap kampus menjadi tempat yang mendukung kreativitas, organisasi dan pengembangan karakter. Namun yang terjadi adalah pembungkaman secara sistematik, baik melalui aturan kampus maupun minimnya keterlibatan mahasiswa dalam pengambilan keputusan. Akibatnya, protes dan pemblokiran jalan menjadi jalan terakhir untuk didengar. Harapan tentang kampus yang demokratis dan transparan nyaris menjadi ilusi.
Lebih menyedihkan lagi, ketika kampus gagal menjadi tempat aman bagi mahasiswa. Kasus dugaan pelecehan seksual oleh oknum dosen bahkan pimpinan kampus adalah pukulan telak terhadap integritas dunia pendidikan. Mahasiswa yang seharusnya dilindungi justru menjadi korban. Satgas PPKS yang diharapkan jadi pelindung, dinilai pasif dan birokratis. Di sini, harapan tentang kampus ramah korban, bebas kekerasan dan adil secara gender masih menjadi wacana kosong.
Tidak berhenti di situ, ancaman nyata juga datang dari luar sistem akademik. Premanisme di kampus, dengan masuknya orang tak dikenal bersenjata, menunjukkan bahwa kampus di Makassar belum sepenuhnya aman. Mahasiswa merasa diteror, bukan karena berbeda pendapat secara ilmiah, tapi karena situasi kekerasan yang dibiarkan terus tumbuh. Di mana letak perlindungan akademik? Di mana fungsi pengawasan kampus?
Tetapi, kampus juga menjadi ruang harapan. Banyak kegiatan positif seperti seminar, pelatihan, dan lomba ilmiah yang memacu kreativitas serta prestasi mahasiswa. Solidaritas antar mahasiswa dalam menyukseskan acara sosial atau mendukung rekan yang sedang mengalami musibah menjadi bukti bahwa nilai-nilai kemanusiaan tumbuh subur di lingkungan ini. Kehidupan kampus adalah cerminan mini dari realitas masyarakat. Di sinilah tempat para pemuda ditempa untuk menjadi pemimpin masa depan. Maka dari itu, penting bagi semua pihak, mahasiswa, dosen dan civitas akademika lainnya untuk bersama-sama menciptakan kampus yang inklusif, adil dan humanis.
Meski begitu, di tengah gelapnya realita, harapan belum sepenuhnya padam. Masih banyak mahasiswa yang bersuara, menulis dan bergerak dengan nalar. Masih ada dosen dan rektorat yang membuka ruang dialog, meski terbatas. Harapan itu ada namun ia harus diperjuangkan, bukan ditunggu. Kampus harus dibebaskan dari sekadar seremoni, dan mulai dibangun sebagai ruang nyata kebebasan berpikir, keadilan sosial, dan keamanan untuk semua.
Kampus bukan hanya tempat belajar teori dan hafalan, tapi ruang kehidupan yang membentuk arah berpikir, keberanian bersuara dan karakter masa depan. Namun hari ini, kita melihat bahwa wajah kampus tidak selalu sesuai dengan bayangan ideal yang selama ini kita dengar. Ada bentrokan yang pecah di halaman kampus, suara mahasiswa yang dibungkam, kebijakan yang tidak berpihak, serta rasa aman yang semakin menipis. Realitas ini menyakitkan, tapi tidak seharusnya membuat kita kehilangan harapan.
Harapan kami, mahasiswa, sederhana namun kuat: kami ingin kampus yang bisa mendengar. Kampus yang tidak hanya sibuk membangun citra, mencetak angka kelulusan dan akreditasi, tapi juga peduli pada suara dari bawah. Suara yang sering kali lemah, tapi menyimpan keresahan yang nyata. Kami ingin kampus yang hadir saat mahasiswa merasa tidak aman, bukan hanya ketika sedang mendapat prestasi. Kami berharap kampus menjadi tempat yang bebas dari kekerasan, dari pelecehan, dari tekanan birokrasi yang tidak manusiawi. Tempat di mana perempuan bisa belajar tanpa takut, di mana kritik dianggap bagian dari cinta terhadap perubahan dan di mana perbedaan dipandang sebagai kekayaan, bukan ancaman.
Kami juga ingin kampus yang lebih jujur. Transparan dalam kebijakan, adil dalam keputusan, dan terbuka dalam dialog. Kampus bukan milik satu pihak, tapi milik bersama, Mahasiswa, dosen, tenaga kependidikan dan seluruh elemen civitas akademika. Maka semua layak didengar dan dihargai. Realitas yang terjadi hari ini mungkin membuat kami lelah. Tapi dari kelelahan itu, kami belajar arti memperjuangkan. Harapan itu tumbuh bukan karena semua baik-baik saja, tapi justru karena kami tahu bahwa kampus bisa jadi lebih baik. Asal semua pihak bersedia melihat realitas, mengakuinya dan berjalan bersama untuk memperbaiki.
Potret kehidupan kampus hari ini adalah cermin dari kondisi bangsa: penuh tantangan, namun juga penuh kemungkinan. Mahasiswa bukan sekedar peserta didik, tapi penentu masa depan. Maka kampus pun bukan sekadar tempat belajar, tapi medan perjuangan. Saat harapan dan realita bertabrakan, di sanalah kita temukan makna sesungguhnya dari dinamika kehidupan kampus.
Posting Komentar untuk "POTRET DINAMIKA KEHIDUPAN KAMPUS : ANTARA HARAPAN DAN REALITA"