Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mahkamah Rakyat Nyatakan Buruh KIBA Menang Atas Gugatan PT. Huadi Nickel Alloy Indonesia

Makassar, 2 November 2025
— Di tengah hujan deras yang mengguyur kota Makassar, puluhan buruh Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) bersama rakyat solidaritas tetap berkumpul untuk bersidang. Mahkamah Rakyat bertajuk “Menjemput Keadilan bagi Buruh KIBA” digelar di aula Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) Makassar setelah lokasi awal di depan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) Makassar tak memungkinkan karena cuaca.

 

Mahkamah Rakyat ini diselenggarakan menjelang sidang putusan antara buruh KIBA dan PT Huadi Nickel Alloy Indonesia di PHI Makassar, yang akan menjadi puncak dari rangkaian panjang perjuangan hukum dan aksi massa selama berbulan-bulan. Bagi para buruh, forum rakyat ini menjadi ruang alternatif untuk menghadirkan keadilan yang kerap absen di ruang pengadilan formal.

 

Di ruangan sederhana itu, buruh menghadirkan suara mereka sendiri: suara yang selama ini tak didengar negara.

 

Sidang Rakyat: Suara Buruh, Suara yang Dihapus Negara

 

Majelis Rakyat dipimpin oleh tiga orang yang juga korban ketidakadilan struktural: Bapak Anda (pejuang tanah Bara-Barayya), Ibu Dg. Ati (petani perempuan Polombangkeng Takalar), dan Ibu Dg. Ba’u (pejuang tanah Lae-Lae). Mereka memimpin jalannya sidang yang diikuti secara khidmat oleh para buruh, mahasiswa, dan masyarakat solidaritas.

 

Empat buruh KIBA memberikan kesaksian tentang kondisi kerja di PT Huadi Nickel Alloy.

 

Amri, buruh pertama yang bersaksi, mengungkapkan bagaimana perusahaan menjadikan waktu sebagai alat penindasan.

 

“Terlambat sedikit saja, sejam gaji langsung dipotong. Tidak ada ruang untuk manusia di antara detik-detik absen,” ujarnya.

 

Mansur, buruh kedua, menyebut ia bekerja lebih dari 12 jam sehari, bahkan tanpa waktu ibadah.

 

“TKA yang jadi pengawas tidak kasih izin sholat. Kadang kerja bukan di jobdesk, tapi tetap harus patuh,” katanya.

 

Adiyatma Jaya, saksi ketiga, menyoroti lemahnya penerapan K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja).

 

“Baju dan sepatu kerja kadang baru dibagikan enam bulan sekali, bahkan setahun. Masker cuma masker medis. Kalau mau respirator, kami harus beli sendiri,” katanya.
Ia menambahkan, pada November 2024 ia pernah bekerja 23 jam nonstop di area tungku bersuhu tinggi.

 

Sementara Saldi, saksi keempat, membeberkan praktik PHK terselubung di perusahaan.

 

“Leader disuruh tunjuk siapa yang mau di-PHK. Kalau tidak mau, nanti dirumahkan dengan gaji cuma 1,5 juta,” ujarnya lirih.

 

Politik Upah Murah dan Pengadilan yang Mandul

 

Kuasa hukum LBH Makassar, Muhammad Ansar, menyebut praktik PT Huadi Nickel Alloy sebagai bentuk nyata politik upah murah yang melanggar hak asasi manusia.

 

“Ini bukan cuma soal teknis undang-undang. Ini sistem upah murah yang jadi politik industri. Dari jam kerja sampai potongan gaji, semua jadi alat penghisapan,” ujarnya.


“Kami menduga ada penggelapan dana dari potongan absensi. Tapi persoalan ini lebih besar dari satu perusahaan, ini wajah ketenagakerjaan yang dibiarkan negara.”

 

Junaid Judda, Ketua SBIPE KIBA menegaskan bahwa Mahkamah Rakyat menjadi momentum untuk mempertegas tuntutan mereka kepada perusahaan dan pemerintah: mengembalikan jam kerja delapan jam per hari, menegakkan pembayaran upah lembur sesuai aturan, memberi hak cuti haid, hamil, dan melahirkan bagi buruh perempuan, serta menghentikan sistem kerja paksa di seluruh industri, terutama di PT Huadi Nickel Alloy.

 

Putusan Majelis Rakyat: SBIPE Menang, Keadilan Tak Boleh Tunggu

 

Usai mendengarkan seluruh kesaksian, majelis hakim rakyat bermusyawarah. Ibu Dg. Ba’u, mewakili majelis hakim lainnya, membacakan putusan dengan suara bergetar namun tegas:

 

“Perusahaan wajib bertanggung jawab atas pelanggaran hak-hak buruh. Segala bentuk kerja paksa, pemotongan upah, dan pengabaian keselamatan kerja bertentangan dengan hukum dan kemanusiaan. Buruh harus dibayar penuh dan sistem ketenagakerjaan harus diperbaiki.”

 

Putusan itu disambut tepuk tangan panjang. Bagi buruh KIBA, ini bukan kemenangan hukum, melainkan kemenangan moral. Mahkamah Rakyat memang tak memiliki kekuatan yuridis, tetapi memiliki legitimasi moral yang selama ini diabaikan oleh negara.

 

Keadilan Rakyat di Tengah Keheningan Negara

 

Mahkamah Rakyat menjadi pengingat bahwa rakyat dapat menegakkan keadilan ketika negara gagal menjalankan tugasnya. Di tengah menanti sidang putusan PHI Makassar, buruh KIBA memilih untuk lebih dulu memutuskan nasibnya sendiri — bukan di tangan hakim negara, melainkan di tangan rakyat.

 

“Kami bukan angka di laporan investasi,” ujar salah satu buruh seusai sidang. “Kami manusia yang menuntut hidup layak.”


Posting Komentar untuk "Mahkamah Rakyat Nyatakan Buruh KIBA Menang Atas Gugatan PT. Huadi Nickel Alloy Indonesia"