Kampus, Jembatan Sosial dan Protes Rakyat
Di tengah gelombang demonstrasi masyarakat sipil beberapa minggu terakhir, muncul pertanyaan bagaimana peran kampus di Indonesia dalam merespon tuntutan publik tersebut? Dengan jumlah 4.416 perguruan tinggi, 303 ribu dosen, dan hampir 10 juta mahasiswa (PDDikti, 2024), kampus sesungguhnya menyimpan potensi besar sebagai ruang artikulasi gagasan rakyat. Namun yang muncul justru paradoks: sebagian besar kampus melalui Forum Rektor Indonesia (FRI) mendeklarasikan dukungan terhadap program prioritas pemerintah, pada Kamis, 14 Agustus 2025 di Surabaya, sementara di sisi lain masih ada dosen dari berbagai kampus yang mendapat intimidasi setelah mengkritik kebijakan negara atau kebijakan internal kampusnya.
Kondisi ini memperlihatkan dilema ganda. Di satu sisi, kampus digadang sebagai pusat pengetahuan yang otonom, tetapi disisi lain ia terjebak dalam relasi kuasa politik dan ekonomi. Dosen masih bergulat dengan kesejahteraan yang tidak sepadan, aturan jabatan fungsional yang berubah-ubah, hingga budaya kerja yang kerap represif. Mahasiswa pun merasakan keterputusan: sikap kritis mereka di jalanan tidak selalu menemukan ruang legitimasi di ruang kuliah. Kampus, yang seharusnya menjadi jembatan sosial, justru sering tampak menjauh dari denyut kehidupan rakyat.
Di titik inilah urgensi kampus sebagai jembatan kembali terasa. Ia tidak harus hadir dengan teriakan keras di jalanan, melainkan dengan merawat keberanian intelektual, membuka ruang dialog yang jujur, dan meneguhkan empati akademik pada masalah publik. Dengan begitu, perguruan tinggi tidak hanya mencetak gelar, tetapi juga ikut menjaga akal sehat bangsa di tengah riuh politik kekuasaan dan protes rakyat hari ini.
Ruang Publik dan Krisis Legitimasi
Jürgen Habermas (1962), dalam The Structural Transformation of the Public Sphere, memahami ruang publik sebagai suatu arena sosial di mana warga negara dapat bertemu untuk berdialog secara rasional dan setara, tanpa dominasi dari negara maupun kepentingan pasar, dengan tujuan membentuk opini publik yang sehat dan legitimasi sosial yang dapat diterima bersama. Dalam kerangka ini, ruang publik bukan sekadar tempat berkumpul atau bebas berpendapat, melainkan mekanisme deliberatif yang memungkinkan masyarakat menilai kebijakan, mendiskusikan masalah publik, dan menyeimbangkan kekuasaan politik dan ekonomi melalui pertukaran argumen yang terbuka dan rasional.
Di Indonesia saat ini, prinsip tersebut tampak menyusut. Ketika ribuan rektor mendeklarasikan dukungan terhadap program prioritas pemerintah dan dosen kritis menghadapi intimidasi atau tekanan administratif, kampus—yang seharusnya menjadi salah satu pusat ruang publik deliberatif—justru kehilangan posisi sebagai mediator wacana publik. Alih-alih menjadi penjaga akal sehat kolektif, institusi pendidikan tinggi terperangkap dalam krisis legitimasi, di mana argumen ilmiah tidak lagi menjadi penggerak diskusi publik, dan ruang dialog yang sehat semakin terbatas.
Sementara itu, kritik tajam datang dari peraih Nobel Fisika 2011, Brian Schmidt, yang menyoroti distorsi pendidikan tinggi global: pemeringkatan kampus internasional, kata dia, lebih mirip "iklan"—mengobral parameter penilaian yang sama untuk konteks ekonomi
berbeda universitas seperti Cambridge dan kampus di Indonesia—hingga membentuk pandangan bahwa kampus unggul hanya bisa mengikuti standar negara barat. Dalam kerangka Habermas, ini bukan sekadar soal ranking, melainkan kerentanan ruang publik akademik melalui penyeragaman ambisi yang melemahkan keberagaman gagasan, mempersempit wacana dan meredam citra kampus sebagai “laboratorium kebebasan berpikir”.
Ilmu, Rakyat dan Masa Depan Kampus
Pada akhirnya, kampus tidak bisa berdiri di menara gadingnya sendiri. Ilmu pengetahuan hanya bermakna ketika berpijak pada realitas rakyat, sekaligus memberi jalan bagi perubahan sosial yang menjadi kehendaki rakyat. Gelombang protes yang akhirnya memunculkan tagar #ResetIndonesia dan 17+8 tuntutan rakyat di media sosial menjadi pengingat bahwa keresahan publik tidak boleh hanya lewat di depan gerbang kampus, tetapi perlu diresapi, dipahami, dan dijembatani.
Sejarah Indonesia memberi pelajaran berharga melalui gagasan ‘Universitas Rakyat’ (Unra) yang berdiri pada 1958 dan Akademi Ilmu Sosial Ali Archam (AISA) yang lahir pada 1959. Unra menjadi ruang belajar alternatif yang menghubungkan pendidikan dengan kaum buruh, tani, dan masyarakat umum, dengan jenjang pendidikan mulai dari sekolah dasar hingga tingkat tinggi. Akademi Aliarcham, yang menekankan teori sosial-politik, ekonomi, sejarah, dan filsafat, bertujuan melatih intelektual yang mampu berpikir kritis, menganalisis masalah sosial, dan menghubungkan pengetahuan dengan kehidupan masyarakat. Meskipun kampus itu kemudian dibungkam oleh tekanan politik, prinsip dasarnya tetap relevan: ilmu sejatinya lahir untuk keberlangsungan hidup rakyat.
Masa depan perguruan tinggi Indonesia seharusnya bukan hanya soal mengejar peringkat global atau jumlah publikasi ilmiah—yang tampaknya lebih penting bagi beberapa kampus daripada merespons keresahan rakyat. Sementara rakyat menunggu jawaban nyata, kampus sibuk menata laporan akreditasi, memoles reputasi internasional, dan bersaing siapa paling keren di Google Scholar. Padahal, kalau kampus mau, menjaga integritas keilmuan dan kebebasan akademik tidak perlu sulit: cukup membuka ruang diskusi, mendengar rakyat, dan sesekali turun dari menara gadingnya. Siapa tahu, ilmu dan rakyat bisa bertemu, saling menguatkan, dan kampus benar-benar jadi tempat gelar bukan hanya untuk pajangan, tetapi untuk sesuatu yang berguna bagi kesejahteraan dan keamanan rakyat.
Penulis : Ferdhiyadi. Menekuni kajian ruang hidup-ekologi sosial, sejarah rakyat, dan gerakan sosial di Sosiologi UNM. Aktif mengembangkan riset dan ruang belajar bersama komunitas, salah satunya melalui inisiatif Tallo Bersejarah.




Posting Komentar untuk "Kampus, Jembatan Sosial dan Protes Rakyat"