Festival Tani Polombangkeng Takalar, Suara Dari Mereka Yang Terampas Ruang Hidupnya.
Takalar, 17 Agustus 2025. Petani Polongbangkeng bersama Gerakan Rakyat Anti Monopoli Tanah (GRAMT) menggelar Festival Tani dalam rangka memperingati 80 Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia (RI). Kegiatan ini dihadiri kurang lebih 250 petani yang tersebar di 7 Desa dan 2 Kecamatan di Kabupaten Takalar, dengan mengangkat tema “47 Tahun Suara Korban Pelanggaran HAM: Dari Ladang ke Ingatan, Suara Yang Tak Pernah Padam” pada Senin-Selasa, 18-19 Agustus 2025 di Kelurahan Parangluara, Takalar.
Tema tersebut dirumuskan berangkat dari refleksi panjang berbagai pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk Hak Asasi Perempuan (HAP) yang muncul sejak masuknya PTPN I Regional 8 di Kabupaten Takalar. Dimana, petani dipaksa untuk menyerahkan lahan produktifnya yang selama ini dikelola secara turun temurun dengan proses pembebasan lahan yang dilakukan dengan tindakan represifitas dari aparat kepolisian dan TNI yang menimbulkan kekerasan, kriminalisasi dan bahkan trauma yang berkepanjangan. 47 tahun Petani Polongbangkeng Takalar terus melawan perampasan lahan, berbagai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia dan terus berjuang agar lahannya dapat dikembalikan. Sejak tahun 1978-an hingga 1990-an, Ribuan petani di Polongbangkeng, dipaksa untuk menyerahkan tanahnya untuk menjadi kebun tebu perusahaan pemerintah, dengan atau tanpa ganti rugi oleh perusahaan dibawah ancaman aparat keamanan waktu itu.
Kegiatan ini menjadi ruang peringatan sekaligus perlawanan untuk mengingat suara-suara korban pelanggaran hak asasi manusia yang kerap dibungkam, sekaligus merayakan kekuatan petani menjaga tanah, ingatan, dan kehidupan. Festival ini lahir dari kesadaran bahwa perjuangan petani tidak hanya soal pangan dan tanah, tetapi juga bagian dari upaya melawan impunitas dan melestarikan memori korban pelanggaran HAM di Indonesia. Ingatan kolektif atas penderitaan, ketidakadilan, serta suara-suara yang coba dilenyapkan negara, kembali dihidupkan melalui lomba, seni, musik, pameran arsip, dan diskusi publik.
Kegiatan ini juga menegaskan keterhubungan antara perjuangan petani Takalar dengan gerakan korban pelanggaran HAM di seluruh Indonesia. Dari ladang yang terus dipertahankan, tumbuh pula ingatan tentang perjuangan melawan ketidakadilan struktural, mulai dari perampasan tanah hingga kekerasan negara. Festival petani tahun ini juga turut mengundang Bupati Kabupaten Takalar, DPRD Kabupaten Takalar serta Kantah ATR/BPN Takalar. Sayangnya, instansi tersebut tidak hadir dalam kegiatan yang dilakukan. Hal ini tentu menunjukkan bahwa tidak adanya itikad baik dari Pemerintah Daerah Kabupaten Takalar untuk melakukan upaya penyelesaian konflik yang sudah terjadi sejak lama dan cenderung mengabaikan proses dialog bersama warganya.
80 Tahun Kemerdekaan Indonesia, nyatanya belum memberikan kemerdekaan yang sesungguhnya kepada para petani dalam hal mengakses, mengolah dan memanfaatkan lahan produktifnya. Selain itu juga memperlihatkan kegagalan Pemerintah dalam menjalankan kewajibannya untuk memenuhi, melindungi dan menghormati hak setiap warga negaranya termasuk hak atas tanah warganya.
“Sejak 47 tahun yang lalu, petani polongbangkeng Takalar melakukan perlawanan terhadap perampasan tanah dan terus merawat perjuangan kolektif untuk merebut kembali hak atas tanahnya. Momentum 80 tahun kemerdekaan sejatinya tidak hanya dijadikan sebagai kegiatan ceremonial belaka tetapi menjadi ruang refleksi untuk menghentikan segala bentuk pelanggaran HAM dan HAP, demi mewujudkan keadilan dan kedaulatan bagi petani atas tanahnya karena dengan tanah, petani tidak hanya menanam padi, jagung, atau sayur, tetapi juga menanam harapan, kebebasan, serta keberlanjutan hidup anak-cucu mereka” ucap salah satu perwakilan Gerakan Rakyat anti Monopoli Tanah, Muzdalifah Jamal.
Saat ini telah memasuki tahun 47 tahun Petani Polongbangkeng Takalar melawan perampasan lahan, berbagai bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia dan terus berjuang agar lahan dapat dikembalikan. Berakhirnya jangka waktu semua HGU PTPN di Takalar pada 9 Juli 2024 dengan luasan 6.650 Ha, menjadi momentum yang membangkitkan kembali harapan dari petani untuk dapat memperoleh tanahnya kembali guna memperoleh kehormatan dan menjaga harga diri sebagai seorang petani.
“Dulu saya dipaksa untuk menyerahkan tanah orang tua saya ke perusahaan dengan janji di kontrak cuma 25 tahun, setelah itu dikembalikan. Tapi nyatanya sampai hari ini tanah kami masih dikuasai oleh PTPN padahal HGUnya sudah habis. Sejak tidak ada tanah, saya kesulitan untuk menyekolahkan anak saya, kami betul-betul dimiskinkan sejak masuknya PTPN di Takalar. Harapannya tanah petani segera dikembalikan, kami juga mau keadilan, mau mengolah kembali tanah kami”, ungkap Dg.Serang, Perwakilan petani Polongbangkeng Takalar.
Harapan ini sejalan dengan perjuangan korban pelanggaran HAM di berbagai tempat yang terus menuntut pengakuan, pemulihan, dan keadilan. Suara mereka bertemu dalam satu titik yakni menolak dilupakan. Maka dari itu, Festival Tani ini bukan sekadar perayaan, melainkan juga pernyataan politik bahwa tanah harus dikembalikan kepada petani, dan hak korban pelanggaran HAM harus dipenuhi negara. Karena tanpa keadilan bagi petani dan korban, Indonesia tidak akan pernah benar-benar merdeka.
Supianto atau yang kerap disapa Ijul dari Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Sulawesi Selatan ikut menekankan bahwa tidak ada kemerdekaan bagi kaum tani jika negara masih mempertahankan sistem terbekalang SJSF.
"80 tahun kemerdekaan yang saat ini dirayakan dengan meriah oleh pemerintah Indonesia nyatanya hanya ilusi bagi rakyat. Faktanya Negara Indonesia sampai saat ini masih mempertahankan sistem terbelakang yaitu Setengah Jajahan Setengah Feodal (SJSF). Salah satu ciri dari sistem tersebut adalah bagaimana Negara memonopoli tanah. Inilah yang terjadi di Polombangkeng, Negara dengan seenaknya mencaplok tanah-tanah milik petani yang mengakibatkan petani Polombangkeng terpisah dari tanah mereka." Jelas Ijul saat sesi diskusi publik.
Dia juga menambahkan jika kemerdekaan sejati bagi kaum tani harus diperjuangkan bersama melalui perjuangan yang solid dan disiplin.
"Kemerdekaan diraih melalui perjuangan panjang Rakyat Indonesia khususnya Kaum Tani dan Klas Buruh bersama Pemuda, jika Petani Polongbangkeng ingin meraih kemerdekaan atas tanahnya yang dirampas oleh PTPN selama puluhan tahun, maka kita harus mengingat dan belajar dari sejarah bahwa kemenangan hanya bisa diraih melalui persatuan dan perjuangan yang disiplin." Tegasnya.
Melalui Festival Tani ini, Petani Polongbangkeng bersama GRAMT juga jaringan korban dan aktivis hak asasi manusia menegaskan bahwa suara korban tidak boleh dilupakan. Dari ladang ke ingatan, perjuangan mereka tetap menjadi nyala api yang akan terus menerangi jalan panjang demokrasi dan keadilan di Indonesia. Bagi para petani, festival ini juga menjadi wadah menyuarakan kembali harapan yang paling mendasar, agar tanah mereka dikembalikan. Tanah yang selama ini dirampas atau dialihfungsikan tanpa persetujuan, telah membuat banyak keluarga kehilangan sumber hidup, dan memaksa generasi muda petani meninggalkan kampungnya.
Posting Komentar untuk "Festival Tani Polombangkeng Takalar, Suara Dari Mereka Yang Terampas Ruang Hidupnya."