BRUTAL.
Penulis : Yusran Hidayat Bahar | Mahasiswa Sastra Inggris | Anggota FMN UNHAS
"Menara tinggi itu pada akhirnya mencetak manuskrip-manuskrip pertukaran nilai angka. Tak ada lagi jiwa yang bergerak, tak ada lagi raga yang berpikir, dan tak ada lagi mahasiswa yang menggugat. Semuanya mati. Jiwa-raga mahasiswa runtuh bersama dengan institusinya. Menindih ilmu menjadi mayat. Diambil lalu dikafani oleh kapitalis birokrat. Dan akhirnya dikubur di ruang-ruang kuliah.
Mungkin itulah yang setidaknya dapat menjelaskan sedikit bagaimana kondisi Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum, intitusi pendidikan yang dirasuki neoliberalisme. Dengan semangat menjadi pemasok sumber daya manusia (dibaca: pekerja) yang efisien, kampus bergerak dengan langkah kapitalistik. Semangat tersebut terjadi atas hasil krisis kurang lebih dua dekade lalu, saat pemerintah (dibaca: penindas) kita menerima sokongan dari International Monotery Fund (IMF) dan tekanan dari Bank Dunia serta World Trade Organization (WTO) untuk mengadakan parade perdagangan, hingga ke altar pendidikan. Akhirnya semangat tersebut dijalankan dengan metode yang menghancurkan estetika, merusak logika, dan meninju moral dengan lantang. Lalu mewujudkan pendidikan tinggi yang berorientasi pasar, bukan pada kecerdasan rakyat, dengan kurikulum yang dikomersialisasi, biaya kuliah yang melonjak, depolitisasi gerakan mahasiswa, serta kualitas pendidikan yang merosot.
Neoliberalisme, sebagai arwah yang gentayangan dalam tubuh kebijakan, telah merudapaksa tujuan sejati pendidikan—praksis pembebasan. Dalam cengkeramannya, pendidikan dipaksa tunduk pada logika efisiensi dan kompetisi, mencabut akar maknanya sebagai proses humanisasi. Padahal, pendidikan, bila tak dilukai oleh kepentingan pasar, justru merupakan ladang subur bagi tumbuhnya kesadaran kritis. Ia bukan sekadar jalan untuk memahami dunia, melainkan medan tempat manusia membentuk dirinya secara utuh—dirinya sebagai bagian dari realitas sosial, lalu bertindak untuk mengubahnya. Dalam makna ini, pendidikan semestinya bukan ruang tunggal yang berisi hafalan-hafalan kaku, melainkan ruang dialektis di mana pertanyaan, keraguan, dan pencarian menemukan tempatnya. Ia adalah tempat di mana murid tidak dituntut menjadi mesin jawaban, melainkan digembleng untuk menjadi manusia yang mampu bertanya dengan jujur dan menjawab dengan sadar.
Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya: pendidikan hari ini kerap menyerupai aktivitas menabung, di mana peserta didik duduk sebagai celengan pasif dan pendidik bertindak sebagai penabung yang tekun mengisi isi kepala dengan mata uang informasi yang dingin dan tak bernyawa. Siti Munrtiningsih dalam buku Pendidikan Alat Perlawanan, Teori Pendidikan Radikal Paulo Friere, menjelaskan konsep yang diperkenalkan oleh Friere. Ia menyebut pola ini sebagai sistem pendidikan bank, di mana guru menjadi pencerita tunggal, dan murid menjadi pendengar yang patuh dan pasrah. Relasi ini melanggengkan penindasan dalam bentuk yang paling sunyi: ketika otoritas bersembunyi di balik buku pelajaran dan kurikulum. Namun Freire tidak berhenti di sana. Ia mengajukan jalan keluar yang tak hanya berupa tindakan, karena tindakan tanpa refleksi hanya akan melahirkan aktivisme kosong. Tapi ia juga menolak refleksi semata, sebab itu bisa menjebak manusia dalam subjektivisme yang mengingkari realitas. Maka, dalam integrasi refleksi dan aksi—praksis pembebasan—pendidikan menemukan kembali wajah sucinya: sebagai medan untuk memerdekakan manusia dari kebodohan yang direkayasa, dari ketundukan yang diwariskan, dan dari dunia yang dijalankan tanpa kesadaran.
Roem Topatimasang dalam Sekolah Itu Candu menyajikan kritik yang ramah dan menyayat. Melalui bab "Sekolah Sudah Mati!", ia menyulut bara tanya tentang makna sejati pendidikan: benarkah sekolah hari ini masih menjadi rahim peradaban, ataukah telah menjelma menjadi rahim yang kebanalan? Ia menggugat fungsi sekolah yang tak lagi membentuk manusia, melainkan melahirkan sarjana-sarjana setengah manusia, seperempat binatang, dan seperempat setan; mempertanyakan lulusan yang tersesat dari disiplin ilmunya, dan teknologi yang tak lahir dari laboratorium sekolah, tetapi dari mesin-mesin perang dan kerakusan kapital. Maka, jika segala jawaban dari pertanyaannya berujung pada “ya”, Topatimasang dengan gemetar namun gamblang menyatakan: sekolah memang telah mati.
Pendidikan hari ini, alih-alih menjadi taman subur bagi kebijaksanaan, justru menjelma panggung tragedi ala Shakespeare—tempat ambisi membunuh nurani, dan pasar menjagal makna. Seperti Macbeth yang menumpahkan darah raja demi takhta, banyak kampus kini menumpahkan idealisme ilmu demi kapital dan akreditasi. Ilmu pengetahuan dikomodifikasi, gelar diperjualbelikan, dan mahasiswa ditinju habis-habisan menjadi mesin pekerja. Maka, tepat kiranya gema bisik Macbeth kepada istrinya, babak satu, adegan tujuh, "False face must hide what the false heart doth know", Macbeth sadar bahwa ia akan melakukan tindakan yang bertentangan dengan nurani. Ia menyadari bahwa ia harus berpura-pura di luar untuk menyembunyikan kejahatan dalam hatinya, selayak kondisi sekarang karena di balik wajah manis pendidikan, tersembunyi hati palsu yang tahu betul telah mengkhianati misi suci pembebasan.
Jika Shakespeare telah memperingatkan perihal ambisi yang membunuh nurani, maka hari ini kita menyaksikan ambisi tersebut terwujudkan. Bentuk yang mungkin paling menusuk mata dan melubangi kepala saya adalah manufakturisasi kurikulum. Neoliberalisme sudah tidak kasat mata lagi, ia menerobos masuk dengan membusungkan dadanya, mendobrak dengan dahsyat ke dalam kurikulum pendidikan tinggi. Dengan kacamata neolib, mereka hanya melihat dan memilih mata kuliah sebagai satuan angka, tidak untuk mencerdaskan, tapi yang menguntungkan.
Saya akan menilik lebih dekat pada badan terkecil di dalam kampus, departemen atau program studi. Di Universitas Hasanuddin, Fakultas Ilmu Budaya, berdirilah sebuah bangunan berwarna jingga dengan kesan yang urban dan sempit. Bangunan itu adalah Departemen Sastra Inggris, dan saya merupakan salah satu mahasiswa yang berasal dari sana. Setelah setahun saya menjadi bagian dari kampus, ternyata terjadi (lagi) transformasi oleh neolib, mereka memangkas masa studi untuk angkatan selanjutnya, lalu merubah juga kurikulum yang digunakan.
Berfokus pada kurikulum, maka kita akan melihat satu dari berbagai pergerakan yang menjebol tanda seru di kepala kita dan membangun banyak tanda tanya untuk Departeman Sastra Inggris. Mereka menghapus mata kuliah Dasar-Dasar Filsafat, lalu mewajibkan mata kuliah Kewirausahaan di semester satu. Kalian semua tidak salah baca, MEREKA MENGHAPUS MATA KULIAH DASAR-DASAR FILSAFAT, LALU MEWAJIBKAN MATA KULIAH KEWIRAUSAHAAN DI SEMESTER SATU. Saya ulangi,
MEREKA.
MENGHAPUS.
MATA. KULIAH.
DASAR. DASAR.
FILSAFAT.
BRUTAL.
Untuk menelanjangi kampus dan melihat di mana posisi filsafat di tubuhnya, kita setidaknya harus memposisikan diri kita sendiri lebih jauh. Hal itu dilakukan untuk mendapatkan penglihatan pada objek yang lebih luas–humaniora. Kegiatan ini dilakukan karena sudah menjadi tradisi di dalam koridor perguruan tinggi, kita seringkali mendudukkan filsafat pada ruang humaniora. Akan sangat melelahkan untuk menjelaskan secara holistik apa itu humaniora. Namun saya setidaknya akan menggunakan salah satu gagasam dari Albert Willian Levi, seorang filsuf dari Amerika Serikat, dari bukunya The Humanities, halaman 29, yang dikutip oleh K. Bertens dalam buku Pengantar Filsafat.
“The liberal arts are three, that is, the arts of communication, the arts of continuity, and the arts of criticism”
Pengartian oleh Levi menjadi istilah yang cukup populer digunakan di Amerika Serikat. Menggunakan cara yang mengugahkan, yaitu membuat payung besar yang meliputi ilmu-ilmu bahasa dan sastra di wilayah komunikasi, ilmu sejarah yang variatif di bawah pengertian kontinuitas, dan filsafat dikaitkan dengan pengertian kritik. Ia menjelaskan juga bahwa the liberal arts dimaknai sama dengan humaniora; di Amerika Seritkat istilah tersebut lebih marak digunakan ketimbang humanities. Maka dengan ini, kita setidaknya telah mengetahui apa itu humaniora.
K. Bertens dalam tulisan yang sama, juga menjelaskan secara brilian terkait posisi humaniora di perguruan tinggi. Ia menjelaskan argumen seorang filsuf Amerika Serikat lagi, Martha Nussbaum. The silent crisis—krisis sunyi, istilah oleh Nussbaum, yang merayap tanpa gegap gempita, namun mengguncang fondasi pendidikan tinggi dari dalam. Perlahan, posisi humaniora di universitas-universitas disingkirkan dari panggung utama, didesak mundur oleh kemegahan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dibungkus ambisi pasar. Di Amerika Serikat, katanya posisi humaniora masih bertahan, meski digerogoti; di Eropa Barat lebih parah lagi. Arah pendidikan telah menyimpang, menjelma proyek besar untuk mencetak agen-agen ekonomi, bukan warga dunia. Maka, di tengah badai orientasi profit, humaniora menjadi suara lirih yang terus-menerus dipaksa diam, sebab ia— dengan kodratnya yang not for profit—tak laku dijual di pasar kerja. Padahal, sebagaimana ditegaskan Nussbaum, justru dari rahim humanioralah lahir warga negara yang berpikir jernih, empatik, dan demokratis—manusia seutuhnya, bukan sekadar mesin produksi. Dan ironisnya, dalam kandangnya sendiri, sepertiga jiwa humaniora dimarjinalkan. Di sebuah departemen sastra yang semestinya menjadi taman bagi filsafat, seni, dan bahasa merdeka, mata kuliah dasar-dasar filsafat justru terpinggirkan, diposisikan tak lebih penting daripada deretan kompetensi pragmatis yang digembar-gemborkan kurikulum. Filsafat kehilangan tempat, seperti burung kehilangan langit.
Mungkin saya belum tau apa-apa tentang sastra maupun filsafat, mungkin saya memang masih kurang mempelajari keduanya sehingga saya hanya dapat melihat sedikit dari lapisan terluarnya saja. Tapi sejauh pustaka kepala saya berjalan dengan langkah-langkah sempitnya, sastra dan filsafat adalah dua entitas yang sejak awal tampak kontras namun sejatinya saling menghidupi. Sebagaimana dikatakan Martin Suryajaya; sastra menjebol, filsafat membangun. Keduanya membicarakan kehidupan dan hakikat manusia, meski dengan pendekatan berbeda: sastra dengan keindahan dan evaluasi estetis, filsafat dengan ketajaman nalar dan pencarian makna terdalam.
Sejarah mencatat hubungan silang sengketa ini sejak Plato hendak mengusir Homer dari kota idealnya, meski ia sendiri menulis Republik dalam bentuk sastra—dialog imajiner yang menghidupkan ide-ide politiknya. Maka tak heran jika karya sastra yang agung—mengandung nilai-nilai filsafat—selalu dianggap lebih bermutu, lebih dalam, dan lebih kaya makna, karena ia tidak hanya menghibur tetapi juga menggugat dan menggugah. Namun hari ini, di Departemen Sastra Inggris FIB Unhas, ironi itu mencapai puncaknya. Inilah penguburan diam-diam terhadap roh pemikiran, diganti dengan semangat pasar. Ketika filsafat dibungkam dan diganti dengan kalkulasi laba, maka sastra pun kehilangan napasnya yang paling dalam.
Gerakan brutal itu terjadi secara tiba-tiba, bahkan beberapa mahasiswa tidak menyadarinya. Mungkin karena jiwa raga mahasiswa telah dibredel habis-habisan oleh kampus yang “merdeka”. Tapi apa arti kemerdekaan jika ia hanya nama lain dari penaklukan baru? Dalam esai yang getir namun jernih, Ben K. C. Laksana menelusuri jejak licin dari “Merdeka Belajar” ala Menteri Nadiem—sebuah jargon yang di permukaannya menjanjikan kebebasan, namun di kedalaman maknanya justru memantulkan wajah lama pendidikan yang bersujud kepada pasar. Dengan sigap, kurikulum disulap jadi cetakan buruh unggul; ruang kelas dijinakkan menjadi bengkel teknokratik; dan pengetahuan, oh, pengetahuan yang dahulu liar dan memberontak kini disulap menjadi katalog keterampilan siap jual. Betapa menyedihkan ketika cita-cita luhur pendidikan direduksi menjadi sekadar pelumas ekonomi. Dan di tengah gejolak itu, lahirlah hierarki pengetahuan yang kejam: lulusan ilmu alam dielu-elukan sebagai anak kandung peradaban, sementara ilmu sosial dan humaniora—yang justru mempersoalkan dunia—dihina sebagai beban, pariah, manusia-manusia buangan dari narasi besar kemajuan. Maka tak heran, dalam zaman yang rakus ini, idealisme Du Bois terdengar seperti nyanyian dari negeri dongeng. Siapa yang masih berani berkata bahwa pendidikan menyentuh jiwa, bukan dolar? Siapa yang berani percaya bahwa pendidikan adalah jalan sunyi menuju pembebasan, bukan lorong sempit menuju upah minimum? Kampus ini tidak pernah merdeka, kita tidak merdeka untuk belajar, kita tidak merdeka untuk berpikir, kita diminta untuk memerdekakan kapitalis.
Seperti Santiago dalam Sang Alkemis, mahasiswa semestinya berjalan menyusuri padang pasir sunyi untuk mengejar “Legenda Pribadi”-nya, bukan sekadar menjejaki jalur karier yang telah dipetak-petakkan oleh birokrasi kampus dan logika pasar. Santiago meninggalkan Andalusia yang nyaman demi mengikuti mimpi yang tampak absurd: harta karun di kaki Piramida. Di tengah perjalanan, ia berjumpa dengan Raja Tua yang memberinya batu Urim dan Tumim, dengan si Alkemis yang mengajarinya bahasa dunia, dengan hati sendiri yang sering meragukan. Namun ia terus melangkah, sebab ia tahu, "Dan saat engkau menginginkan sesuatu, seluruh jagat raya bersatu padu untuk membantu meraihnya". Namun, betapa getir dunia ini ketika mimpi mahasiswa justru dibungkam oleh kurikulum yang disusun bukan untuk pencarian, melainkan untuk penjinakan. Mereka diminta untuk mendengarkan hati, tetapi diukur dengan rubrik dan IPK. Mereka diajari untuk menjelajah, namun dipagari akreditasi. Maka kampus bukan lagi oasis bagi jiwa-jiwa pengelana seperti Santiago, melainkan gurun yang menghapus jejak, membungkam ilham, dan mengerdilkan “Legenda Pribadi” menjadi sekadar lowongan kerja.
Menghilangkan neoliberalisme dari tubuh pendidikan adalah cara paling ampuh untuk mengembalikan pendidikan ke altarnya. Namun langkah tersebut terlalu besar. Kita perlu memikirkan rangkak-rangkak kecil untuk membebaskan, setidaknya diri mahasiswa dari parade perdagangan. Satu-satu cara untuk melangkahkan tapak kaki kembali ke jalur pembebesan adalah menjemput humaniora–sastra dan bahasa, sejarah, dan khususnya filsafat menjadi pintu pertama menuju ladang ilmu pengetahuan yang luas, hingga berbaur ke masyarakat.
Dalam menapaki lorong-lorong sunyi yang ditinggalkan filsafat dari ruang-ruang akademia, saya meminjam kerangka perjuangan revolusioner dari Struggle for National Democracy karya Jose Maria Sison dan Manifesto Partai Komunis karya Marx dan Engels. Kedua naskah tersebut tak hanya menjadi tonggak sejarah perjuangan rakyat tertindas, tetapi juga cetak biru bagi setiap gerakan yang merindukan keadilan intelektual dalam ranah pendidikan. Di dalamnya, terangkum strategi dua lapis—gerakan di permukaan dan di bawah tanah—yang masing- masing bergerak dalam dunia terang dan bayang-bayang, saling mengisi dan menopang, demi merebut kembali ruang yang dirampas oleh kuasa dominasi. Gerakan ini bukan hanya sebuah metode perjuangan, tetapi suatu praksis yang memadukan teori dan aksi, kesadaran dan keberanian, untuk membebaskan kampus dari kekosongan spiritual yang ditinggalkan oleh eksodus humaniora.
Sebagai tulang punggung dari strategi ini, sebuah kolektif ideologis dan organisatoris perlu dibentuk—satu simpul pemantik yang tak gentar menyuarakan kebenaran di tengah ketakziman akademik terhadap pragmatisme semu. Kolektif ini mencakup unsur mahasiswa dari berbagai angkatan, alumni kritis, serta dosen- dosen yang masih menyisakan denyut humaniora di nadi pengajarannya. Mereka akan bertindak sebagai kurir ide dan pelaksana taktik dalam dua medan; gerakan di permukaan sebagai jalur legal, terbuka, dan sistemik; serta gerakan bawah tanah sebagai bentuk perlindungan ide, konspirasi kultural, dan jaringan alternatif. Mereka adalah pewaris etis dari tradisi pemikiran—menolak tunduk pada industrialisasi pendidikan tinggi, dan justru menyalakan kembali obor filsafat di lorong-lorong institusi yang kian dikomersialisasi.
Gerakan di permukaan akan dimulai dari rahim yang melahirkan keresahan ini: Departemen Sastra Inggris. Di sinilah organisasi mahasiswa yang telah lama tidak meyadari masalah ini, akan menjelma menjadi ruang dialektika dan kerja praksis. Ia akan mencoba menghidupkan kembali forum-forum studi, diskusi publik, dan penyusunan rekomendasi kurikulum yang berbasis pada kebutuhan pembebasan intelektual mahasiswa. Dari sini, gema gerakan meluas ke tingkat fakultas melalui organ yang lebih tinggi, yang akan memanfaatkan legalitas struktural untuk mendorong integrasi ulang filsafat dan ilmu-ilmu humaniora ke dalam kurikulum. Melalui pendekatan legal-formal ini, muatan humaniora akan diadvokasi sebagai prasyarat bagi pendidikan tinggi yang memanusiakan manusia, bukan sekadar mencetak tenaga kerja. Setiap aksi akan dipayungi oleh wacana ilmiah dan administratif, sekaligus dijalin dengan kekuatan argumentatif yang bersandar pada hakikat universitas sebagai rumah ilmu, bukan pabrik ijazah.
Namun di balik panggung terang itu, gerakan bawah tanah akan memainkan perannya yang lebih senyap namun dalam: membangun jaringan klandestin penggerak studi filsafat, menyelenggarakan lingkaran-lingkaran di luar kurikulum resmi, serta menciptakan ruang-ruang budaya alternatif di mana bahasa, sastra, dan sejarah hidup kembali sebagai alat pembebasan. Di tingkat departemen, forum ini akan menyusun silabus tandingan serta mengaktifkan kritik terhadap komersialisasi akademik secara diam-diam namun sistematis. Di tingkat fakultas, jaringan akan merambah ke diskusi-diskusi selepas kelas hingga malam menjemput, pembacaan puisi yang membakar apa saja, pementasan teater yang estetis dan reflektif, hingga produksi zine dan media bawah tanah yang menyebarkan ide secara luas namun sulit dilacak oleh otoritas. Gerakan ini menyemai kesadaran dari bawah, membangun katedral filsafat dalam kesenyapan, menunggu saat yang tepat untuk bangkit dan merebut kembali ruangnya.
Dengan kombinasi dua strategi ini, saya mengusulkan sebuah proses penumbuhan kembali filsafat secara khusus dan humaniora secara umum, dimulai dari luka yang tampak di Departemen Sastra Inggris. Luka itu menjadi pintu masuk menuju kebangkitan: dari forum kecil yang menyulut api, menuju fakultas yang kembali membuka ruang bagi diskursus mendalam, hingga menyebar ke seluruh Unhas sebagai upaya dekonstruksi terhadap logika utilitarian pendidikan. Ketika filsafat kembali dipertemukan dengan bahasa, sastra, dan sejarah, maka kampus akan kembali menjadi tanah subur bagi pengetahuan yang berakar pada kesadaran manusia dan bergerak menuju pembebasan sosial. Dan dari kampus, ide-ide itu akan mengalir ke masyarakat—bukan sebagai retorika kosong, tetapi sebagai praksis transformatif yang membebaskan.
Kita harus melukiskan pemandangan merdeka yang sebenarnya. Kita bukan objek dari projek kapitalisasi pendidikan, tapi kita adalah subjek sejarah. Kita akan menjaga api tersebut dan jikalau itu padam, maka Prometheus akan memunculkan batang hidungnya kembali–bersama rakyat akan mencuri dan menjaga api tersebut. Jika filsafat dihapus, kita hidup tanpa tanda tanya. Jika sastra dibungkam, kita hidup tanpa makna. Dan jika kampus menyerah pada pasar, maka kita semua sedang dijual. Kami tidak akan kuliah untuk dibentuk menjadi karyawan. Kami kuliah untuk menggugat dunia. Kami ingin Pendidikan yang Ilmiah, Demokratis, dan Mengabdi pada Rakyat.
Daftar Pustaka
Bertens, K., Ohoitimur, J., & Dua, M. (2018). Pengantar Filsafat. Kanisius.
Coelho, P. (2021). Sang Alkemis. Gramedia Pustaka Utama.
Laksana, B. K. C. (2020, September 25). “Merdeka Belajar” Gaya Menteri Nadiem: Apanya yang Merdeka? IndoPROGRESS. Retrieved April 6, 2025, from
https://indoprogress.com/2020/09/merdeka-belajar-gaya-menteri-nadiem- apanya-yang-merdeka/
Marx, K., & Engles, F. (1848). Manifesto Komunis.
RedBook.Sison, J. M. (n.d.). Struggle for National Democracy.https://aklatangbayan.wordpress.com/wp-content/uploads/2013/02/stuggle_for_national_democracy_third_ed_-
Murtiningsih, S. (2004). Pendidikan Alat Perlawanan, Teori Pendidikan Radikal.
Resist Book.
Shakespeare, W. (2023). English Classics: Macbeth. Gramedia Pustaka Utama.
Topatimasang, R. (2020). Sekolah itu Candu. INSISTPress.
Posting Komentar untuk "BRUTAL."