Dari Omnibus Law Cipta Kerja Hingga PPN 12%, Kebijakan Pemerintah Indonesia di Bawah Dikte Imperialisme AS
Keputusan menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai tanggal 1 Januari 2025 telah diamanatkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) pada 29 September 2021 oleh inisiatif pemerintah Jokowi-MA bersama DPR, sesuai dengan amanat UU Cipta Kerja Omnibus Law. Dalam konsepnya, kenaikan tarif PPN 12% ini berlaku untuk seluruh transaksi barang dan jasa yang selama ini dikenakan tarif 11%, dan wajib dipungut, disetor, dan dilaporkan Pengusaha Kena Pajak/PKP kepada negara.
Kenaikan ini menimbulkan berbagai gejolak penolakan berbagai elemen rakyat Indonesia, baik itu kelas buruh, kaum tani, pemuda mahasiswa, masyarakat perkotaan, hingga pengusaha. Pasalnya, kenaikan ini terjadi dalam kondisi ekonomi yang memburuk, tingginya angka PHK, rendahnya daya beli masyarakat akibat deflasi semenjak bulan Mei 2024, hingga beban utang warisan rezim Jokowi yang jatuh tempo. Situasi tersebut mendorong rakyat dan mahasiswa Indonesia untuk melakukan aksi di berbagai kota selama Desember 2024 lalu.
Rezim Prabowo kalang-kabut; 31 Desember 2024 malam, ketika rakyat sedang berkumpul dengan keluarganya dan merayakan tahun baru 2025, Presiden Prabowo dan Menkeu Sri Mulyani mengumumkan bahwa kenaikan PPN 12% hanya berlaku pada “barang-barang mewah” yang sebetulnya sudah dipajaki melalui Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) yang tercantum dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 15 tahun 2023. Sebelumnya, mereka mengumumkan pembatalan kenaikan PPN hanya bagi minyak goreng jenis Minyakita, tepung, dan gula industri. Kemudian, rezim Prabowo mengeluarkan PMK Nomor 131 Tahun 2024 yang diundangkan pada hari yang sama. PMK ini menyatakan bahwa PPN dihitung dengan mengalikan tarif 12% dengan dasar pengenaan pajak 11/12 dari nilai impor, harga jual, atau penggantian.
Namun, penyesuaian yang dilakukan Prabowo untuk menggugurkan amanat UU HPP sambil melindungi diri dari amarah rakyat ini tak menghilangkan ancaman kenaikan PPN kedepannya. Kenaikan PPN (dan segala bentuk penghisapan dan penindasan dari rezim boneka) adalah amanat dari kapitalisme monopoli internasional melalui UU HPP, yang diakibatkan krisis imperialis yang semakin dalam dan menuntut tumbal rakyat negeri jajahan dan setengah jajahan.
Kebijakan dalam negeri tentu tidak terlepas dengan situasi internasional yang saat ini sedang mengalami krisis ekonomi-politik di berbagai negeri akibat pertarungan antar blok Imperialis dunia. Dalam kajian ekonomi-politik, Imperialis pasti menjadikan negara-negara terbelakang sebagai ladang untuk menambal krisis tersebut melalui dikte kebijakan, baik dalam bentuk “rekomendasi”, intervensi, bahkan pendudukan militer.
Hari ini, Amerika Serikat sebagai imperialis nomor satu di dunia, semakin masif menjalankan perang proxy di Ukraina, Palestina, dan Suriah. Hal ini menyumbang hutang yang semakin banyak bagi AS. Saat ini utang AS terhitung 35 triliun USD atau sebesar 128% dari ekonomi AS. AS juga mengalami pelemahan industri manufaktur dan deindustrialisasi sejak lama yang mengakibatkan jumlah pengangguran di AS mencapai 16 juta sampai 110 juta orang dan melambatnya pertumbuhan ekonomi AS, hanya 2.7% pada 2024.
Perang dagang dengan Tiongkok juga meningkat, seperti penghentian ekspor mineral antimon, galium, germanium, dan "material super keras" dari Tiongkok ke AS yang mengganggu hegemoni imperialis AS terhadap negara-negara berkembang. Untuk itu, terdapat kepentingan imperialis AS untuk meningkatkan kelebihan komparatifnya (comparative advantage) terhadap Tiongkok. Situasi deindustrialisasi AS di tengah posisi dan pengaruh Tiongkok yang menguat di beberapa belahan dunia seperti Indonesia, benua Afrika, dll., mengakibatkan AS kehilangan kelebihan komparatifnya. Untuk menanggulangi hal-hal tersebut, AS sejak pemerintahan pertama Trump, akhir masa jabatan Biden, dan lagi nanti saat Trump menjabat kembali menjalankan kebijakan industrial dan proteksionisme. Hal ini disebabkan sudah masuknya Tiongkok ke dalam pasar AS yang meningkat secara signifikan ditandai dengan defisit dagang AS dengan Tiongkok sebesar 382,3 miliar USD pada tahun 2022 yang memiliki dampak besar di tengah deindustrialisasi AS. Defisit dagang ini disebabkan oleh jumlah impor AS dari Tiongkok (536,3 miliar USD pada tahun 2022) lebih besar daripada jumlah ekspor AS ke Tiongkok (154 miliar USD pada tahun 2022).
Untuk mensiasati hal-hal itu, salah satu kebijakan industrial terbaru AS adalah Inflation Reduction Act (IRA) senilai 783 miliar USD, Infrastructure Investment and Jobs Act 2021 sebesar 73 miliar USD, dan CHIPS and Science Act 2022 sebesar 280 Miliar USD; semuanya menekankan pembangunan industri energi terbarukan, manufaktur, dan semikonduktor beserta riset dan pengembangannya di dalam negeri, dengan adanya pengadaan kapital untuk kebutuhan AS itu. Proteksionisme dalam bentuk tarif dan regulasi-regulasi lain lalu hadir untuk melindungi industri AS pada umumnya dari ancaman komoditas Tiongkok yang mulai menjamur di pasar AS. Kebijakan industrial AS beserta proteksionisme berhasil secara perlahan merevitalisasi industri manufaktur maju, menciptakan 700 ribu pekerjaan manufaktur, serta alhasil melepas ketergantungan pasar AS terhadap Tiongkok yang ditandai dengan menurunnya defisit dagang AS dengan Tiongkok dari 382,3 miliar USD di tahun 2022 menjadi 245,4 miliar USD di tahun 2024.
Untuk mengadakan kapital dalam keperluan mendanai pembangunan industri dalam negeri, AS melakukan penurunan suku bunga the Fed sejak 2022. Hal ini juga diiringi repatriasi kapital agar kembali lagi ke induknya (AS). Untuk itu, AS melalui International Monetary Funds (IMF) dan World Bank (WB/Bank Dunia) sebagai instrumen finansialnya mendikte negara setengah jajahan seperti Indonesia untuk melakukan Domestic Resources Mobilization/mobilisasi sumberdaya dalam negeri (DRM) melalui beberapa rekomendasi kebijakan, bantuan teknis, integrasi pokja, dan juga bantuan hutang. Hal ini dimaksud agar negara pengutang dapat lebih cepat dan masif membayar bunga hutangnya. Dengan sirkulasi saluran hutang inilah imperialis AS menanamkan dominasinya, memastikan ketergantungan, serta menyerap kembali kapital dari negara jajahan dan setengah jajahan seperti Indonesia. Namun, lemahnya DRM dalam beberapa tahun terakhir, IMF-WB bekerja sama dalam menginisiasi JDRMI (Joint Domestic Resources Mobilization Initiative/inisiatif mobilisasi sumberdaya domestik bersama) untuk mempercepat proses DRM.
Melalui DRM dan lalu JDRMI, IMF-WB mendikte Indonesia untuk meningkatkan pendapatan negara termasuk pendapatan dari pajak dengan cara meningkatkan tarif pajak, memperluas sasaran pajak, menghapus pengecualian penarikan pajak, dan skema-skema lain yang dapat meningkatkan pendapatan negara. Beberapa pajak yang direkomendasikan oleh IMF-WB untuk ditingkatkan oleh Indonesia adalah PPN, pajak pendapatan, PBB, dll. Termasuk juga reformasi regulasi pajak menjadi salah satu dikte imperialis AS yang lalu direalisasikan melalui UU HPP. IMF-WB juga mendikte Indonesia untuk meningkatkan tarif PPN secara bertahap sampai 15% agar sesuai standar internasional. Inilah akar masalah PPN paling utama, bahwa UU HPP dan kenaikan PPN 12% yang diamanatkannya adalah dikte Imperialisme AS melalui lembaga finansial dunia kepada Indonesia sebagai negeri setengah jajahan dan setengah feodal (SJSF).
Setidaknya sejak 2015, sudah ada rekomendasi oleh IMF untuk Indonesia agar : (1) Meningkatkan tarif PPN hingga 15%; (2) Memperluas sasaran PPN (menurunkan threshold/ambang batas dan memperluas basis sasaran pajak); dan (3) Rasionalisasi (pengurangan) pengecualian sasaran PPN.
PPN adalah bagian dari paket kebijakan unggulan IMF-WB yang didorong pada negara jajahan dan setengah jajahan melalui skema DRM dan JDRMI. Dengan skema-skema ini, negara-negara tersebut dipaksa untuk menerapkan kebijakan neoliberal seperti privatisasi aset publik, penghematan, atau pajak regresif (termasuk Pajak Pertambahan Nilai), untuk memobilisasi sumber daya. Semua ini dilakukan agar negeri-negeri jajahan dan setengah jajahan mampu lebih cepat membayar hutangnya pada Imperialis, namun tetap dikontrol melalui bantuan teknis, pinjaman, bahkan rekomendasi kebijakan agar memastikan negeri-negeri ini tetap terbelenggu hutang.
Peningkatan pendapatan negara dari pajak menjadi penting bagi imperialis AS untuk mengurangi beban Foreign Direct Investment (FDI/Investasi Luar Negeri Langsung) yang diberikan mereka kepada negara setengah jajahan dan memindahkan beban itu kepada pembayar pajak. Pada tahun 2022, Indonesia adalah negara pengutang terhadap WB terbesar kedua setelah India, dengan besar hutang 20,627 miliar USD (peningkatan sebesar 9.26 miliar USD dari tahun sebelumnya).
Hal ini semakin mempertontonkan karakter asli dari pemerintahan boneka di negeri Setengah Jajahan Setengah Feodal (SJSF), yang tidak akan pernah bisa lepas dari dikte kapital asing, baik dari negeri imperialis maupun lembaga finansial globalnya. Disisi lain, rakyat akan digiring ke tepi jurang krisis yang semakin terjal dan dalam.
Posting Komentar untuk "Dari Omnibus Law Cipta Kerja Hingga PPN 12%, Kebijakan Pemerintah Indonesia di Bawah Dikte Imperialisme AS"