Bahaya Laten Kenaikan PPN, Kuliah Semakin Mahal !
Selain menipu rakyat dengan menyatakan barang pokok tidak terdampak kenaikan PPN, rezim Prabowo sang pewaris Jokowi juga menyatakan bahwa selain program pendidikan berstandar internasional, jasa pendidikan tidak dikenakan PPN; seakan-akan kenaikan harga seluruh transaksi barang dan jasa tidak akan berpengaruh pada seluruh akses dan operasional lembaga pendidikan. Padahal, bukan hanya memerosotkan kehidupan pelajar-mahasiswa (juga keluarganya secara umum), kenaikan PPN juga dapat berpengaruh pada rumusan penghitungan biaya pendidikan, utamanya dunia pendidikan tinggi. UU HPP sendiri menghapus jasa pendidikan dari pengecualian barang dan jasa bebas PPN, yang memungkinkan jasa pendidikan (atau sebagian bentuk jasa pendidikan) dipajaki melalui peraturan penjelas, sebagaimana sekarang.
Pada dasarnya, penetapan Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa dalam Perguruan Tinggi Negeri (PTN) adalah Biaya Kuliah Tunggal (BKT, keseluruhan biaya operasional per mahasiswa per-semester pada program studi) yang disubsidi negara melalui Bantuan Operasional Pendidikan Tinggi Negeri (BOPTN). BOPTN ditentukan melalui Standar Satuan Biaya Operasional Pendidikan Tinggi (SSBOPT). Menurut Permendikbud Ristek No.2 Tahun 2024 Tentang SSBOPT, 3 komponen yang menentukan besaran SSBOPT, adalah (1) Indeks Kemahalan Wilayah, (2) Akreditasi Program Studi, dan (3) Kebutuhan Program Studi. Semua indikator ini sangat dipengaruhi oleh ancaman kenaikan PPN 12% yang terus ada.
Pertama, besaran Indeks Kemahalan Wilayah ditentukan berdasarkan besaran Indeks Belanja Bulanan (IBB) dan Indeks Kemahalan Konstruksi (IKK). IBB adalah pola pengeluaran dan daya beli masyarakat dalam jangka waktu tertentu, yang diperoleh melalui perbandingan jumlah pengeluaran bulanan rumah tangga dalam berbagai kategori seperti makanan, transportasi, kesehatan, dan lain-lain. IKK diperoleh dari aktivitas pembelian kebutuhan harga barang konstruksi yang ditentukan melalui data harga bahan bangunan/konstruksi, harga sewa alat berat konstruksi, upah jasa konstruksi, dan bobot/diagram timbang. Kedua sub-indikator ini sama-sama dipenuhi melalui aktivitas transaksi yang dikenakan PPN. Selain itu, kebutuhan konsumsi rumah tangga dihitung dari komponen angka Standar Hidup Layak (SHL). Karena kebutuhan rumah tangga berasal dari aktivitas transaksi di pasar, maka kenaikan PPN akan mempengaruhi besaran Indeks Kemahalan Wilayah sebagai salah satu indikator penentu besaran SSBOPT. Menurut BPS (dengan kalkulasi yang sangat konservatif dan harus dikritisi lebih lanjut), angka SHL pada 2024 adalah Rp12.341.000/Tahun atau Rp1.028.416/bulan. Dengan kenaikan besaran pajak 9% (dari 11% ke 12%, dengan asumsi bahwa SHL), maka akan menaikan kebutuhan hidup rakyat Indonesia menjadi Rp12.452.068/tahun.
Kedua, besaran Kebutuhan Program Studi (prodi) diperoleh melalui data fasilitas yang berkaitan dengan kegiatan pembelajaran perkuliahan yang disusun oleh program studi. Seluruh fasilitas pembelajaran perkuliahan dipenuhi oleh prodi fakultas melalui aktivitas tender pengadaan barang dan jasa antara kampus dengan perusahaan penyedia (vendor). Sebagai contoh, pada 2022 Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) bekerjasama dengan CV. YDP Usaha Perdana dalam Pengadaan Perbaikan Toilet dan Bocoran di Gedung University Center UPI. Nilai pengadaan sebesar Rp. 111.530.631 berikut dengan pengenaan PPN 11% sebesar Rp. 12.268.369. Maka, UPI menganggarkan dana sebanyak Rp. 123.799.000 dalam Rancangan Kinerja dan Anggaran Tahunan (RKAT).
Dari uraian tersebut di atas, jelas bahwa kenaikan PPN akan berpengaruh kepada biaya langsung atau tidak langsung di dalam keseluruhan biaya operasional kampus. Apalagi, subsidi pemerintah dalam bentuk BOPTN sebetulnya hanya 28% dari BKT, sisanya ditambal oleh mahasiswa dan keluarganya, yang dipromosikan negara sebagai subsidi silang. Di sisi lain, besaran jumlah subsidi negara pada perguruan tinggi juga terus merosot, terutama di Perguruan Tinggi Negeri Berbadan Hukum/PTN-BH. Pada 2024, pembiayaan APBN dalam RKAT 2024 di UPI hanya 40% dari total anggaran; di UNS hanya 28% dari total anggaran; di UNHAS hanya 33% dari total anggaran. Sekarangpun, 55 Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum/PTN-BLU sedang dipaksa berubah menjadi PTN-BH melalui Program Revitalisasi Perguruan Tinggi Negeri (PRPTN). Setelah menjadi PTN-BH, kampus akan dipaksa mandiri dari pembiayaan negara dan memenuhi kebutuhannya dengan membangun unit usaha privat, mengkomersialisasi fasilitas, serta menaikkan biaya pendidikan mahasiswa. Akhirnya, pendidikan tinggi semakin mahal karena dilepaskan dari tanggung jawab negara sejak lama, dan kini diperparah dengan kenaikan PPN 12% yang bahkan akan berdampak pada aktivitas Revenue Generating Unit (RGU) milik unit usaha komersial kampus PTN-BH. Kesempatan anak kaum buruh dan kaum tani untuk mengenyam pendidikan pun akan semakin sempit.
Posting Komentar untuk "Bahaya Laten Kenaikan PPN, Kuliah Semakin Mahal !"