Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

“Dari Emansipasi ke Ekosipasi: Politik Ekologi dan Kewargaan Baru Indonesia”. Menyelami orasi ilmiah Prof. Dr. Robertus Robet

Penulis : Wahyu Chandra | Jurnalis Mongabay Indonesia


Foto : Prof. Dr. Robertus Robet | Sumber : KumparanNews

Dalam orasi ilmiahnya untuk Pengukuhan Guru Besar Bidang Ilmu Filsafat Sosial Fakultas Ilmu Sosial dan Hukum Universitas Negeri Jakarta, yang berjudul Dari Emansipasi ke Ekosipasi: Politik Ekologi dan Kewargaan Baru Indonesia, Prof. Dr. Robertus Robet mengajak kita menengok ulang fondasi-fondasi berpikir modern yang selama ini membentuk cara kita memahami dunia. Lebih dari sekadar pidato pengukuhan jabatan akademik, teks ini adalah manifesto intelektual yang menantang cara kita berpikir tentang kebebasan, pengetahuan, dan politik di tengah krisis ekologis yang makin mengancam.


Robet tidak sedang menyodorkan kearifan normatif yang netral, melainkan membongkar struktur epistemik dan etika modern yang telah menjadikan manusia sebagai satu-satunya subjek sejarah, sembari menempatkan alam sebagai objek yang sah untuk dikuasai, dikelola, dan dikorbankan. Ia menyebut bahwa telah tiba waktunya untuk meninggalkan emansipasi sebagai proyek antroposentris, dan menggantikannya dengan ekosipasi—sebuah gagasan pembebasan ekologis yang menempatkan manusia dan alam sebagai subyek yang setara dalam jaringan kehidupan.


Robet memulai pidatonya dengan mendiagnosis penyakit utama modernitas: “kebutaan apokaliptik”, istilah dari Gunther Anders yang mengacu pada ketidakmampuan manusia modern untuk melihat bahaya yang ia ciptakan sendiri. Di tengah dunia yang terbius oleh teknologi, statistik telah menggantikan kesadaran etis. Krisis ekologis tak lagi dipahami sebagai kenyataan yang dekat dan mendesak, melainkan sebagai narasi yang jauh dan dingin. Ulrich Beck pun dihadirkan, untuk menunjukkan bahwa dunia kini tak lagi sibuk membagi kekayaan, melainkan mendistribusikan risiko yang tak setara—dan lebih sering, menimpanya pada mereka yang tak pernah diberi kesempatan bicara.


Namun Robet tidak berhenti pada kritik terhadap modernitas teknologis. Ia menyorot keterbatasan gagasan emansipasi—konsep agung yang dalam sejarahnya menjadi fondasi revolusi dan pembebasan. Emansipasi telah melahirkan perjuangan hak sipil, feminisme, dan antikolonialisme. Tapi di tengah krisis planet ini, Robet menyatakan: emansipasi tidak cukup. Ia terlalu manusia-sentris. Ia membebaskan manusia dari manusia lain, tetapi membungkam alam. Baik liberalisme maupun Marxisme, meski dalam wajah berbeda, sama-sama mewarisi struktur pikiran yang menempatkan alam sebagai pelengkap, bukan mitra.


Untuk melampaui itu semua, Robet mengusulkan agar kita belajar dari Bruno Latour. Dengan pendekatan actor-network theory (ANT), Latour mengaburkan batas antara manusia dan bukan-manusia. Dunia, menurutnya, tidak tersusun dari subjek dan objek, tetapi dari jaringan relasional yang menghidupkan keduanya. Dalam kerangka ini, sungai, pohon, bahkan jamur, memiliki agensi. Kebenaran bukan lagi hasil dari representasi objektif, tetapi dari negosiasi dan koeksistensi dalam jaringan. Maka, jika semua entitas adalah aktor, maka semua memiliki hak untuk didengarkan—bukan sekadar dikelola.


Gagasan ini menjadi semakin menggugah ketika Robet mengusulkan eko-nasionalisme. Nasionalisme Indonesia, katanya, harus berubah. Ia tidak bisa lagi menjadikan alam sebagai puisi atau nostalgia yang dibacakan dalam upacara bendera. Alam, seperti manusia, adalah warga yang memiliki hak politik. Maka Robet membayangkan adanya “fraksi pohon, laut, dan gunung” di parlemen. Sebuah usulan yang mungkin terdengar metaforis, tetapi menyimpan kekuatan simbolik dan etis yang besar: bagaimana jika kita benar-benar mendengarkan suara alam?


Namun di titik inilah, analisis Robet bersentuhan langsung dengan kenyataan paling getir dari Indonesia hari ini: keterasingan masyarakat adat dari tanahnya sendiri. Sebab, jika kita berbicara tentang alam yang termarjinalkan, maka kita juga berbicara tentang manusia-manusia yang hidup bersamanya—masyarakat adat yang selama ini mempraktikkan hubungan setara dengan lingkungan. Ironisnya, dalam proyek pembangunan modern, mereka justru disingkirkan. Ruang hidup mereka direduksi menjadi kawasan investasi. Tanah adat diklaim sebagai milik negara, hutan adat berubah status menjadi konsesi tambang, wilayah kelola tradisional menjadi zona industri pariwisata.


Lebih menyakitkan lagi, masyarakat adat bukan hanya dimiskinkan, tapi juga dikriminalkan. Orang-orang yang mempertahankan tanah leluhur dituduh sebagai penghambat pembangunan, dianggap tidak produktif, bahkan ditahan dengan pasal-pasal karet. Dalam logika hukum yang melayani akumulasi kapital, membela tanah bisa berarti melanggar hukum. Maka suara masyarakat adat—sebagai manusia dan sebagai penjaga alam—tidak hanya diredam, tetapi dilenyapkan dari panggung politik formal. Di sinilah letak kekuatan sekaligus tantangan dari gagasan ekosipasi Robet: bagaimana memperluas kewargaan ekologis tanpa mengulang kolonialisme ekologis dalam wajah baru?


Robet menyadari hal ini, meski secara implisit. Ia menyebut pentingnya mendengar suara para ilmuwan, masyarakat adat, pemangku lokal, dan pencinta lingkungan. Tapi dalam konteks Indonesia, mendengar saja tidak cukup. Dibutuhkan keberanian politik untuk mengubah struktur hukum, tata ruang, dan ekonomi agar pengakuan terhadap hak-hak ekologis dan kultural masyarakat adat bukan menjadi jargon, tapi praksis nyata. Gagasan Robet dapat menjadi dasar filosofis yang kokoh untuk mendesak negara agar menempatkan masyarakat adat bukan sebagai ornamen multikultural, tapi sebagai subjek politik sejati dalam republik ekologis yang kita cita-citakan bersama.


Di sisi epistemologi, Robet dengan cermat menggunakan Latour untuk menggugat klaim objektivitas dalam sains modern. Namun seperti disadari oleh para pengkritik ANT, jaringan yang “datar” kadang menyembunyikan ketimpangan kuasa. Tak semua aktor punya kekuatan yang setara. Oleh karena itu, Robet menyandingkan Latour dengan Jason W. Moore, yang menyebut era ini sebagai kapitalosen—zaman di mana kapitalisme tidak hanya bekerja atas alam, tetapi melalui alam. Kapitalisme, dengan strateginya mengeksploitasi “alam murah”—tanah, tenaga, dan energi—menjadikan dunia sebagai mesin perampokan tanpa henti. Dalam penggabungan dua pemikiran ini, Robet mempertemukan filsafat relasional dengan kritik politik yang lebih tajam.


Orasi ditutup dengan kisah yang sederhana tapi menyentuh: jamur matsutake dari hutan rusak Oregon, yang hanya bisa tumbuh dalam kehancuran. Diceritakan oleh antropolog Anna Tsing, jamur ini menjadi simbol dari harapan dalam reruntuhan, kehidupan yang bertahan tanpa dominasi. Dalam dunia yang telah hancur oleh rakusnya modernitas, matsutake mengajarkan bahwa koeksistensi masih mungkin, meski rapuh.


“Dari Emansipasi ke Ekosipasi” adalah undangan untuk membayangkan ulang dunia. Ia mengusik keyakinan lama tentang kemajuan dan kebebasan, dan menggantinya dengan visi etik-politik baru tentang keterhubungan, kerentanan, dan keberlanjutan. Ia menyodorkan tafsir baru atas nasionalisme, kewargaan, dan demokrasi—dari kacamata yang tidak lagi menempatkan manusia sebagai satu-satunya pemeran utama. Dalam dunia yang kian retak oleh konflik ekologis dan ketimpangan struktural, gagasan ini bukan hanya relevan. Ia mendesak. Sebab masa depan bukan tentang siapa yang menang, tapi siapa yang bisa hidup bersama. Di tanah yang sama. Dalam udara yang sama. Dengan hak yang setara. Termasuk bagi mereka yang diam—dan selama ini didiamkan.


Posting Komentar untuk "“Dari Emansipasi ke Ekosipasi: Politik Ekologi dan Kewargaan Baru Indonesia”. Menyelami orasi ilmiah Prof. Dr. Robertus Robet"