950 Buruh KIBA Akan Dirumahkan, Ini Sikap SBIPE.
Selasa, 1 Juli 2025. Kawasan Industri Bantaeng (KIBA) yang mulai diwacanakan sejak 2013
dan kemudian mampu terbangun dan beroperasi hingga saat ini memberikan harapan
yang besar bagi masyarakat luas terkhususnya masyarakat Bantaeng. Keberadaan
KIBA katanya akan membawa kesejahteraan, terkhususnya bagi warga Bantaeng.
Namun, belum berapa lama beroperasinya perusahaan harapan itu seakan sukar
untuk terwujud. Nyatanya, keberadaan KIBA seakan menjadi mimpi buruk bagi
masyarakat terkhusus masyarakat Bantaeng yang hidup dan mencari nafkah di
sekitar KIBA. Polusi udara, bau busuk, hilangnya sumber air bersih warga,
berhentinya produksi batu bata warga sekitar, menyebabkan gagal panen sawah
warga, pencemaran air laut, penurunan kualitas rumput laut, dll.
Masalah-masalah diatas adalah segelintir masalah yang telah didokumentasikan
dan masih banyak masalah lain.
Tak hanya bermasalah di
luar, di dalam KIBA sendiri ternyata menyimpan masalah yang sama. Maraknya
kecelakaan kerja, tak terpenuhinya hak dasar pekerja, tidak ketatnya pengawasan
K3 (kesehatan dan keselamatan kerja) dan yang belakangan ini yang marak
diperbincangkan adalah pemutusan hubungan kerja (PHK).
Tercatat, praktek PHK
sudah mulai dilakukan oleh perusahaan sejak Desember 2024 dengan mem-PHK 19
buruh. Praktek itu terus berlanjut, 15 buruh kembali di PHK pada Januari 2025
dan menyusul 24 buruh pada Maret 2025.
Maraknya PHK ini
kemudian mendorong KaPeKa (Koalisi Pemerhati Ketenagakerjaan) meminta DPRD Kab.
Bantaeng untuk mengadakan RDP dengan menghadirkan pihak-pihak terkait membahas
masalah ini. Dalam pertemuan tersebut diketahui bahwa alasan perusahaan
melakukan PHK terhadap pekerja karena perusahaan melakukan efisiensi. Dan yang
mengejutkan semua peserta RDP, pihak perusahaan terang-terangan mengatakan akan
terus melakukan PHK untuk efisiensi perusahaan agar terhindar dari kerugian.
Itu terbukti, 2 minggu pasca RDP sekitar 15 buruh kembali di PHK terhitung pada
April 2025.
KIBA Akan Rumahkan 950
Buruh.
25 Juni 2025, Manajemen
PT. Huadi Nickel Alloy Indonesia mengadakan pertemuan dengan seluruh leader T1
dan T2 di ruang pertemuan pos 1. Pertemuan ini membahas terkait rencana
perusahaan untuk merumahkan karyawannya. Dalam pertemuan tersebut hadir manager
HRD Pt. Huadi Nickel Alloy Andi Adrianti Latippa. HR (human resource) T1
atas nama Sunardilla (PT. Yatai 1 dan PT. Yatai 2) dan T2 atas nama Rey (PT.
Wuzhou) serta HR tahap awal (T0) atas nama Kalla.
Awalnya diperkirakan
perusahaan akan merumahkan 600 pekerjanya. Namun hari ini kenyataannya lebih
mengejutkan, pekerja yang akan dirumahkan berkisar 950 buruh. PT. Wuzhou
tercatat merumahkan 350 buruh terhitung sejak hari ini (1 Juli 2025). Selain
itu, PT. Yatai akan merumahkan sekitar 600 buruhnya setelah material ore nikel
habis.
Serikat Buruh Industri
Pertambangan dan Energi (SBIPE) menilai keputusan perusahaan merumahkan buruh
tidak memiliki dasar hukum yang jelas.
“Keputusan perusahaan
untuk merumahkan buruh tanpa dasar hukum dan tanpa melibatkan partisipasi penuh
buruh dan serikat pekerja adalah bentuk nyata pengingkaran terhadap prinsip
prinsip hubungan industrial yang adil dan sehat. Kami menyerukan kepada seluruh
buruh di PT Huadi Nickel Alloy Indonesia untuk tidak tinggal diam. Ketika
hak-hak pekerja dilanggar secara terang-terangan, maka perlawanan kolektif
adalah keniscayaan.” Jelas Junaid Judda
Ketua SBIPE KIBA.
Tanggapan dan Sikap
SBIPE
SBIPE memandang
bahwa proses dan isi pertemuan tersebut tidak mencerminkan itikad baik serta
mengabaikan prinsip-prinsip perlindungan buruh sebagaimana diatur dalam
perundang-undangan ketenagakerjaan. Setidaknya ada 6 catatan kritis SBIPE :
Pertama Pertemuan
dilakukan Tidak Representatif. Pertemuan ini tidak
dapat dianggap sebagai forum resmi yang mewakili suara buruh secara menyeluruh.
Para leader T1 dan T2 bukanlah perwakilan sah dari seluruh karyawan, apalagi
dari serikat buruh. Tidak ada mandat atau proses musyawarah dari buruh untuk
menetapkan siapa yang mewakili dalam pengambilan keputusan penting seperti ini.
Kedua, Skema Pengupahan
yang ditawarkan Tidak Berdasar Hukum. Skema pembayaran sebesar
Rp1.000.000 per bulan bagi karyawan yang dirumahkan tidak memiliki dasar hukum
yang jelas dan bertentangan dengan ketentuan upah minimum. Ini adalah bentuk
pelanggaran terhadap hak normatif pekerja. Sedangkan dalam ketentuan undang-undang
ketenagakerjaan terang bahwa buruh yang masih mau bekerja dan di rumah kan
perusahaan, maka Pengusaha wajib membayar upah pekerja sesuai UMP dan tunjangan
tetap, selama pekerja dirumahkan.
Ketiga, Tidak Ada
Kepastian Jangka Waktu buruh yang dirumahkan. Tidak adanya kejelasan mengenai jangka waktu status dirumahkan
menunjukkan ketidakpastian yang sangat merugikan pekerja. Hal ini menciptakan
ketidakstabilan ekonomi dan psikologis bagi buruh dan keluarga mereka.
Keempat, Pertemuan
tersebut Minim Partisipasi dan tidak Transparan. Dalam pertemuan tersebut, para leader tidak diberikan ruang yang
memadai untuk menyampaikan pendapat, pertimbangan hukum, atau keberatan. Proses
ini sama sekali tidak partisipatif dan cenderung sepihak.
Kelima, Kesepakatan
Tidak Sah Secara Perwakilan. Jika terdapat
kesepakatan yang diambil dalam pertemuan tersebut, maka hal itu tidak
dapat dijadikan dasar hukum atau kebijakan yang sah. Sebab, tidak melalui
proses musyawarah dengan para pekerja ataupun serikat buruh sebagai entitas
yang diakui secara hukum dalam hubungan industrial.
Keenam, Penggunaan
Istilah “Break” atau “Off” untuk Menghindari Kewajiban Hukum. Penggunaan istilah “break” atau “off” oleh
perusahaan menjadi indikasi kuat upaya perusahaan menghindari tanggung jawab
hukum terkait status hubungan kerja dan hak-hak normatif buruh. Ini merupakan
manipulasi bahasa untuk melemahkan posisi pekerja dalam struktur
ketenagakerjaan.
Atas situasi di atas,
SBIPE mendesak Negara untuk hadir melindungi hak pekerja.
“Kami mendesak Bupati
Bantaeng dan DPRD segera turun tangan dan mengambil langkah nyata atas situasi
di Kawasan Industri Bantaeng. Negara harus hadir untuk melindungi buruh dan
memastikan hak-haknya tidak dilanggar. Istilah seperti ‘break’ atau ‘off’ yang dipakai
perusahaan hanya akal-akalan untuk menghindari kewajiban hukum. Ini jelas tidak
manusiawi dan melanggar aturan ketenagakerjaan." tegas Junaedi Hambali Kepala Departemen Hukum, Advokasi,
dan Kampanye Massa SBIPE
Berikut Tuntutan SBIPE
KIBA :
- Menuntut pihak perusahaan untuk menjalankan ketentuan
undang-undang terkait ketenagakerjaan.
- Menuntut perusahaan agar menjalankan kewajibannya untuk
membayar Hak-Hak pekerja sesuai dengan UU ketenagakerjaan.
- Pemerintah dan DPRD Bantaeng wajib hadir ditengah-tengah
gelombang PHK dan akan di rumahkannya pekerja.
- Bangun Industri Nasional diatas Kemenangan Land Reform
sejati.
Posting Komentar untuk "950 Buruh KIBA Akan Dirumahkan, Ini Sikap SBIPE."