Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menangih Itikad Baik Negara Terhadap Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Sebagai Jalan Keluar Konflik Tenurial Berkepanjangan.

10 Tahun Kegagalan Jokowi, Pemerintahan Baru dan Agenda Masyarakat Adat


RUU Masyarakat Adat

Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat telah diusulkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat sejak tahun 2010 lalu. RUU ini telah masuk dalam Program Legislasi Nasional Prolegnas pada tahun 2014 lalu dan telah masuk ke dalam Prolegnas sebanyak tiga kali. Namun, hingga saat ini, RUU Masyarakat Adat belum juga disahkan oleh pemerintah karena beragam kepentingan yang dimiliki oleh tiap lapisan masyarakat, pengalaman dan pengetahuan beragam yang dimiliki, komitmen terhadap pengesahan RUU masyarakat adat yang terbatas, serta hambatan komunikasi dan partisipasi yang belum efektif. Padahal ini merupakan perangkat hukum yang fokus untuk memberikan perlindungan hukum kepada masyarakat adat bila disahkan. RUU ini menjadi dasar untuk melindungi dan memenuhi hak konstitusional masyarakat adat. Akan tetapi, hingga saat ini, belum ada payung hukum yang secara menyeluruh dapat memberikan perlindungan kepada masyarakat adat. RUU Masyarakat Adat memberikan pengakuan, perlindungan, dan pemberdayaan kepada Masyarakat Hukum Adat ditengah maraknya perkembangan yang membuatnya tidak dapat mengakses wilayah adat mereka. Meskipun konstitusi telah mengakui Masyarakat Adat, tetapi tetap terjadi marginalisasi hukum adat dan inkonsistensi antara pengakuan dan aktualisasinya. mereka tidak mendapatkan kesetaraan sebagai warga Indonesia, merasakan ketimpangan sosial. RUU Masyarakat Adat akan memberikan perlindungan MHA yang menjadi korban marginalisasi. Sebenarnya, konstitusi selaku norma hukum tertinggi Indonesia, yaitu UUD 1945 di Pasal 18B ayat (2) dan Pasal 28I ayat (3) telah mengakui dan menghormati hak-hak yang dimiliki oleh MHA selama sejalan dengan prinsip negara kesatuan Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam undang-undang. Namun masyarakat adat butuh undang-undang yang menaungi mereka secara spesifik sekalipun eksistensinya diakui oleh undang-undang sektoral lainnya. 

Tolak Hak Pengelolaan (HPL) atas wilayah adat

Menteri ATR/BPN mengesahkan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaran Administrasi Pertanahan dan Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat. Secara umum Permen ini tidak dapat diharapkan menjadi kebijakan yang bertujuan mengakui dan memperkuat hak-hak Masyarakat Adat atas tanah dan wilayah adatnya. Sebaliknya, Permen ini justru mengandung kesalahan mendasar sehingga justru akan mempercepat hilangnya wilayah-wilayah adat dari penguasaan Masyarakat Adat dan akan memicu konflik yang lebih luas di masa yang akan datang.


Tolak Geothermal di Kabupaten Sinjai

Di Sulawesi Selatan, setidaknya terdapat 21 titik geothermal, dua di antaranya berada di Kabupaten Sinjai. Kedua titik tersebut berada di Desa Salohe  dan Desa Kaloling Kecamatan Sinjai Timur, dan Desa Batu Belerang, Kecamatan Sinjai Borong. Di bulan Juni 2023 lalu, Bupati Sinjai, Andi Seto Asapa menemani investor asal Amerika Serikat dan Korea Selatan mengunjungi titik potensi panas bumi di Desa Kaloling. Ia mengatakan akan memberikan kemudahan bagi investor yang ingin masuk di Sinjai untuk pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). pembangkit listrik ini juga lebih konstan dan butuh lahan air yang lebih sedikit dibanding pembangkit listrik lainnya, meskipun pembangkit ini hanya dapat dibangun di dekat lempeng tektonik dengan modal awal yang besar. Damun dalam praktiknya pembangunan PLTP dianggap berisiko baik bagi lingkungan maupun masyarakat sekitar lokasi PLTP. Selain itu dinilai dapat memicu konflik seperti yang sudah terjadi beberapa wilayah pembangunan PLTP selama ini dan mengundang investasi pengembangan pembangkit listrik tenaga panas bumi di Sinjai sama saja dengan mengundang malapetaka.


Dok : Spanduk Tuntutan Warga

Salah satu contoh pembangunan geothermal yang sudah memakan banyak korban adalah yang dilakukan PT. SMGP di Kabupaten Mandailing Natal, Sumatera Utara. Pada tahun 2021 sebanyak lima warga meninggal dunia akibat menghirup gas hidrogen sulfida, kemudian di tahun 2022 setidaknya 79 warga yang keracunan, selain mengancam keselamatan jiwa warga, titik panas yang berada di Sinjai Timur tepat berada di dekat lokasi perkebunan dan peternakan sehingga bila dikembangkan untuk pembangkit listrik tenaga panas bumi warga juga akan terancam kehilangan lahan pertaniannya.

Rencana lokasi PLTP di sinjai borong berisiko dengan dampak lingkungan sangat besar karena berada di hulu Sungai Balantieng lereng Gunung Lompobattang di Desa Batu Belerang akan sangat berisiko tinggi karena Sungai Balantieng merupakan sumber air baku bagi masyarakat di daerah Sinjai Borong, Sinjai Selatan, Sinjai Timur, Sinjai Utara dan beberapa daerah di Kabupaten Bulukumba. Selain itu karena kegiatan pengeboran panas bumi akan membuat gempa minor dan pergeseran tanah sehingga dapat membuat longsoran yang menutupi tubuh sungai yang kemudian jebol dan menjadi banjir bandang makanya rencana pembangunan geothermal di Kabupaten Sinjai merupakan langkah yang keliru sehingga harus dibatalkan.

Proyek PLTP yang diklaim sebagai energi terbarukan dan ramah lingkungan meski nyatanya memiliki risiko yang tinggi dan seringkali abai terhadap hak asasi manusia. Dalam praktiknya pembangunan PLTP menggunakan lahan secara boros dan merusak ekosistem hutan, sehingga berkontribusi terhadap deforestasi yang merupakan sumber terjadinya krisis iklim. rencana pembangunan PLTP akan mengancam kehidupan petani dan ekosistem hutan Sinjai, apalagi untuk di Sinjai Borong lokasinya tepat berada di ekosistem hutan yang rapat dan berada di sekitar kawasan Tahura dan hutan lindung. Sehingga wilayah tersebut harus dilindungi dan dijaga fungsi hidrologinya, bukan justru diberikan kepada investor untuk pembangunan PLTP yang justru dapat mengundang bencana sosio-ekologis.

Beberapa konflik yang terjadi karena pemaksaan seperti di Padarincang, Serang, Banten. Yang terbaru terjadi di Pocok Leok, Kabupaten Manggarai, NTT. Kalau pemerintah rajin membaca dan belajar soal dampak geothermal yang terjadi dibeberapa daerah tapi itu mustahil karena mereka tidak punya kapasitas. 


Sejarah Konflik Masyarakat Adat Dan Kehutanan Di sinjai

Konflik antara masyarakat adat dan pihak kehutanan di Kabupaten Sinjai, Sulawesi Selatan, merupakan bagian dari dinamika yang kompleks dalam pemanfaatan sumber daya alam dan perlindungan lingkungan. Konflik semacam ini sering kali melibatkan pertentangan antara kepentingan ekonomi, konservasi lingkungan, dan hak-hak masyarakat adat dalam menggunakan sumber daya alam tradisional mereka. Latar belakang terjadinya konflik Kawasan Hutan Barambang Katute yakni disebabkan oleh adanya penetapan wilayah Kawasan Hutan Lindung Apparang pada tahun 1982 tanpa sepengetahuan masyarakat. Penetapan tersebut menjadi dasar dilaksanakannya pengukuran pada tahun 1994 untuk memisahkan wilayah kelola masyarakat dengan wilayah kawasan hutan lindung. Hal ini menimbulkan konflik antara masyarakat setempat dengan pemerintah, masyarakat menganggap bahwa lahan mereka yang ditetapkan sebagai wilayah kawasan telah diperoleh secara turun temurun dan juga terdapat hutan larangan (hutan adat) yang telah dijaga secara turun temurun sebagai warisan dari leluhur Masyarakat Adat Barambang Katute. Dinamika konflik Kawasan Hutan Barambang Katute bermula sejak dilakukannya pengukuran pada tahun 1994 untuk menentukan batas wilayah kelola masyarakat dengan wilayah kawasan hutan lindung. Pengukuran tersebut menuai aksi protes dari masyarakat karena dinilai tidak ada sosialisasi sebelumnya. Pada tahun 1995 terdapat 2 warga yang ditahan selama 2 bulan dengan tuduhan menghasut, dan memfitnah kekuasaan umum serta penipuan. Selanjutnya pada tahun 2005 Disbunhut menerapkan program GNRHL  (Gerakan Nasional Rehabilitas Hutan dan Lahan) di kawasan hutan lindung di Bonto Katute, tahun 2006-2007 kegiatan pembibitan dan penanaman masih berlangsung lancar hingga pada awal tahun 2008, sebanyak 11 orang Bolalangiri Desa Bonto Katute dilaporkan oleh Disbunhut dengan tuduhan merambah dan merusak kawasan hutan lindung (Hutan Apparang). Mereka menolak tuduhan tersebut dengan alasan lahan tersebut telah dikelola secara turun temurun. Sehingga terjadi sengketa lahan oleh pihak kehutanan dan kasus tersebut diselesaikan lewat jalur hukum. Selanjutnya pada tahun 2010 dikeluarkan izin perpanjangan eksplorasi tambang kepada PT. Galena Sumber Energi di Desa Bonto Katute. Masyarakat kembali melakukan aksi perlawanan dengan dibantu oleh beberapa organisasi masyarakat civil dan organisasi mahasiswa. Aksi tersebut merupakan puncak dari perlawanan masyarakat terhadap pemerintah daerah terkait masalah sengketa lahan yang terjadi di wilayah mereka. Alhasil diperoleh kesepakatan dengan DPRD Kabupaten Sinjai bahwa masyarakat tetap menolak eksplorasi tambang. 

Tidak hanya di Sinjai Borong, hal yang sama juga terjadi di Kecamatan Sinjai Barat,Seorang warga Desa Turunan Baji, Kecamatan Sinjai Barat bernama Bahtiar, pria 44 tahun ditangkap dan diadili di Pengadilan Negeri Sinjai karena dituduh melakukan penebangan pohon dalam hutan tanpa izin. Bahtiar menebang pohon di lahan yang dikelola keluarganya secara turun temurun pada 9 Oktober 2013. Ia juga memiliki SPPT (Surat Pembayaran Pajak Terhutang) atas tanah tersebut yang dibayarnya sejak tahun 1994 sampai 2004. Namun, berdasarkan penunjukan Menteri Kehutanan, lokasi tersebut masuk ke kawasan hutan. Bahtiar merasa masih punya hak terhadap lahan itu, apalagi pepohonan di dalamnya ia yang tanam. Karena kejadian tersebut, Bahtiar dijerat Undang-Undang tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, dengan hukuman 1 tahun penjara dan denda Rp500 juta, jika denda tersebut tak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama 1 bulan.


Dok : Spanduk Tuntutan Warga

Implikasi Penetapan Kawasan Hutan Di Wilayah Adat 

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35 tahun 2012 menunjukkan bahwa selama ini terjadi pengabaian hak atas Masyarakat Adat yang ada di Indonesia. Putusan MK tersebut menegaskan kembali bahwa hutan Adat bukan lagi hutan Negara. Selain itu, juga menunjukkan adanya pengabaian terhadap pengakuan hak-hak Masyarakat Adat sebagai subjek hukum oleh negara. 

Olehnya itu, perjuangan Masyarakat Adat untuk mendapatkan hak-haknya, harus melalui Peraturan Daerah atau melalui Surat Keputusan Bupati sebagaimana dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 52 tahun 2014 tentang Pedoman Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat.

Saat ini pemasangan patok tata batas kawasan hutan menuai protes oleh masyarakat adat. Menurut Ismail salah satu tokoh adat di Barambang Katute “patok kawasan hutan sudah berpindah tiga kali sejak pemasangan masa kolonial Belanda dan semakin melebar keluar merambah wilayah-wilayah penghidupan masyarakat adat”. Selain itu penetapan tata batas kawasan hutan dibuat secara sepihak, tanpa melibatkan masyarakat adat secara partisipasi bermakna yang menjadi pemilik wilayah adat. Hal ini tentu terus memicu kemarahan masyarakat adat karena wilayah tempat penghidupannya yang secara turun temurun di serobot dan dipasangi patok pal batas kawasan hutan. Ini bukan hal baru bagi masyarakat adat yang mendiami berbagai wilayah di Indonesia. mereka diperhadapkan pada perampasan lahan secara paksa untuk dijadikan tambang, hak guna usaha, dan berbagai model perampasan kekayaan sumberdaya alam melalui berbagai kebijakan yang merugikan masyarakat adat. Sementara upaya negara hadir ditengah-tengah masyarakat adat sangat minim tidak menunjukan keseriusan sebagaimana yang dimandatkan oleh kebijakan. 


Penetapan Masyarakat Adat Yang Lambat

Melalui pembentukan produk hukum daerah seperti Peraturan Daerah atau Surat Keputusan Bupati, kiranya dapat menghapus sedikit peminggiran terhadap hak-hak masyarakat adat. Namun Pemerintah Daerah Sinjai saat ini cenderung tidak menjadikan itu prioritas itu bisa ditandai sejak ditetapkannya Perda No 1 tahun 2019 tentang pedoman pengakuan, perlindungan dan pemberdayaan masyarakat adat pemerintah daerah Sinjai hanya melahirkan satu keputusan bupati.

Padahal terdapat sejumlah komunitas Masyarakat Adat yang dapat memperoleh pengakuan dari negara makanya sekiranya pemerintah segera mengambil langkah-langkah strategis dalam rangka percepatan pengakuan dan perlindungan atas Hak-hak Masyarakat Adat serta melakukan penguatan dan pemberdayaan terhadap masyarakat adat. Pemerintah Daerah Kab. Sinjai dalam merespon pentingnya pengakuan dan perlindungan Masyarakat Adat dengan menetapkan Perda Kab. Sinjai No. 1 Tahun 2019 tentang Pedoman Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Adat, yang kemudian menjadi landasan hukum bagi Pemerintah Daerah Kab. Sinjai untuk menetapkan atau mengukuhkan Masyarakat Adat di Kabupaten Sinjai melalui produk hukum lainnya (SK Bupati). SK panitia masyarakat hukum adat yang berakhir tahun 2023 sampai saat ini belum ditandatangani perpanjangannya yang berakibat pada lambatnya panitia untuk bergerak, dalam hal ini Pj. Bupati, kami menilai Pj. bupati sengaja mengulur waktu untuk memperlambat pengakuan masyarakat hukum adat di Sinjai. Lambatnya pengakuan masyarakat adat menyebabkan konflik tenurial yang terus berkepanjangan.


Tindak Lanjut RDP aksi 19 agustus 2024

Pada tanggal 19 agustus 2024, masyarakat adat dari berbagai komunitas masyarakat adat di Sinjai diantaranya Masyarakat Adat Barambang Katute, Masyarakat Adat Kampala, Masyarakat adat Pattiro-Toa datang ke DPRD kabupaten sinjai membawa aspirasi penolakan penetapan pal batas kawasan hutan negara di wilayah adat mereka yang dilakukan secara sepihak oleh pihak kehutanan dalam hal ini KLHK melalui BPKH Wilayah VII Makassar. dalam dialog yang panjang akhirnya demonstrasi menyepakati untuk Rapat Dengar Pendapat yang dijanjikan oleh anggota DPRD Sinjai yang bertugas saat itu atas nama Ardiansyah. Setelah kesepakatan itu, nyatanya DPRD ingkar janji meskipun terus dihubungi terus-terusan oleh peserta aksi dengan berbagai alasan yang pada akhirnya mereka tidak merespon lagi. bangsat memang mereka, sudah tolol ingkar janji pula. Hal ini menjadi kesimpulan kami bahwa mereka memang tidak serius dalam menjembatani penyelesaikan konflik yang terjadi dikedua bela pihak.


Berdasarkan pemaparan diatas, kami atas nama Masyarakat Adat Mendesak :

  1. Pj. Bupati Sinjai segera menjalankan mandat Peraturan Daerah Kab. Sinjai No. 1 tahun 2019 tentang Pedoman Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Adat
  2. DPRD Kabupaten Sinjai melakukan evaluasi kepada pemerintah daerah Daerah Sinjai terkait lambannya pelaksanaan implementasi Peraturan Daerah Kab. Sinjai No. 1 tahun 2019 tentang Pedoman Pengakuan, Perlindungan dan Pemberdayaan Masyarakat Adat
  3. Melibat masyarakat adat dalam perencanaan pembangunan dan penetapan kebijakan
  4. Menolak dengan tegas Penetapan Tata Batas Kawasan Hutan negara oleh KLHK melalui BPKH Wil. VII Makassar di dalam wilayah adat karena itu bukan kawasan hutan negara
  5. Jalankan Putusan MK 35: Hutan Adat, Bukan Hutan Negara
  6. Tolak Tanah Objek Reforma Agraria tipu-tipu yang tidak melibatkan kelembagaan adat dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip masyarakat adat.
  7. Menolak Izin Usaha yang tidak Partisipatif dalam Wilayah Adat
  8. Sahkan RUU Masyarakat Adat yang berpihak terhadap masyarakat adat
  9. Tolak kebijakan atau undang-undang yang meminggirkan masyarakat adat (Omnibus Law, KUHP, UU Minerba, UU KSDAE)
  10. Tolak Sertifikasi Hak Pengelolaan (HPL) di wilayah adat melalui Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nomor 14 Tahun 2024 tentang Penyelenggaran Administrasi Pertanahan dan Pendaftaran Tanah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat

 

Masyarakat Adat adalah penjaga hutan, bukan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup bersama jajarannya

 

 Report : Sholihin (PH Aman Sinjai)

Posting Komentar untuk "Menangih Itikad Baik Negara Terhadap Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Adat Sebagai Jalan Keluar Konflik Tenurial Berkepanjangan."