GRAMT Suarakan Kegagalan Jokowi dan Serukan Perlawanan untuk Rezim Selanjutnya.
Jum’at, 11 Oktober 2024. Puluhan massa aksi yang
mengatasnamakan Gerakan Rakyat Anti Monopoli Tanah (GRAMT) melakukan aksi di
depan kantor DPRD Provinsi Sulawesi Selatan. Gerakan yang diinisiasi oleh
beberapa organisasi yang terdiri dari mahasiswa, tani, masyarakat adat, NGO,
memulai aksi pada pukul 13.30 wita. Massa aksi didominasi oleh warga yang
menggunakan pakaian adat dari beberapa daerah seperti masyarakat adat Kajang
Bulukumba. Aksi yang mereka lakukan diakhir masa pemerintahan Jokowi merupakan
bentuk kemarahan rakyat atas 10 tahun kinerja Jokowi yang dinilai membelakangi
pekentingan rakyat.
Pada pidato kenegaraan terakhir tersebut, Joko Widodo mengklaim selama 10
tahun pemerintahannya telah mencapai sejumlah keberhasilan seperti pembangunan
merata dan berkeadilan yang ‘indonesiasentris’, peningkatan pertumbuhan
ekonomi, ketahanan pada perubahan iklim, ekonomi hijau dan transisi energi
berkeadilan. Joko Widodo juga menyebut keberhasilan pemerintah menyusun
kebijakan strategis seperti UU Cipta kerja, UU IKN, UU DKJ, dan UU ITE. Klaim
keberhasilan tersebut kontradiktif dengan kondisi faktual yang menunjukkan
bahwa pembangunan era Joko Widodo adalah pembangunan berwatak kolonial.
Beberapa klaim
keberhasilan seperti pembangunan adil, merata dan Indonesiasentris justru
menyebabkan kerusakan lingkungan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM)
melalui misalnya Proyek Strategis Nasional (PSN). Kebijakan strategis yang
disebut sebagai modal transisi pemerintahan seperti UU Cipta Kerja dan UU IKN
justru menyebabkan perampasan ruang dan membebani APBN. Sementara UU ITE
menjadi alat pembungkaman dan pemberangusan kebebasan berekspresi dan
berpendapat.
Umar yang memimpin aksi membuka dengan suara lantang dan mengatakan bahwa Jokowi adalah biang kerok dari krisis agraria yang terjadi.
"Jokowi selama dua periode pemeritahannya selalu membuktikan dirinya sebagai pelayan setia dari kepentingan Imperialisme, memberikan persembahan demi persembahan istimewa bagi Imperialisme. Selayaknya rezim Boneka, Jokowi terus mengibuli rakyat melalui berbagai kebijakan populisnya di periode pertama dan semakin matang menunjukkan karakter aslinya sebagai rezim anti rakyat yang fasis dan kepala batu mengabdikan diri sepenuhnya untuk para Tuan Tanah Besar dan Borjuasi Besar Komparador di periode kedua hingga di detik-detik akhir masa jabatanya.” Tegas Umar.
Umar menambahkan
bahwa kesetian Jokowi atas modal dan abainya terhadap rakyat bisa kita lihat
dari massifnya perampasan lahan di Indonesia terutama di pedesaan untuk proyek
yang sama sekali bukan untuk rakyat, malah hanya merugikan rakyat.
“Perampasan tanah besar-besaran di Indonesia terjadi dalam
skala kuantitas dan kualitas yang sungguh luar biasa. Beton
telah meretas tanah-tanah, bangunan dan
infrastruktur milik rakyat kecil, di pesisir pantai, perbukitan,
hingga di pedalaman tanpa kecuali termasuk di lahan-lahan persawahan subur
sebagai lumbung pangan nasional. Kesemuanya dibongkar demi proyek
strategis nasional, diabdikan bagi efektifitas
dan konektifitas antar wilayah bagi pergerakan barang dan jasa milik
industri-industri besar milik asing dan komprador nasional yang
utamanya berorientasi ekspor. Sementara di wilayah pegunungan, pedalaman hutan,
pesisir pantai, kapital asing juga beroperasi menciptakan puluhan
Taman Nasional baru yang merampas ruang hidup jutaan hektar tanah dan air
milik suku bangsa minoritas, rakyat tani perdesaan dan kaum nelayan. Semua
perampasan ruang hidup rakyat tersebut berkedok konservasi, ekonomi hijau, dan
bisnis karbon; demikian halnya konsesi jutaan hektar perkebunan
skala besar dan aneka pertambangan skala besar.” Tambahnya
Disela-sela aksi, warga dari Kajang
melakukan suatu ritual Mappabitte Passapu.
Itti, PD AMAN Sulsel menjelaskan bahwa ritual ini adalah suatu kearifan local
masyarakat adat Ammatoa Kajang yang menandakan bahwa mereka masih eksis hingga
saat ini.
“Salah
satu ritual atau kearifan local yang semakin jarang ditemui. Ini tidak terlepas
dari keberadaan mereka yang terus diperhadapkan dengan ancaman proyek
pembangunan maupun ekpansi perkebunan yang akan menghilangkan wilayah ulayat
mereka. Ritual ini dilakukan agar pemerintah melihat masyarakat adat masih
lestari. Mereka perlu pengakuan dan perlindungan melalui UU Masyarakat Adat.
RUU Masyarakat yg digagas sejak 2010 hingga saat ini belum juga disahkan. Tari
Pabbitte Passappu juga menunjukkan dan mengingatkan pemerintah agar
memperhatikan masyarakat adat.” Jelas Itti.
Fahri anggota FMN UNM menjelaskan
bahwa di akhir masa jabatan Jokowi seharusnya sudah terang dimata kita semua
melihat wajah asli dari rezim ini.
“10 tahun Reforma Agraria Jokowi tak
mampu menghentikan atau sekedar mengurangi monopoli dan perampasan tanah.
Alih-alih menghentikan monopoli tanah, angka monopoli tanah justru semakin
bertambah setiap tahunnya, seperti di sektor kehutanan, taman nasional,
perkebunan skala besar, pertambangan, dan proyek infrastruktur. Ini sudah cukup
memperlihatkan kepada kita bahwa kebijakan populis Reforma Agraria Jokowi
adalah Reforma Agraria Palsu. Program “Reforma Agraria” yang digembor-gemborkan
Jokowi jelas tidak menghapuskan sistem kepemilikan tanah feodal. Di saat yang
bersamaan, dengan UU Cipta Kerja, terutama pada klaster pertanahan, justru
memperkokoh sistem penguasaan tanah feodal yang sudah berlaku, dan memperluas
sasaran tanah-tanah yang dapat dirampas oleh negara dan tuan tanah besar perseorangan.”
Jelas Fahri dalam orasinya.
Fahri
manambahkan tindakan dan tindasan anti demokrasi ala Jokowi juga marak dirasakan
didalam kampus. Bukan hanya petani dan masyarakat adat, tapi semua sector rakyat
tidak lepas dari tindasannya terutama mahasiswa.
“Tindakan dan tindasan anti demokrasi Jokowi di
pedesaan mengakibat tanah-tanah semakin sukit di akses oleh petani. Perlawanan yang
rakyat lakukan kerapkali diperhadapkan dengan alat kekerasan Negara yaitu TNI
dan Polri. Mereka dikerahkan untuk melindungi kepentingan penguasa dan
pengusaha. Di sektor pendidikan, anggaran biaya pendidikan dipotong membuat
biaya kuliah kian mahal dari tahun ke
tahun membuat anak petani dan buruh sulit untuk mengakses pendidikan hari ini.
Belum lagi terjadi pembungkaman demokrasi di beberapa kampus di Makassar. Hingga
hari ini kawan-kawan di UIN alauiddin Makassar masih dihantui oleh surat
Skorsing buntut dari Keluarnya SE Rektor UIN Alauddin Makassar No. 2591. Di
Unhas, terjadi pembubaran diskusi ilmiah yang dilakukan oleh aparat kampus.
Pembungkaman demokrasi di beberapa kampus di kota Makassar ini tidak terlepas
dari bagaimana rezim jokowi yang
berkuasa hari ini. Tambahnya.
Aksi yang berjalan kurang lebih 3 jam
itu digunakan oleh massa aksi untuk membelejeti kebijakan dan tindasan fasis
rezim Jokowi. Massa aksi silih berganti menaiki mobil komando untuk
menyampaikan aspirasinya. Selain itu, teriakan yel-yel serta lagu-lagu penyemangat
juga terdengar dari barisan massa aksi yang berdiri memegang petaka atau poster
tuntutan.
Sebelum aksi berakhir, Umar menyerukan
kepada seluruh massa aksi untuk mempersiapkan diri menghadapi rezim berikutnya
yang sama atau bahkan lebih fasis dari rezim saat ini.
“Bergantinya
rezim bukan berarti akan menghilangkan penindasan yang dialami oleh rakyat
karena Jokowi akan diganti. Rezim berikutnya akan melakukan tindasan yang sama
atau bahkan lebih keras lagi. Sebab pergantian rezim di Negara setengah jajahan
dan setengah feudal hanyalah sekedar berganti topeng yang baru, namun sistemnya
tetap sama yaitu dibawah dikte dan kendali dari imperialism. Pergantian rezim
hanyalah pergantian boneka bagi imperialism. Selama reforma agrarian sejati
tidak terwujud, maka pemerintahan hanyalah representasi dari Borjuasi besar
komprador dan tuan tanah besar. Maka dari itu, mari kita sambut rezim yang baru
dengar persatuan dan perlawanan rakyat dari berbagai sector.” Tutup Umar.
Posting Komentar untuk "GRAMT Suarakan Kegagalan Jokowi dan Serukan Perlawanan untuk Rezim Selanjutnya."