Demi Pendidikan: Dari Tarung Bebas, Kerja Paruh Waktu, hingga Berakhir Meninggal Dunia
Pamflet ucapan duka Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta atas meninggalnya Nur Riska Fitri Aningsih (Instagram/fis_uny) |
*Tulisan ini kami rangkum dari thread yang diterbitkan oleh Ganta Semendawi (@rgantas) di Twitter pada 11 Januari 2023. Kami melakukan republikasi setelah melalui sedikit perbaikan pada penggunaan kata yang tidak baku.
[A Thread & Kenangan]
Di antara semua kepahitan kisah mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yang saya kenal, mungkin ini cerita yg paling getir. Cerita ini tentang seorang perempuan kecil. Sayang ia tak bisa mengisahkan kepada pembaca secara langsung, karena tepat 9 Maret 2022 ia telah meninggal dunia.Ia bernama
Riska. Ambisinya untuk melanjutkan studi, membawa ia dari desa terpencil di
Purbalingga menuju daratan Yogya yang amat asing baginya. Kala itu Riska hanya
memegang 130 ribu rupiah untuk ongkos perjalanan naik bus dan uang saku seminggu di
Yogya. Tentu ini bukan bagian yg terburuk.
Bila ini novel fiksi motivatif, mungkin akan berakhir dengan
indah, penuh haru bahagia. Celakanya kita sedang berada di dunia nyata. Dengan
segala kegilaan yang nyaris mengubur kewarasan. Tempat di mana kita pada
akhirnya akan belajar: betapa mimpi pun bisa dibeli dengan uang.
Lantas bagaimana dengan Riska? Ia percaya kerja keras tak akan
pernah menghianati. Saya juga mengenal Riska sebagai representasi dari perempuan
yang cerdas. Ia memiliki potensi besar untuk menjadi "sesuatu" yg
besar. Sayang masalah ekonomi sedikit banyak menghambat potensinya.
Orang tuanya
sehari-hari jualan sayur di gerobak pinggir jalan. Di saat yang sama, ibunya
harus menghidupi Riska dan keempat adiknya nan belum lulus sekolah. Tidak sulit
untuk menebak bahwa jelas keuangan keluarga Riska tak akan cukup membiayai
perkuliahannya.
Saya memang
menemukan banyak kasus, di mana nominal UKT mahasiswa UNY melampaui kapasitas
keuangan pembayarnya. Dan tidak sulit menemukannya. Terbukti dari hasil temuan
@unybergerak. Di mana dari seribuan mahasiswa yg mengisi angket, sekitar 97%
keberatan dengan nominal UKTnya.
Keanehan
penentuan UKT di UNY memang bukan barang baru. Namun, dalam kasus Riska agak
berbeda. Ia sudah mengisi nominal pendapatan yg sesuai dgn kondisi ekonominya.
Tetapi, saat diminta mengupload beberapa berkas, ia tidak punya laptop.
Sehingga ia meminjam hp tetangganya di desa
Karena
android tetangganya tidak secanggih hp yang sedang Anda pakai. Akhirnya ia tidak
bisa mengupload berkas-berkas yang diminta. Ia mengira inilah alasan mengapa
nominal UKTnya melonjak. Entah ada pengaruh atau tidak. Namun, secara ajaib
nominal UKTnya muncul dengan angka 3.14 juta rupiah.
Kala itu Ia hampir mengubur asa untuk berkuliah. Beruntungnya, guru-guru di sekolahnya mau membantu UKT pertamanya. Desir harapan pun hadir. Ia resmi menjadi mahasiswa UNY. Riska sangat bangga berhasil masuk UNY, terlihat dari postingan Instagramnya: Instagram.com/nurriska_1922.
Selama
menjadi mahasiswa, ia dikenal sebagai orang yang ceria. Sangat ceria malah
menurutku. Sayang keceriannya mulai luntur tiap mendekati pembayaran UKT, seperti
sekarang ini. Ancaman putus kuliah, seolah meremas-remas hatinya. Menyergap
semua mimpi indah yang ia bangun.
Tidak
kurang-kurang usaha yang ia lakukan agar bisa melanjutkan studi. Segala cara dia
coba, dari mencari beasiswa hingga mengambil part time. Menurut saya praktis
semua usaha sudah ia coba. Namun hasilnya lebih sulit dari yang diduga
Bahkan
sebenarnya di awal perkuliahannya, ia sempat bolak-balik dari Rektorat UNY untuk
mengajukan keberatan terhadap nominal UKTnya. Tapi, menurutnya, ia: "kaya
bola yang lagi dimaenin oper sana-sini gak jelas." Pengalaman Riska nampak
tak asing bagi kita yg berhadapan dengan birokrasi.
Padahal,
baru-baru ini saya baru tau, kala itu hanya untuk bolak-balik rektorat, ia
selalu jalan kaki dari kosannya di Pogung sampai ke Jalan Colombo. Riska memang
selalu jalan kaki ke mana saja. Mahfum, ia tidak memiliki cukup uang untuk memesan
driver online.
Dia selalu
berhati-hati untuk menggunakan uang. Salah satu temannya pernah memberinya Abon.
Dia sangat senang. Selama di kos dia terlihat hanya makan nasi dengan Abon yg
diberi temannya tadi. Bahkan odol, sabun, shampo dan mie instan dia dapatkan
dari pemberian temannya.
Ini yang membuat
saya begitu kagum dengannya. Ia begitu kuat, sangat kuat, terlalu kuat. Atau yg
sebenarnya terjadi, dia dipaksa kuat. Salah satu hal yg membuat Riska berusaha
kuat, ialah ambisinya untuk menjadi sarjana. Agar di satu masa ia dapat membantu
masa depan adik-adiknya.
Riska pernah
bilang, bila akhirnya dia tdk bisa melanjutkan kuliahnya. Ia ingin kerja agar
dpt menguliahkan adiknya. Dia ingin mewujudkan mimpi adiknya. Kata itu terucap
saat lagi-lagi masa pembayaran UKT mendekati deadline. Ia nyaris kehilangan
asa, karena tak bisa membayar UKT.
Sebelumnya saya
menghubungkan Riska dengan salah satu petinggi kampus. Pihak birokrat kampus
meminta beberapa dokumen penting untuk membantu penurunannya secara langsung.
Dia juga sudah mengisi link pengajuan penurunan UKT yg disediakan kampus.
Ironinya, UKTnya cuman turun ±600rb.
Ini
masih belum cukup. Ia hampir menyerah. Namun, di detik-detik terakhir bantuan
pun datang. Ia menyebut ini sebagai "keajaiban". Teman-teman, DPA,
dan Kajur membantu patungan. Saya juga ikut membantu, walau tidak banyak.
Sayangnya meski demikian,
nominal tersebut masih belum cukup. Orang tua Riska & Riska masih harus
mencari sisanya. Maklum, periode itu pandemi sedang mengamuk. Akhirnya ia mencoba
meminjam uang. Dan di babak akhir Riska bisa mengisi KRS & perkuliahan
semester itu masih aman.
Tapi, tentu saja
tidak benar-benar aman. Mengingat, ia tidak hanya kuliah untuk semester itu.
Tapi, masih ada semester yg akan datang. Singkat kata, "masih belum
usai". Dan pada akhirnya yang ditakutkan pun terjadi. Semester selanjutnya
ia lagi-lagi tidak bisa membayar UKT.
Ada dua kabar
berbeda. Ada yg mengatakan ia akhirnya menyerah. Ada juga yg bilang dia cuti
dan mencari kerja utk membayar UKT semester selanjutnya. Saya sendiri lebih
percaya yang nomor dua. Orang segigih dia tak mungkin menyerah.
Namun,
entahlah saya tidak benar-benar tau. Banyak yang ingin saya tanyakan sendiri.
Apa benar ia menyerah? Mengapa ia tidak meminta bantuan/sekedar mengabarkan?
Semua pertanyaan itu tidak mungkin dijawabnya secara langsung lagi. Karena tepat
9 Maret 2022 ia sudah meninggal dunia.
Tentu
hal tersebut bukan bagian paling buruk nan menyakitkan. Bagian yg paling
menyakitkan adalah mengetahui bahwa kisah ini benar-benar terjadi di UNY. Makam
Riska tak hanya mengubur jasadnya, tapi juga mengubur mimpinya. Mimpi untuk
menjadi sarjana. Mimpi yang ingin saya lihat.
Lagi, saya
kembali disadarkan bahwa kita tidak sedang hidup di Novel Laskar Pelangi. Apa
yg salah dari mimpi Riska? Ia hanya ingin menjadi sarjana demi membantu ibunya.
Bahkan di hari pemakamannya, ibunya berkisah bahwa Riska tidak pernah meminta
uang.
Sejak sekolah
Riska sudah membantu ibunya. Dulu dia jualan kecil- kecilan di sekolah. Dari
susu jeli, teh tarik, bakso, sampai sosis. Riska juga seorang pesilat. Bahkan
dia mencoba mencari uang dengan ikut tarung bebas di desa-desa. Semua demi
keluarganya. Ia berusaha tangguh.
Namun, nyatanya
ia tidak setangguh itu. Selama ini dia mengidap hipertensi yg amat buruk.
Ancamanan putus kuliah kian memperburuk keadaannya. Setelah beberapa waktu
tidak kuliah, tiba-tiba muncul kabar ia sedang kritis di RS. Pembuluh darah di
otaknya pecah.
Ia
pun menyerah pada 9 Maret 2022. Meninggalkan keluarganya beserta
mimpi-mimpinya. Saya kehilangan satu teman berharga. Negara ini kehilangan satu
potensi besar yangg kelak membangun bangsa. Dan kita kehilangan satu lagi orang
baik di dunia.
Bagi
saya dia orang yg sangat peduli dgn orang lain. Dahulu saat pandemi sedang
berada di titik paling buruk. Beberapa mahasiswa UNY berencana membangun Bank
UKT dengan sistem dana abadi, demi membantu teman-teman yg tidak mampu membayar
UKT.
Riska dengan
antusias ingin terlibat untuk membantu. Dia bilang: "Apa yg bisa aku bantu,
aku juga mau bantu. Karena aku sendiri juga ngerasain susahnya bayar UKT."
Ia sangat antusias membantu org yg bernasip sama. Mijn God! Kita benar-benar
kehilangan satu orang baik dan berharga :’)
Riska adalah
korban dari kejamnya institusi dan sistem pendidikan di negeri ini. Ia memberi
kita semua alasan untuk terus mengawasi tata kelola institusi besar seperti
UNY. Memberi kita kekuatan untuk selalu bicara tentang ancaman komersialisasi
pendidikan.
UNY kian megah
dengan status baru PTNBH-nya. Tapi laporan keuangan berkata berbeda. UNY tidak
semegah itu. Kampus ini mengalami defisit tahun 2021 sebesar Rp. 199.435.821.415.
Kondisi defisit ini menunjukan ada tata kelola yang buruk di kampus ini. Sangat
kontradiktif.
Dan
bukan cuman itu, saya berani berdebat dengan angka dan bukti tentang dugaan
masalah hukum yang dilakukan oleh institusi ini. Dari masalah Uang Pangkal
hingga persoalan BOPTN dan masih banyak lagi. Bila pihak kampus ingin bicara.
Mari kita adakan diskusi terbuka.
Poin penting
yang ingin saya sampaikan adalah: "tata kelola yang buruk dari institusi
besar seperti UNY, bukan tidak akan menimbulkan korban. Riska adalah satu dari
sekian banyak korbannya.” Maka tekanan publik harus hadir dalam pengawasan
institusi besar seperti UNY.
Karna
UNY nampaknya tdk pernah belajar. Terbaru, mekanisme penurunan UKT, hanya
diberikan pada mahasiswa yg orangtuanya meninggal. Apakah ini tidak terlampau
kejam? Apakah harus ada yg meninggal utk mendapatkan keringanan besar? Logika
ini sudah tidak waras.
Kadang saya
berfikir keras, sebenarnya institusi ini miliki siapa? Setelah akumulasi biaya
kuliah (kita) dipakai untuk membangun gedung-gedung besar di UNY. Akan tetapi,
masih banyak fasilitas yg tak bisa diakses oleh mahasiswanya sendiri. Bahkan
harus disewa. Bisnis macam apa ini?
Bagaimana kampus menimbun cuan dgn berbagai cara, seperti salah satunya menjual jasa tes toefl, yg dibuat mereka sendiri. Lalu dipakai untk syarat kelulusan. Maka UNY harus dinobatkan pebisnis tersukses di Karangmalang, melampaui dominasi Mirota Kampus. https://t.co/mjbR7x0t2x
Saya
percaya bahwa seperti negara yang tidak boleh berbisnis dengan rakyatnya, PTN
juga tidak boleh berbisnis dengan mahasiswanya. Bila iya, maka inilah yang akan
terjadi, banyak yang akan menjadi korban dan orang-orang seperti Riska menjadi
kelompok yang paling rentan.
Dahulu
saya beberapa kali membantu orang-orang yang tidak bisa membayar UKT dengan uang
hasil tulisan saya. Tapi, akhirnya saya sadar, tindakan itu mungkin benar, tapi
tidak bijak. Karena akar persoalannya ada di institusi UNY, yang harus memperbaiki
sistemnya.
Saya
yakin perbaikan itu akan memakan waktu yang lama. Sehingga fungsi pengawasan
harus terus dilakukan, dan untuk itu kita harus memiliki nafas yang panjang. Sedangkan banyak orang yang bernasip
sebelas-duabelas seperti Riska butuh bantuan cepat. Sebenarnya beberapa
teman-teman di kampus tertarik untuk membuat organisasi yang bermitra dengan NGO.
Tujuannya demi mencari dan menyalurkan beasiswa pada mahasiswa UNY. Mungkin
ada yg tertarik terlibat?
Jujur
saja, selama bertahun-tahun saya kuliah di sini, sulit untuk berimajinasi
kampus ini akan memperbaiki diri dengan sendirinya. Terlebih bila bercermin
dari tata kelola pimpinan kampus dari dulu sampai sekarang. Alih-alih marah,
saya justru kasihan dengan kampus ini.
Lantas apakah bisa menaruh harapan ke Rektor UNY, Sumaryanto? Maaf-maaf saja, bahkan sebelum pelantikannya, terdapat intimidasi preman yang turut mewarnai Pemilihan Rektor. Ia memang memiliki catatan buruk berkaitan dgn kebebasan akademik.
Saya menulis ini
dan saya sadar betul bahwa isu komersialisasi pendidikan bukanlah isu yang
populer. Tidak banyak politisi yang bicara dan bertindak tentang isu ini. Bahkan
di momen yang mendekati Pemilu ini, partai-partai akan jauh lebih menjual program
yang populis.
Bahkan saya ragu
ada politisi dari salah satu partai yang akan merespon thread ini. Tentu saja
karena kisah Riska tidak menjual untuk mendulang suara. Tidak ada politisi yang
benar-benar berada disebelah orang-orang seperti Riska.
Rakyat
kita seolah sengaja dibiarkan bodoh untuk terus dibodohi. Di mana dalam rangka
menyambut bonus demografi, yg terjadi malah biaya kuliah dibuat kian mahal.
Seolah kita disuruh rebutan lapangan pekerjaan, di satu mekanisme pasar yang buas
dan tanpa ampun.
Apakah
dunia seperti ini yang akan kita wariskan? Dunia yang tranksaksional. Di mana orang
seperti Riska tidak punya kesempatan yang sama untuk meraih mimpi, hanya karena
ia tidak mempunyai uang. Artinya ini adalah dunia yang nista. Ia tak akan
mengajarkan apapun selain getir dan pahit.
Menulis narasi
ini membuat gejolak emosi yang campur aduk. Saya harus membuka kembali chat dan
semua kenangan yang tertinggal. Membicarakan Riska dengan orang-orang
terdekatnya. Terkadang semua ini membuat tubuh menggigil, dengan dada sesak
harus menggali ulang semua memori.
Bak menahan
buncahan ombak tajam. Tapi semakin jauh ada satu perasaan lega. Saya semakin
termotivasi untuk menyelesaikan cerita ini. Saya harus menyelesaikan cerita ini
dan publik harus mengetahui kisah Riska. Ia harus dikenang.
Bicara soal
kenangan, memori saya kembali tepat di hari kala ia memastikan bisa melanjutkan
studi. Hari itu 31 Desember 2021, dia terlihat sangat bahagia. Dan tepat di hari
itu juga saya membuat janji dengannya. Saya berjanji akan datang ke wisudanya.
Janji yang tidak bisa saya tepati.
Ia berkali-kali
mengucapkan “terimakasih” pada saya. Riska amat murah mengucapkan kata itu.
Dulu saya menganggap ini ucapan yang biasa. Namun, kini saya sadar kalimat itu
penuh makna. Setidaknya bagi saya.
Tapi
di kepingan akhir tulisan ini—alih-alih menerima ucapan itu—jauh di lubuk hati
saya, saya justru ingin mengucapkan kata maaf padanya. Maaf karena tidak bisa
menepati janjiku. Maaf karena gagal mengawasi kampus ini. Dan maaf, bahkan
setelah kamu berpulang, UNY tidak berubah.
Thread ini
sangat intim bagi saya. Sangat intim. Saya ingin melihat akhir dari
perjuangannya. Dan bukan akhir seperti ini. Maka mari sejenak saja beri ruang
duka atas meninggalnya Nur Riska Fitri Aningsih. Dan mari sejenak beri ruang
duka matinya kampus pendidikan (UNY).
Publik praktis
kehilangan imajinasi tentang pendidikan gratis. Bahkan kesempatannya untuk
melanjutkan kuliah, disebut Riska sebagai: “Keajaiban”. Padahal pendidikan yang
murah adalah amanat konstitusi. Riska bukan hanya satu-satunya korban. Masih
banyak korban lain di luar sana.
Entah
berapa banyak lagi korban yang berjatuhan karena biaya pendidikan. Tak ada satu
pun tanda yang membuktikan bahwa berikut hari keadaan akan baik-baik saja.
Ancaman resesi di depan mata, bahkan kondisi ekonomi masyarakat pasca-pandemi
belum benar-benar pulih.
Riska-riska baru
akan terus bertambah. Bonus demografi akan menjadi bencana demografi.
Orang-orang akan rebutan pekerjaan. Kisah Riska akan dilupakan begitu saja,
karena ihwal muncul Riska baru. Demikianlah tulisan ini suatu hari akan kehilangan
makna. Tidak, ini tidak akan terjadi Karena
kepada Andalah tulisan ini saya persembahkan, wahai Nadiem Anwar Makarim,
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi. Menteri yang
bertanggungjawab atas seluruh Perguruan Tinggi di seantero Indonesia. Pemegang
tongkat kuasa tertinggi atas pendidikan di negeri ini.
Apakah
kehendak Anda sehingga orang-orang seperti Riska harus diciprati lumpur oleh
orang-orang seperti Sumaryanto (Rektor UNY). Dan lebih dari sekitar ribuan
mahasiswa UNY, harus diperlakukan dengan
buruk dan mengalami penindasan atas nama Anda.
Menurut saya
harus ada penyesuaian UKT tiap tahun untuk seluruh mahasiswa. Dan wajib diisi
oleh seluruh mahasiswa. Karna kondisi keuangan akan terus naik turun, apa lagi
mendekati resesi. Ini memang terdengar sulit, tapi ini harga yg harus dibayar
untuk menyelamatkan banyak orang.
Terimakasih
semua doa untuk Riska. Aku selalu percaya masih banyak orang baik. Tapi maaf,
mungkin saya salah. Terkadang baik saja tidak cukup. Penting untuk mengambil
tindakan agar tidak ada Riska-riska baru. Dan itu bisa dimulai dengan menjaga
teman kita yang masih ada.
Saya
terlampau gundah untuk yang satu ini. Bisa-bisanya ada beberapa komentar
menyalahkan Riska seolah dia tidak realistis. Ayolah, Riska tidak sedang mencoba
menyelamatkan dunia, ia cuma ingin jadi sarjana. Apa itu terlampau imajinatif
dan tak realistis? Itu mimpi yg sangat sederhana.
Ini merupakan salah satu contoh konkrit terkait mahalnya biaya kuliah di Indonesia dan gagalnya sistem UKT, Mirisnya hal seperti ini baru menjadi perhatian publik stelah kawan kita meninggal. Diberbagai kampus tentunya bnyak mahasiswa yg tidak mampu membayar UKT dan belum direspon baik sama pihak birokrasi kampus yg hanya mencari profit dari Mahasiswanya sendiri. Mari perdalam investigasi ditiap kampus dan berjuang bersama.
BalasHapusSaya sangat salut dan bangga terhadap perjuangan kawan Nur Riska dan semoga almarhumah diterima disisi Allah SWT
Pendidikan adalah kemewahan yang seolah hanya untuk mereka yang memiliki status sosial yang tinggi. Cita - cita besar untuk mencerdaskan kehidupan bangsa masih jauh dari harapan.
BalasHapusSelamat jalan Jeng, cita - citamu yang mulia semoga akan menjadi amal baik di sisi-Nya.