Ekofeminisme: Tubuh Perempuan Papua Masih Menjadi Wilayah Konsesi
Penulis : Nur Intan Maharani Ilyas | Kepala Departemen Perempuan FMN UNM
Kata pembangunan terlalu sering dipakai untuk melegitimasi perampasan. Pembangunan yang katanya demi “kemajuan” di Papua kerap menjelma menjadi bencana ekologis. Ironisnya, bencana itu tak hanya menimpa hutan, sungai, dan gunung yang jadi rumah suku-suku asli, tapi juga menimpa tubuh perempuan Papua yang hingga kini masih dianggap bisa “dikonsesikan”, didiamkan, dan direduksi jadi “harga”
Kerusakan ekologis di Papua bukanlah soal alam semata. Ia adalah soal kuasa. Dan ketika kuasa bekerja, perempuan kerap menjadi korbannya. Dari Bintuni sampai Mimika, dari Raja Ampat hingga Pegunungan Bintang, kita menyaksikan cerita yang sama berulang: tanah dijarah, air diracun, hutan disulap jadi pertambangan, dan perempuan ditinggalkan dengan luka, entah sebagai korban kekerasan seksual, pengungsian, atau kehilangan ruang hidup, karena tubuh perempuan dan tanah yang sama-sama dianggap bisa dieksploitasi.
Perspektif ekofeminisme memberi kita lensa untuk melihat bahwa kerusakan alam dan kekerasan terhadap perempuan bukan dua hal yang terpisah. Keduanya lahir dari sistem nilai yang sama: patriarki dan kapitalisme ekstraktif.
Dalam kerangka ini, alam dilihat sebagai objek yang bisa ditaklukkan, dimiliki, dieksploitasi. Perempuan pun diposisikan serupa, sebagai pihak yang tunduk, diam, dan bisa dimanfaatkan. Maka tak heran jika di banyak wilayah konflik sumber daya seperti Papua, tubuh perempuan ikut menjadi korban. Entah sebagai alat intimidasi militer, target kekerasan seksual, atau warga yang kehilangan sumber air bersih dan pangan akibat proyek tambang, bahkan sasaran dari penghilangan paksa hingga target pembunuhan karena suara lantangnya yang melawan.
Menurut data Walhi Papua (2023), terdapat lebih dari 33 konsesi tambang aktif di tanah Papua. Sebagian besar dari izin itu tumpang tindih dengan wilayah adat, yang berarti secara langsung menyingkirkan perempuan dari sumber hidupnya-kebun, hutan, dan air.
Di Kabupaten Teluk Bintuni misalnya, kehadiran tambang gas dan logging telah mengubah fungsi tanah secara drastis. Dalam laporan JATAM (2022), perempuan adat di sekitar konsesi PT LNG Tangguh kehilangan akses ke tanaman obat, sumber air minum, dan lahan berkebun-padahal peran mereka sangat vital dalam menjaga keseimbangan ekosistem lokal.
Kasus terbaru di Raja Ampat menunjukkan luka yang tak hanya ekologis, tapi juga sosial. Kerusakan ekosistem laut akibat tambang nikel bukan hanya mengancam keanekaragaman hayati, tetapi juga menghilangkan sumber penghidupan perempuan Papua yang bergantung pada laut. Dalam banyak komunitas pesisir, perempuan adalah pencari kerang, nelayan kecil, pengolah hasil laut dan semua itu hilang begitu kapal-kapal tambang mulai berseliweran. Negara membangun puluhan mega proyek tanpa melibatkan masyarakat adat termasuk perempuan, padahal perempuan Papua adalah pewaris pengetahuan lokal tentang tanah, hutan, bahkan konservasi.
Menurut riset Yayasan Pusaka (2021), banyak perempuan Papua tidak dilibatkan dalam musyawarah adat soal pelepasan tanah, karena struktur adat sudah terlebih dulu diseragamkan lewat lensa patriarkis negara.
Kemudian dalam laporan Radar Malang, perempuan adat kehilangan peran domestik dan kulturalnya, dipaksa pindah dari rumah adat, hingga mengalami tekanan psikologis akibat konflik agraria yang disulut oleh proyek pertambangan.
Jika di Kenya ada Wangari Maathai yang memulai revolusi hijau melalui "Green Belt Movement", Papua masih merindukan wajah-wajah perempuan yang bisa menyuarakan perlawanan ekologis secara kolektif. Maathai mengajak perempuan Kenya menanam pohon sebagai aksi melawan deforestasi dan ketidakadilan gender. Ia menyadari bahwa akar kerusakan bukan hanya di tanah yang gundul, tapi pada sistem yang membisukan perempuan dan merampas alam secara bersamaan.
Kita memerlukan "Green Belt Movement" versi Papua. Gerakan yang tak hanya menyuarakan penyelamatan alam, tapi juga pembebasan perempuan dari statusnya sebagai 'wilayah konsesi'.
Sudah waktunya kita berhenti memposisikan perempuan Papua sebagai korban kekerasan sistemik. Mereka adalah subjek. Pemilik tanah. Penjaga hutan. Pelestari adat. Jika negara sungguh ingin menjaga Papua, berikanlah ruang aman dan kendali atas pembangunan. Akui hak adat mereka, bukan hanya sebagai simbol budaya, tetapi sebagai fondasi ekologi.
Ekofeminisme bukan sekadar teori. Ia adalah seruan bahwa penyelamatan alam dan pembebasan perempuan harus berjalan beriringan. Karena ketika tanah dirampas, yang pertama kali kehilangan tempat berpijak adalah perempuan. Dan ketika tanah disembuhkan, yang pertama kali menanam benih harapan pun adalah mereka.
_Di atas tanah yang dirampas atas nama pembangunan, tubuh perempuan Papua ikut dibajak: diseret oleh tambang, diseret oleh patriarki._
Papua bukan tanah kosong. Ia adalah rumah. Dan tubuh perempuan Papua bukan wilayah konsesi. Mereka adalah pusat perlawanan!
Posting Komentar untuk "Ekofeminisme: Tubuh Perempuan Papua Masih Menjadi Wilayah Konsesi"