PERGURUAN TINGGI DAN TAMBANG : BAGAIMANA PANDANGAN PENDIDIKAN PROGRESIF ?
Usulan untuk memberikan izin usaha pertambangan kepada perguruan tinggi telah menjadi perdebatan hangat di masyarakat. Ide ini muncul dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 mengenai Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Dalam RUU tersebut, selain mengatur izin pertambangan untuk perguruan tinggi, juga terdapat ketentuan mengenai izin serupa bagi organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan dan usaha kecil menengah (UKM). Namun, usulan ini memicu kontroversi yang signifikan dari berbagai aspek, termasuk akademik, lingkungan, dan prosedural.
Usulan mengenai universitas diberikan hak untuk mengelola tambang datang dari lembaga Asosiasi Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (APTISI) dengan tujuan kebijakan ini memungkinkan perguruan tinggi dan koperasi untuk memanfaatkan sumber daya yang mereka miliki. Usulan ini kemudian dirumuskan dalam dokumen berjudul "Usulan APTISI: Peta Jalan Pendidikan Bahagia Menuju Indonesia Emas 2045". Dokumen ini menyebutkan bahwa pertambangan merupakan salah satu elemen dalam solusi permasalahan pendidikan. Dalam poin "Strategi Bahagia Belajar-2", APTISI mengusulkan konsep "loan land". Istilah tersebut merujuk pada pemberian pinjaman tanah dari pemerintah kepada yayasan pendidikan, serta hak pengelolaan tambang, yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pendidikan.
Perguruan tinggi memiliki tugas yang jelas sesuai dengan Undang-Undang Pendidikan, yaitu melaksanakan fungsi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat. Pemberian izin usaha pertambangan kepada perguruan tinggi jelas bertentangan dengan prinsip dasar ini. Perguruan tinggi seharusnya berperan dalam memajukan ilmu pengetahuan, bukan mengejar keuntungan ekonomi melalui kegiatan industri.
Selain itu, pengelolaan tambang juga bertentangan dengan komitmen perguruan tinggi untuk menjaga kelestarian lingkungan. Selama ini, perguruan tinggi berperan sebagai garda terdepan dalam mengadvokasi pentingnya keberlanjutan dan pelestarian lingkungan hidup. Namun, juga terlibat langsung dalam aktivitas pertambangan yang berpotensi merusak lingkungan, maka kredibilitas perguruan tinggi sebagai agen perubahan sosial dan lingkungan akan terancam.
Revisi undang-undang Minerba (UU Minerba) yang memberikan peluang bagi perguruan tinggi dan koperasi untuk mendapatkan izin usaha pertambangan (IUP) di tengah kondisi ekonomi yang menantang seperti saat ini, tentu memunculkan berbagai pertanyaan dan pertimbangan. Keterlibatan perguruan tinggi dalam bisnis yang berorientasi pada keuntungan ekonomi dapat menciptakan ketegangan antara kepentingan komersial dan peran kritis mereka dalam masyarakat. Perguruan tinggi yang mengandalkan pendapatan dari sektor pertambangan mungkin akan lebih cenderung mendukung kebijakan pemerintah yang menguntungkan industri tersebut. Dalam konteks ini, pembagian keuntungan ekonomi dapat membuat perguruan tinggi lebih terikat pada kepentingan ekonomi pemerintah.
Situasi ini berpotensi mengurangi efektivitas perguruan tinggi sebagai kekuatan pengimbang yang mampu mengkritisi kebijakan pemerintah yang tidak berpihak pada masyarakat atau lingkungan. Alih-alih menjaga jarak yang sehat dalam interaksi dengan kekuasaan politik, perguruan tinggi yang terlibat dalam pengelolaan tambang berisiko menjadi alat yang lebih patuh terhadap kepentingan ekonomi, serta memperkuat status quo yang menguntungkan pemerintah dan sektor bisnis. Sebagai pusat pemikiran bebas dan riset inovatif, perguruan tinggi akan menghadapi tekanan besar untuk mengarahkan fokus penelitian mereka pada isu-isu yang sejalan dengan kepentingan industri tambang. Penelitian yang berfokus pada sektor ini berisiko mengabaikan bidang-bidang lain yang kurang menguntungkan secara finansial, seperti penelitian dasar di bidang humaniora, ilmu sosial, dan sains murni. Hal ini dapat membuat perguruan tinggi terjebak dalam dominasi logika keuntungan ekonomi, yang pada akhirnya dapat mengikis daya kritis mereka.
Fokus yang berlebihan pada pencapaian keuntungan dapat mengakibatkan lembaga pendidikan kehilangan peran vital mereka dalam mengangkat isu-isu sosial, etika, dan keadilan, yang seharusnya menjadi inti dari visi pendidikan tinggi di Indonesia. Dalam jangka panjang, kondisi ini dapat melemahkan kapasitas perguruan tinggi sebagai agen perubahan yang mendorong pembaruan sosial dan pengembangan ilmu pengetahuan yang berorientasi pada kesejahteraan masyarakat.
Dampak negatif yang perlu diperhatikan adalah munculnya konflik kepentingan antara tujuan akademik dan kebutuhan ekonomi. Perguruan tinggi yang terlibat dalam pengelolaan tambang dapat menghadapi dilema besar: apakah mereka akan menjaga integritas akademik atau mengikuti logika bisnis yang lebih mengutamakan keuntungan?
Selain itu, risiko lingkungan yang mungkin timbul akibat pengelolaan tambang oleh perguruan tinggi juga sangat penting untuk dipertimbangkan. Sebagai institusi yang seharusnya menjadi contoh dalam pengelolaan lingkungan yang berkelanjutan, perguruan tinggi harus serius mempertimbangkan dampak lingkungan dari keterlibatannya dalam industri tambang. Praktik pertambangan yang sering kali merusak ekosistem, menyebabkan pencemaran, dan mengancam sumber daya alam, dapat bertentangan dengan komitmen perguruan tinggi terhadap keberlanjutan dan pelestarian lingkungan.
Perguruan tinggi yang terlibat dalam pengelolaan tambang berpotensi menghadapi dilema etis. Mereka harus menyeimbangkan antara keuntungan yang diperoleh dari pengelolaan tambang dan dampak jangka panjang terhadap alam. Meskipun ada potensi penerapan teknologi ramah lingkungan dalam sektor pertambangan, sering kali praktik bisnis di bidang ini lebih mengutamakan keuntungan finansial daripada menjaga kepedulian terhadap lingkungan.
Institusi pendidikan tinggi yang memiliki reputasi dalam penelitian dan kebijakan lingkungan mungkin akan kehilangan kredibilitasnya jika terlibat dalam praktik pertambangan yang merusak ekosistem. Oleh karena itu, sangat penting bagi perguruan tinggi untuk tidak hanya fokus pada potensi keuntungan, tetapi juga mempertimbangkan konsekuensi jangka panjang terhadap lingkungan dan masyarakat.
Mengelola bisnis tambang memang menawarkan potensi keuntungan finansial yang signifikan bagi perguruan tinggi, namun keuntungan tersebut disertai dengan tanggung jawab yang besar. Perguruan tinggi perlu mempertimbangkan secara mendalam dampak terhadap independensi akademik, kemungkinan konflik kepentingan, serta kerusakan lingkungan yang dapat terjadi. Tugas perguruan tinggi tidak hanya mendukung perekonomian negara, tetapi juga menjaga peran sentral mereka sebagai penjaga kebebasan berpikir dan pencipta inovasi ilmiah.
Apabila perguruan tinggi terlibat dalam pengelolaan tambang, setiap keputusan yang diambil harus tetap mempertahankan integritas akademik dan sejalan dengan komitmen terhadap keberlanjutan serta kesejahteraan masyarakat. Sebagai institusi yang seharusnya melindungi kebebasan akademik dan memperjuangkan keadilan sosial, perguruan tinggi harus menghindari godaan kepentingan ekonomi yang dapat mengganggu misi mulia mereka.
Di tengah krisis iklim yang semakin mendalam dan kompleksitas masalah sosial yang terus berkembang, perguruan tinggi harus berdiri teguh sebagai penjaga nilai-nilai ilmiah, penggerak perubahan sosial, serta pilar utama dalam membangun masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan. Sebagai lembaga yang seharusnya memandu arah perkembangan peradaban, perguruan tinggi harus memimpin dengan integritas dalam menciptakan solusi berbasis pengetahuan yang mengutamakan kepentingan umat manusia dan lingkungan di atas kepentingan ekonomi.
Namun pada faktanya Kampus-kampus di Indonesia cenderung amnesia pada isu lingkungan, hal ini ini buktikan dengan data dari UI GreenMetric World University Rankings 2021 menunjukkan bahwa hanya 23% perguruan tinggi di Indonesia yang berhasil masuk dalam peringkat kampus berkelanjutan global. Angka ini jauh tertinggal dibandingkan negara tetangga seperti Malaysia yang mencapai 35% dan Jepang dengan 45%. Lebih memprihatinkan, partisipasi mahasiswa dalam kegiatan lingkungan kampus di Indonesia masih berada di angka 45%, jauh di bawah Jerman (70%) dan Swedia (65%). Kesenjangan ini mencerminkan adanya ‘amnesia selektif’ di kalangan kampus-kampus Indonesia terhadap isu lingkungan.
Untuk memahami fenomena ini secara lebih mendalam, kita perlu menganalisis faktor-faktor struktural yang mempengaruhinya. Salah satu kendala utama adalah keterbatasan anggaran. Sebagai contoh, Universitas Mataram hanya mengalokasikan kurang lebih 2% dari total anggarannya untuk program lingkungan, jauh di bawah standar internasional yang berkisar antara 5-10%. Selain itu, kurangnya insentif bagi civitas akademika yang terlibat dalam kegiatan lingkungan juga menjadi penghambat. Hal ini menunjukkan bahwa keterlibatan dalam program lingkungan belum menjadi kriteria penilaian kinerja dosen atau dalam sistem kredit mahasiswa di banyak kampus di Indonesia.
Resistensi terhadap perubahan juga menjadi tantangan tersendiri. Banyak kampus terjebak dalam inersia organisasi. Misalnya, Meskipun termaktub dalam Rencana Strategis Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat 2024-2028 mengenai wacana pusat studi lingkunagn hidup dan bencana namun Universitas Muhammadiyah Mataram belum sepenuhnya mengintegrasikan aspek keberlanjutan dalam kurikulum pendidikan, meskipun tren global menunjukkan urgensi untuk melakukannya. Ini mencerminkan keengganan untuk keluar dari zona nyaman dan mengadopsi paradigma baru dalam pendidikan tinggi.
Dalam aspek teknologi, ‘kepikunan’ kampus-kampus di Indonesia semakin terlihat jelas. Data terbaru menunjukkan bahwa hanya sekitar 30% kampus di Indonesia yang telah menerapkan sistem manajemen energi berbasis teknologi. Hal ini kontras dengan Singapura yang mencapai 80% dan Australia dengan 75%.
Kembalikan Marwah pendidikan sekarang juga!
Diskusi mengenai hubungan antara pendidikan, kapitalisme, dan neoliberalisme bukanlah isu yang baru. Terutama, fokus pada tujuan pendidikan yang berusaha membentuk individu sesuai dengan kebutuhan ekonomi kapitalis di abad ke-21 menjadi perhatian utama.
Sebagai ilustrasi, kritik terhadap pendidikan yang berorientasi kapitalis dapat ditemukan dalam karya Henry Giroux berjudul "Neoliberalism’s War on Higher Education" (2011). Dalam karyanya, Giroux mengungkapkan bagaimana kebijakan neoliberal di sektor pendidikan tinggi di negara-negara maju telah mengubah misi dan visi pendidikan secara keseluruhan. Saat ini, institusi pendidikan tinggi berfungsi lebih sebagai 'pasar' ketimbang sebagai barang publik, sehingga perhatian mahasiswa dan pendidik beralih kepada pengembalian investasi (ROI) dari biaya pendidikan. Dengan demikian, pendidikan dipersempit menjadi alat untuk memenuhi ekspektasi ekonomi mahasiswa dan masyarakat. Giroux berargumen bahwa penekanan pada hasil ekonomi ini berkontribusi pada menurunnya aktivisme dan pola pikir kritis di kalangan mahasiswa.
Samuel Bowles dan Herbert Gintis, dalam buku mereka "Schooling in Capitalist America: Educational Reform and the Contradictions of Economic Life" (1976), juga mengkritik bagaimana sistem pendidikan disesuaikan untuk memenuhi kebutuhan kapitalisme. Mereka menekankan pentingnya menciptakan 'logika kapitalisme' dalam pendidikan, yang menghasilkan apa yang Paulo Freire (1973) sebut sebagai "budaya diam", di mana individu menjadi patuh terhadap struktur dan hierarki yang ada.
Bowles, Gintis, Giroux, Freire, serta pemikir lainnya seperti Pierre Bourdieu dan Michael Apple, secara kritis menganalisis peran pendidikan sebagai sarana reproduksi dan kontrol sosial. Mereka menekankan bahwa sistem pendidikan tidak hanya membentuk individu yang sejalan dengan prinsip-prinsip kapitalisme, tetapi juga berkontribusi pada perburukan ketidaksetaraan sosial melalui mekanisme kekuasaan yang dominan. Meskipun pendidikan seharusnya berfungsi sebagai jalan menuju emansipasi, terutama bagi individu dari kalangan kelas bawah, kenyataannya sering kali gagal untuk mengangkat mereka dari kondisi yang tertekan. Sebaliknya, pendidikan sering kali justru mengembalikan mereka ke posisi sosio-ekonomi yang serupa.
Sistem pendidikan yang berupaya menyesuaikan diri dengan tuntutan kapitalisme tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di berbagai belahan dunia. Namun, yang menjadi perhatian utama adalah kurangnya narasi alternatif yang menentang pendidikan berbasis kapitalis. Untuk mengeksplorasi narasi alternatif ini, penting bagi kita untuk mengkritisi kapitalisme itu sendiri dan melampaui paradigma pembangunan yang ada saat ini. Salah satu hambatan bagi pemikiran progresif dan kritik terhadap kapitalisme adalah TAP MPRS No. 25 tahun 1966. Pelarangan terhadap Marxisme tidak hanya diterapkan pada organisasi politik, tetapi juga berfungsi sebagai batasan dalam analisis kelas dan kesenjangan dalam bidang ilmu pengetahuan di Indonesia.
Dengan melarang Marxisme dan membatasi diskursus terkait di lembaga pendidikan, Indonesia memberikan kesempatan yang luas bagi Soeharto untuk mengimplementasikan visinya mengenai pembangunan, sekaligus meredam berbagai bentuk perlawanan terhadap penindasan struktural. Pembangunan tersebut, sebagaimana diungkapkan oleh Ariel Heryanto (2005), berlandaskan pada pasar modal dan pendekatan teknokratis, serta mencerminkan keinginan Soeharto untuk mempertahankan struktur sosio-politik yang menindas melalui sistem feodal dan militer. Sinergi antara elemen-elemen ini dikenal sebagai developmentalisme, yang berakar dari 'teori modernisasi' yang dipopulerkan oleh kelompok yang dikenal sebagai 'mafia Berkeley'.
Hilmar Farid (2005) mengemukakan bahwa teori modernisasi merupakan "aspirasi untuk menciptakan Indonesia yang modern, rasional, dan maju melalui mekanisme pasar ekonomi, yang diimbangi dengan ingatan akan masa lalu yang kelam." Teori ini tidak hanya berfungsi sebagai pedoman dalam proses pembangunan, tetapi juga, melalui propaganda yang dilakukan oleh Orde Baru, membentuk persepsi masyarakat bahwa teori ini adalah "satu-satunya pendekatan" yang valid untuk pembangunan Indonesia. Pandangan ini sejalan dengan prinsip neoliberalisme yang menegaskan bahwa tidak ada alternatif yang tersedia (TINA - There Is No Alternative).
Kebijakan pendidikan yang diterapkan bertujuan untuk membentuk individu Indonesia yang 'modern' sesuai dengan definisi pembangunan yang sempit. Melalui proses indoktrinasi pendidikan yang berupaya mempertahankan kepatuhan masyarakat terhadap struktur yang ada, serta minimnya pendidikan yang mendorong kesadaran kritis dan pemahaman kelas serta pandangan oposisi terhadap kondisi yang ada tetap terbatas. Banyak anggota masyarakat yang meyakini bahwa mobilitas sosial ke atas dapat dicapai melalui kerja keras, kemandirian, dan disiplin, tanpa menyadari adanya hambatan struktural yang menghalangi upaya tersebut.
Temuan ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lyn Parker dan Pam Nilan (2013) dalam buku mereka yang berjudul "Adolescents in Contemporary Indonesia", yang menunjukkan bahwa banyak remaja di Indonesia terjebak dalam pandangan yang optimis namun simplistik mengenai mobilitas sosial. Mereka cenderung mengabaikan faktor-faktor sistemik yang berkontribusi terhadap ketidaksetaraan, seperti akses terbatas terhadap pendidikan berkualitas, peluang kerja yang tidak merata, dan diskriminasi sosial. Dengan demikian, meskipun ada harapan untuk mencapai kemajuan melalui usaha individu, realitas yang dihadapi oleh banyak orang menunjukkan bahwa perubahan yang lebih mendasar dan struktural diperlukan untuk menciptakan keadilan sosial dan kesempatan yang setara bagi seluruh lapisan masyarakat.
Salah satu warisan paling berbahaya dari Soeharto adalah masih mengakar dan tertanamnya konsep 'modernitas' dan 'pembangunan' dalam kesadaran kolektif masyarakat Indonesia, termasuk para pemimpinnya. Hal ini disertai dengan minimnya kritik terhadap fondasi dan kerangka pembangunan yang sering kali menindas. Pola pikir ini terus berlanjut bahkan setelah hampir tiga dekade reformasi.
Pembangunan yang memiskinkan, pendidikan yang mengekang, feodalisme yang mengakar, serta masalah rasisme yang tak kunjung teratasi, menciptakan amarah yang sulit dipahami. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika agama menjadi saluran bagi kegelisahan dan kemarahan masyarakat, dianggap sebagai satu-satunya alternatif terhadap sistem yang menindas. Agama tidak hanya berfungsi sebagai pedoman nilai dan identitas, tetapi juga sebagai kerangka untuk memahami konflik sosio-politik. Tantangannya adalah ketidakmampuan kita untuk menyadari bahwa agama pun dapat dan telah dikooptasi oleh kapitalisme, xenophobia, dan kepentingan kapitais-monopoli.
Dalam konteks pendidikan di Indonesia, kita perlu meredefinisi makna 'kualitas' pendidikan. Kualitas pendidikan dapat dilihat dari sudut pandang teknis, seperti kemampuan membaca dan berhitung, yang masih tertinggal. Namun, kita juga harus memperhatikan berbagai masalah yang tidak terlihat di dalam kelas, yang sering disebut sebagai kurikulum tersembunyi. Hirarki ilmu pengetahuan, pembelajaran sejarah, dan struktur sosial yang masih terpengaruh oleh penafsiran Orde Baru, serta fokus pada hasil akhir nilai ketimbang proses pembelajaran, menciptakan pendidikan yang bersifat massifikasi. Hal ini mengakibatkan minimnya ruang bagi guru dan murid untuk mengeksplorasi dan merefleksikan diri serta keadaan masyarakat secara kritis dan objektif.
Freire berpendapat bahwa pendidikan yang bersifat reflektif dapat memperkuat kemampuan kritis individu dalam pengambilan keputusan. Dalam konteks masyarakat demokratis, penting bagi individu untuk menyadari ketika kepentingan mereka dieksploitasi oleh kelompok elit, serta untuk mampu menilai secara kritis di luar retorika politik dan populisme yang berbasis identitas. Sayangnya, sistem pendidikan yang ada saat ini cenderung menghambat pemikiran kritis, tidak mengaddress kondisi sosial secara mendalam, dan hanya menanamkan retorika toleransi yang tidak substansial. Menurut Freire, pendidikan yang bersifat emansipatoris bukanlah sebuah impian yang tidak mungkin dicapai. Kita harus mengingat bahwa pendidikan di Indonesia memiliki akar dalam gagasan-gagasan progresif. Pada awal abad ke-20, Ki Hajar Dewantara, yang diakui sebagai pelopor pendidikan di Indonesia, melalui lembaga pendidikan Taman Siswa, tidak hanya mengadopsi tetapi juga menanamkan nilai-nilai progresif yang melampaui konteks zamannya.
Pendidikan yang disediakan oleh Ki Hajar Dewantara ditujukan untuk masyarakat yang kurang mampu, mengingat pada masa itu pendidikan umumnya hanya dapat diakses oleh kalangan yang berkemampuan. Selain itu, beliau juga memberikan perhatian khusus terhadap pendidikan perempuan sebagai upaya untuk membebaskan mereka dari struktur patriarki yang ada. Dalam konteks ini, Ki Hajar Dewantara mengambil langkah signifikan dengan menghapus gelar 'Raden Mas' dari namanya, yang merupakan simbol dari sistem pendidikan feodal. Pendekatan pendidikan yang diusungnya, yang bersifat anti-feodalisme, anti-imperialisme, anti-kapitalisme, serta mendukung nilai-nilai feminis, dapat dianggap sebagai suatu gagasan yang sangat radikal pada zamannya. Proses perubahan sosial tidak terjadi secara otomatis; diperlukan intervensi yang kritis, dan dalam hal ini, peran pendidikan menjadi sangat penting.
Kesimpulan
Usulan pemberian izin usaha pertambangan kepada perguruan tinggi di Indonesia, sebagaimana diatur dalam RUU tentang Perubahan Keempat UU Minerba, menimbulkan sejumlah kontroversi dan tantangan yang signifikan. Meskipun inisiatif ini bertujuan untuk memanfaatkan sumber daya dan mendukung pengembangan pendidikan, keterlibatan perguruan tinggi dalam industri pertambangan berpotensi merusak integritas akademik, mengancam keberlanjutan lingkungan, serta menciptakan konflik kepentingan antara tujuan akademik dan kebutuhan ekonomi. Perguruan tinggi seharusnya berfokus pada peran mereka sebagai agen perubahan sosial dan pengembangan ilmu pengetahuan, bukan terjebak dalam logika keuntungan ekonomi yang dapat mengikis daya kritis mereka.
Lebih lanjut, kondisi pendidikan di Indonesia yang masih terpengaruh oleh paradigma kapitalis dan minimnya perhatian terhadap isu lingkungan menunjukkan perlunya redefinisi makna kualitas pendidikan yang lebih progresif dan berorientasi pada keadilan sosial. Dalam konteks ini, pendidikan harus kembali pada nilai-nilai emansipatoris yang mengedepankan kebebasan berpikir dan kesadaran kritis, serta berkomitmen pada keberlanjutan dan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian, perguruan tinggi diharapkan dapat menjalankan fungsi mereka secara optimal sebagai lembaga yang tidak hanya mendukung perekonomian, tetapi juga berperan aktif dalam menciptakan masyarakat yang lebih adil dan berkelanjutan.
Posting Komentar untuk "PERGURUAN TINGGI DAN TAMBANG : BAGAIMANA PANDANGAN PENDIDIKAN PROGRESIF ?"