Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

UU Cipta Kerja, Masalah Baru Dunia Pendidikan

 

                                           dok. massa aksi Protes Rakyat Indonesia Sulawesi Selatan

Penulis : Dep. Pendidikan & Propaganda FMN Makassar

 Draft awal RRU Cipta Kerja yang beredar diawal februari 2020 mengatur banyak hal tentang pendidikan karena akan mengubah 5 Undang-undang, yaitu UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, UU No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, UU No. 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, UU Nomor 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, dan UU Nomor 4 Tahun 2019 tentang Kebidanan.[1] Front Mahasiswa Nasional menilai bahwa berbagai rencana perubahan pada sektor pendidikan yang diatur dalam RUU Cipta Kerja akan mengarahkan pengelolaan pendidikan yang berorientasi bisnis atau komersil karena hampir 90% isi RUU ini bicara tentang iklim investasi dan bisnis.

Berbagai rencana perubahan tersebut tidak dilakukan karena banyaknya kritikan serta protes rakyat dan DPR serta pemerintah sepakat untuk mengeluarkan materi pendidikan dari draft RUU Cipta Kerja.[2] Namun setelah diundangkan menjadi UU Cipta Kerja dan dinyatakan inkonstitusional bersyarat serta pasca penerbitan perppu cipta kerja, poin tentang pendidikan masih ada dalam Perppu tersebut yang diatur pada paragraf 12 tentang pendidikan dan kebudayaan dalam pasal 65 yang berbunyi “Pelaksanaan perizinan pada sektor pendidikan dapat dilakukan melalui Perizinan Berusaha sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ini” dan ketentuan lebih lanjut akan diatur dalam peraturan pemerintah.[3]

Penghapusan UU tentang pendidikan dalam UU Cipta kerja ternyata tidak menghentikan upaya pemerintah untuk terus meliberalisasi, mengkomersilkan dan memprivatisasi pendidikan karena saat ini telah dibahas satu RUU tentang sisdiknas yang akan menggabungkan 3 Undang-undang yaitu UU No. 20 tahun 2003 tentang system pendidikan nasional, UU No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen serta UU No. 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi.[4]

Kembali pada UU Cipta Kerja, meskipun hanya ada satu pasal, poin terkait sektor pendidikan yang tercantum dalam Pasal 65 tersebut memberikan pembedaan perlakuan bagi penyelenggaraan pendidikan formal. Pada bagian penjelasan, dikatakan bahwa Pasal 65 ditujukan bagi lembaga pendidikan formal di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Artinya, setiap penyelenggara pendidikan formal di KEK diwajibkan melewati mekanisme perizinan berusaha yang diatur di dalam UU Cipta Kerja. Sementara lembaga pendidikan formal di luar KEK tetap mengikuti peraturan lama yang memuat ketentuan izin untuk satuan pendidikan, yaitu UU Sisdiknas, UU Pendidikan Tinggi, UU Guru dan Dosen, UU Pendidikan Kedokteran, dan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.[5]

Namun, penjelasan pasal tersebut juga menyebutkan bahwa pengelola satuan pendidikan di luar KEK dapat secara sukarela menggunakan mekanisme perizinan berusaha yang diatur dalam UU Cipta Kerja, antara lain, untuk proses kesesuaian tata ruang, persetujuan lingkungan, dan standar bangunan gedung. [6]Sementara itu, proses perizinan untuk pengelolaan satuan pendidikan cukup melalui instansi yang menaungi satuan pendidikan tersebut, yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk pendirian satuan pendidikan dasar, menengah, dan perguruan tinggi, serta Kementerian Agama untuk pendirian pesantren.[7]

Klausul tentang integrasi perizinan sektor pendidikan ke dalam mekanisme perizinan usaha tercantum pula dalam draf RUU Cipta Kerja dan mengundang banyak kritik dari kalangan pemerhati pendidikan termasuk FMN. Dengan penggabungan itu, sektor pendidikan yang penyelenggaraannya berprinsip nirlaba ditempatkan dalam satu rezim yang sama dengan perizinan usaha yang berorientasi laba. Dalam Perppu Cipta Kerja yang telah disahkan, klausul itu tidak lagi ditemukan. Hal itu berdampak positif karena proses perizinan sektor pendidikan dikembalikan kepada instansi yang bertanggung jawab dalam bidang pendidikan. Namun, Pasal 65 UU Cipta Kerja justru membedakan mekanisme perizinan khusus bagi lembaga penyelenggara pendidikan yang berada di wilayah KEK sehingga tetap membuka peluang terjadinya komersialisasi pendidikan.

Keberadaan pasal tersebut akan menimbulkan kesenjangan akses atas pendidikan di masyarakat, sebab pembedaan mekanisme perizinan satuan pendidikan berpeluang menciptakan perbedaan standar dan kualitas pendidikan. Lembaga penyelenggara satuan pendidikan di wilayah KEK memiliki peluang menetapkan standar pendidikan yang tinggi, sehingga dapat memberikan jaminan penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Sebagai timbal balik, penyelenggara pendidikan akan menarik biaya yang tinggi dari peserta didik. Sebaliknya, satuan pendidikan di luar wilayah KEK hanya bergantung pada subsidi pemerintah atau sumber daya lain yang terbatas, sehingga sulit untuk memastikan kualitas penyelenggaraan pendidikannya dapat setara dengan kualitas yang dimiliki satuan pendidikan di wilayah KEK.

Situasi serupa pernah terjadi ketika sistem pendidikan Indonesia menerapkan skema Rintisan Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) dan Sekolah Berstandar Internasional (SBI). Pada saat itu, kualitas sekolah seolah-olah dibedakan antara sekolah reguler atau umum, RSBI, dan SBI. Hanya siswa dari keluarga yang mampu secara finansial yang dapat mengakses pendidikan di RSBI dan SBI, sementara siswa di luar kategori itu hanya berkesempatan diterima di sekolah reguler. Pasal 50 ayat (3) UU Sisdiknas yang menjadi landasan hukum skema itu akhirnya dibatalkan oleh MK pada 2013. Saat itu, MK berpendapat bahwa “penggolongan kasta” dalam lembaga-lembaga pendidikan bersifat diskriminatif dan bertentangan dengan konstitusi.[8]

Saat ini, 15 KEK tersebar dari barat hingga timur wilayah Indonesia[9] dengan pemberian keistimewaan berupa penyelenggaraan infrastruktur, pemberian fasilitas dan insentif, serta kemudahan berinvestasi. Namun, berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2009 tentang Kawasan Ekonomi Khusus, pemerintah dapat menetapkan suatu wilayah sebagai KEK dengan atau tanpa melalui proses pengusulan. Artinya, apabila saat ini kesenjangan akses atas pendidikan hanya terjadi pada wilayah-wilayah yang berada di sekitar 15 KEK tersebut, di masa mendatang ketimpangan itu akan meluas ke lebih banyak daerah seiring dengan dapat bertambahnya jumlah KEK baru.

Jadi, dapat disimpulkan bahwa kehadiran satu pasal tentang pendidikan dalam UU Cipta kerja ini, sama sekali tidak memberikan kemajuan bagi Pendidikan Nasional di Indonesia, justru menjadi suatu kemunduran karena hadirnya satu pasal tersebut, pendidikan dilihat sebagai komoditas yang akan diperdagangkan dan melalui skema ini, pendidikan akan semakin diskriminatif karena pendidikan di KEK tentunya hanya bisa diakses oleh golongan menengah keatas karena soal biaya.

Disisi lain, kondisi pendidikan yang anti ilmiah, anti demokratis dan anti mengabdi pada rakyat tak pernah menjadi evaluasi dari setiap rezim yang ada sehingga sampai detik ini, pendidikan masih saja digunakan sebagai alat untuk melegitimasi berbagai penindasan serta penghisapan yang ada dinegeri ini. Tuntutan pemuda terhadap akses pendidikan serta pekerjaan yang layak luput dari perhatian pemerintah yang mengakibatkan masih tingginya angka putus sekolah, sulitnya pemuda mengakses pendidikan tinggi serta tingginya angka pengangguran. Hal tersebut tentunya menghambat kemajuan tenaga produktif yang ada.

Terlepas dari satu pasal yang mengatur tentang pendidikan, UU Cipta Kerja ini menuai banyak masalah diberbagai sektor seperti ketenagakerjaan, agraria, lingkungan, kehutanan, kebebasan sipil dan lain sebagainya. Karena meresahkan banyak kalangan, kehadiran UU Cipta Kerja ini menjadi momentum persatuan sesama rakyat terhisap dan tertindas di Indonesia untuk melawan segala bentuk kebijakan anti rakyat yang dilahirkan oleh pemerintah. Selain menolak berbagai kebijakan anti rakyat, kita harus mendorong agar pembangunan industri nasional yang berbasiskan pada kemenangan reforma agraria sejati bisa dijalankan secepatnya sebagai satu-satunya solusi konkrit rakyat Indonesia untuk terbebas dari belenggu imperialisme dan feodalisme sehingga pendidikan dan pekerjaan yang layak dapat dinikmati oleh rakyat Indonesia khususnya pemuda.

 Imperialisem-Hancurkan!

Feodalisme-Musnahkan!

Kapitalisme Birokrat-Musuh Rakyat!

 



[1] Lihat naskah RUU Cipta Kerja yang dapat diakses di “RUU tentang Cipta Lapangan

Kerja (Omnibus Law),” DPR.go.id (http://www.dpr.go.id/dokakd/dokumen/BALEGRJ-20200605-100224-2372.pdf), diakses pada 04 april 2023

[2] Rofiq Hidayat, “Legislator Ini Tolak Sentralisasi Bidang Pendidikan dalam RUU Cipta Kerja” Hukumonline.com (https://www.hukumonline.com/berita/a/legislator-ini-tolak-sentralisasi-bidang-pendidikan-dalam-ruu-cipta-kerja-lt5f5f360704f1a), diakses pada 04 april 2023

[3] Lihat Naskah Perppu Cipta Kerja yang dapat diakses di “Database peraturan”, (https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/234926/perpu-no-2-tahun-2022), diakses pada 04 april 2023

[4] FMN Makassar, “RUU SISDIKNAS SEBAGAI UPAYA PERCEPATAN KOMERSIALISASI, LIBERALISASI DAN PRIVATISASI PENDIDIKAN TINGGI”, (https://www.dialektikamassa.com/2022/12/ruu-sisdiknas-sebagai-upaya-percepatan.html), diakses pada 04 april 2023

[5] Lihat Naskah Perppu Cipta Kerja yang dapat diakses di “Database peraturan”, (https://peraturan.bpk.go.id/Home/Details/234926/perpu-no-2-tahun-2022), penjelasan pasal 65, diakses pada 04 april 2023

[6] Ibid.

[7] Ibid.

[8] Alfian Putra Abdi, “UU Cipta Kerja Melanggengkan Kesenjangan Pendidikan,” Tirto.id

<https://tirto.id/uu-cipta-kerja-melanggengkan-kesenjangan-pendidikan-f5NH>, 12

Oktober 2020.

[9] Dewan Nasional Kawasan Ekonomi Khusus Republik Indonesia, “Peta Sebaran KEK,” (KEK.

go.id https://kek.go.id/peta-sebaran-kek), diakses pada 9 November 2020.

Posting Komentar untuk "UU Cipta Kerja, Masalah Baru Dunia Pendidikan "