RUU SISDIKNAS SEBAGAI UPAYA PERCEPATAN KOMERSIALISASI, LIBERALISASI DAN PRIVATISASI PENDIDIKAN TINGGI
Penulis/Editor: Dep. Pendidikan & Propaganda FMN Makassar
10 tahun sejak disahkannya UU No. 12 tahun 2012
Tentang Pendidikan Tinggi, Pemerintahan Jokowi dibawah Kementerian Pendidikan,
kebudayaan, riset dan teknologi kembali menyusun kebijakan untuk
mengintensifkan liberalisasi, komersialisasi dan privatisasi dalam dunia
pendidikan. Seakan tak puas dengan UU Dikti, Kemendikbudristek kembali menyusun
RUU Sisdiknas yang akan menggabungkan 3 UU yaitu UU No. 20 tahun 2003 tentang
system pendidikan nasional, UU No. 14 tahun 2005 tentang guru dan dosen serta
UU No. 12 tahun 2012 tentang pendidikan tinggi. RUU tersebut telah disusun dan
diserahkan ke DPR untuk disahkan.
RUU Sisdiknas akan menggabungkan 3 UU yang terdiri
dari 16 BAB dan 150 pasal.[1]
Melalui RUU ini, pemerinah berkeinginan untuk mempercepat penyelenggaraan
otonomi dalam dunia pendidikan khususnya Pendidikan Tinggi krena 3 model
pengelolaan keuangan yang sebelumnya ada di UU Dikti dinilai masih sangat lambat
menuju Perguruan Tinggi yang sepenuhnya otonom.
Saat ini, rakyat Indonesia dilihat sebagai beban oleh
pemerintahnya sendiri. Berbagai kebijakan neoliberal semakin dimassifkan oleh
pemerintah, melalui kebijakan pengurangan bahkan penghapusan berbagai subsidi
disektor public terus dimassifkan dan salah satunya adalah sektor pendidikan.
Bagi rakyat Indonesia, berbagai retorika dan dalih
yang menyelimuti RUU Sisdiknas hanyalah upaya untuk membodohi sekaligus
mengeruk uang rakyat. Semua hanya omong kosong dan janji murahan yang
mengatasnamakan kemajuan pendidikan hingga bertaraf internasional. Motif
sesungguhnya hanyalah pelepasan tanggung jawab negara dalam pembiayaan
pendidikan dan melempar dunia pendidikan kedalam mekanisme pasar.
Sebelum jauh membahas terkait pasal-pasal yang bermasalah/tidak berpihak pada rakyat, mari kita lihat apa permasalahan pendidikan tinggi saat ini dan UU Dikti khususnya karena bicara terkait UU baru harusnya mampu memperbaiki UU sebelumnya, bukan justru semakin memperburuknya.
Problem Pendidikan di Indonesia
Dalam
kajian Front Mahasiswa Nasional, Problem pendidikan dibagi menjadi dua yaitu:
1.
Lapangan
Kebudayaan
Mahalnya biaya pendidikan membuat rendahnya akses
rakyat terutama dari kalangan pemuda yang berlatar belakang klas buruh dan
tani. Sehingga ini mempertahankan kebudayaan terbelakang yang menindas dan
menghisap rakyat Indonesia. Akses rakyat terhadap pendidikan terus mengalami
kemerosotan. Bagi pemuda di Indonesia, pendidikan menjadi semakin sulit diakses
hingga jenjang yang tinggi. Pemerintah telah membatasi akses pendidikan hanya
sebatas Menengah-Atas. Dari total 64,50 juta orang pemuda di Indonesia, hanya
6,9 Juta atau hanya 10,61% saja yang dapat mengakses pendidikan tinggi.
Mayoritas pemuda di Indonesia terlempar pada sektor-sektor pekerjaan dan
berpendidikan rendah. sebagian besar pemuda bekerja sebagai tenaga produksi
operator alat angkutan dan pekerja kasar (32,40 persen). Lebih dari separuh
pemuda yang bekerja berstatus sebagai buruh/karyawan (51,82 persen), diikuti
pekerja keluarga atau tidak dibayar (19,89 persen). Pekerja pemuda lebih banyak
bekerja sebagai pekerja formal daripada informal, yaitu sebesar 53,15 persen
berbanding 46,85 persen.[2]
Selain sulitnya mengakses pendidikan, Sistem
pendidikan nasional di Indonesia juga dinilai bermasalah karena menanamkan
nilai anti ilmiah, anti demokratis dan anti mengabdi kepada rakyat dan
menjadikan pendidikan sebagai alat kebudayaan
untuk mendukung kepentingan imperialis AS dan feodalisme. Sehingga
pendidikan Indonesia hanya melahirkan kaum-kaum intelektuil yang berwatak pro
imperialis AS dan borjuasi besar komprador,
tuan tanah besar dan kabir yang anti reforma agraria dan industry
nasional[3].
2.
Lapangan
Ekonomi
Sempitnya lapangan pekerjaan dan tidak adanya
pekerjaan yang layak, menciptakan pemuda penggangguran di Indonesia atau
sebagian hanya bekerja serabutan. Demikian juga pemuda mahasiswa yang kerap
menjadi penganguran dan tidak bekerja sesuai dengan keahlian disiplin ilmunya
untuk mendukung pembangunan nasional yang mengabdi kepada rakyat.
Hadirnya UU Dikti maupun RUU Sisdiknas
Diatas merupakan problem pendidikan tinggi yang tak
mampu dijawab melalui UU Dikti maupun RUU Sisdiknas, justru semakin memperparah
masalah pendidikan.
Problem
Pendidikan Tinggi |
UU
No. 12 Tahun 2012 |
RUU
Sisdiknas |
Keterangan |
Sulitnya mengakses pendidikan tinggi/ mahalnya biaya
pendidikan |
Pasal 84, 85, 88 dan 89 |
Pasal 61 dan 62 |
Baik dalam UU Dikti maupun RUU Sisdiknas masih
membebankan biaya kuliah kepada pelajar/mahasiswa dan dalam prakteknya justru
meningkatkan biaya pendidikan yang ditanggung oleh mahasiswa |
Sistem Pendidikan Nasional/ Kurikulum Pendidikan |
Pasal 35 dan 37 |
Pasal 84 dan 85 |
Karena prinsip pembangunan nasional yang mengacu
pada kerangka neoliberal, sehingga kurikulum pendidikan tak ada yang mengarah
pada pembebasan bangsa Indonesia dari belenggu system setengah jajahan,
setengah feodal |
Sempitnya lapangan pekerjaan |
|
|
|
Lainnya |
|||
Pengelolaan Perguruan Tinggi |
Pasal 62-68 |
Pasal 39-41 |
Dalam UU Dikti hak otonom diberikan secara bertahap
sedangkan dalam RUU Sisdiknas, semua PTN akan memiliki status yang sama
dengan PTN BH dalam kurun waktu maksimal 8 tahun sejak RUU tersebut disahkan.
Artinya bahwa, semua PTN nantinya akan mengelola sendiri PTN nya dalam hal
otonomi organisasi, keuangan, SDM dan akademik yang akan semakin memahalkan
biaya pendidikan karena pelepasan tanggung jawab negara dalam pendanaan dan
praktek PTN yang semakin mirip dengan pengelolaan industry. |
Mimbar
akademik |
Pasal
8 |
Pasal
35 |
Dalam UU Dikti, kebebasan mimbar akademik merupakan
kebebasan pribadi seluruh sivitas akademika, namun dalam RUU Sisdiknas yang
memiliki kewenangan terkait mimbar akademik hanyalah dosen. |
Penerimaan mahasiswa baru |
Pasal 73 |
- |
Penerimaan mahasiswa baru yang menyebutkan
penerimaan dalam bentuk lain pada UU Dikti dalam prakteknya membuat satu
jalur yang sering dikomersilkan sedangkan dalam RUU sisdiknas tak diatur lagi
karena semua PTN nantinya memiliki hak otonom sehingga potensi komersialisasi
dan diskriminasi akan semakin mudah |
Pendidikan Tinggi Oleh Lembaga Negara Lain |
Pasal 90 |
Pasal 128 |
Pasal tersebut telah membuka ruang kepada Perguruan
Tinggi Luar Negeri (PTLN) untuk membuka institusinya di Indonesia yang
menjadi kompetitor dari Perguruan Tinggi Dalam Negeri yang mengharuskan PT di
Indonesia harus bersaing secara kualitas dan mutu pendidikan terhadap PTLN.
Sehingga pemaksaan tersebut berbanding lurus kepada mahalnya biaya pendidikan
yang dibebankan kepada Mahassiwa, dengan dalih peningkatan kualitas dan mutu
pendidikan. Hal ini mengakibatkan akan kurangnya minat masyarakat untuk masuk
kedalam perguruan tinggi di Indonesia. Alhasil Perguruan Tinggi akan
menagalami inflasi/krisis moneter yang berujung kepada kebangkrutan dan
kehancuran Perguruan Tinggi dalam Negeri akibat kurangnya bantuan yang
dikucurkan oleh pemerintah ke perguruan tinggi yang bersangkutan |
Dari paparan pasal RUU Sisdiknas yang ada pada tabel
diatas sangat jelas tak mampu menyelesaikan berbagai persoalan pendidikan yang
ada, justru semakin memperparah keadaan yang ada pada UU Dikti.
Upaya Pelepasan tanggung
Jawab Negara Dalam Penyelenggaraan Pendidikan Tinggi
Upaya ini telah berlangsung sejak lama di Indonesia,
berbagai aturan telah diterbitkan untuk pelepasan tanggung jawab negara dalam
penyelenggaraan pendidikan tinggi. Akar dari persoalan tersebut dimulai sejak
Indonesia masuk dalam keanggotaan WTO, IMF dan World Bank. World Bank (WB) dan
IMF merupakan dua lembaga ekonomi dan keuangan yang lahir atas perjanjian
internasional yang dimotori oleh Amerika Serikat. Amerika Serikat
mengkonsolidasikan 43 negara lainnya untuk bertemu di Bretton Woods, AS pada
Agustus 1944. Pertemuan tersebut kemudian dinamakan International Monetary and Financial Conference of The United and
Association Nations atau yang biasa disebut dengan Bretton Woods Agreement.
Amerika Serikat menggunakan perjanjian tersebut untuk mengikat seluruh negara
anggota secara ekonomi dan politik. Pasca Perang Dunia II, seluruh
negeri-negeri yang terlibat perang mengalami krisis ekonomi yang akut. Hal
tersebut digunakan oleh Amerika Serikat untuk mendominasi dunia. Dalam World
Bank dan IMF, Amerika Serikat adalah pemegang saham terbesar sehingga secara
otomatis juga memiliki hak suara terbanyak dalam setiap pengambilan keputusan.
Dalam menghasilkan satu keputusan, minimal harus mendapat 85% suara, sedangkan
17,5% nya dimiliki oleh Amerika Serikat. Sehingga, hampir dapat dipastikan
bahwa semua keputusan harus melalui persetujuan Amerika Serikat.[4]
Di tengah dominasi dari Amerika Serikat melalui World
Bank dan IMF dalam lapangan ekonomi dan politik, maka aspek kebudayaan yaitu
pendidikan juga tidak luput menjadi sasaran. World Bank, IMF bersama WTO telah
menjadi aktor utama dalam perjalanan liberalisasi pendidikan di Indonesia.
Melalui General Agreement on Trade and
Sevices (GATS) Indonesia menetapkan terlibat dalam skema untuk
meliberalisasi 12 sektor jasa, di mana salah satunya adalah pendidikan.
Keberhasilan dari lembaga yang didominasi oleh kekuatan capital dari AS
tersebut dalam melakukan liberalisasi terus disempurnakan melalui berbagai
kerjasama dan pemberian bantuan mengikat. Seiring dengan rangkaian kerjasama
Indonesia dengan IMF pada tahun 1997, salah satu dari Letter of Intent (LoI)
yang dibentuk adalah paket bantuan untuk pendidikan Indonesia sebesar US$ 400
juta. Paket pinjaman tersebut meliputi liberalisasi sektor pendidikan tinggi
dengan menjadikan universitas menjadi status dan bentuk pengelolaan Badan
Hukum, serta secara nasional melahirkan Undang-undang No 20/2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional. Hasilnya masih dapat dirasakan oleh rakyat, khususnya
pemuda saat ini. Jenjang pendidikan sangat sulit dijangkau oleh rakyat
Indonesia, terlebih jenjang pendidikan tinggi.
Sementara itu World Bank pun melakukan hal yang tidak
berbeda dengan WTO dan IMF. Proyek awal World Bank untuk pendidikan di
Indonesia adalah University Research For
Graduate Education (URGE) yang kemudian dilanjutkan dengan Development Of Undergraduate Education (DUE)
dan Quality Undergraduate Education (QUE). Proyek tersebut mengusung tema
“Paradigma Baru” dalam dunia pendidikan. Pendidikan tidak lagi diposisikan
sebagai bagian dari tanggung jawab negara/pemerintah untuk menyelenggarakannya.
Pendidikan menjadi bagian dari sasaran bisnis dan investasi serta untuk
menopang kepentingan perusahaan besar melalui riset-risetnya. Dalam program
yang lebih lengkapnya, World Bank bersama UNESCO membentuk Higher Education for Compt Pro ject (HECP) yang kemudian berganti
dengan Indonesia Managing Higher
Education for Relevance and Efficiency (IMHERE). Tujuan utamanya adalah
untuk memastikan adanya sistem pendidikan tinggi yang menjadim liberalisasi
dapat dilakukan melalui praktik otonomi institusi. Imbalan dari liberalisasi
pendidikan tersebut tidak lain adalah kucuran dana untuk mebiayai IMHERE
sebesar US$ 114,54 juta. Hasilnya yaitu lahirnya UU BHP pada 2009 yang kemudian
dicabut oleh Mahkamah Konstitusi pada Maret 2010. Pasca ketiadaan peraturan UU
BHP, World Bank kembali mendikte Indonesia secara langsung, “ A new BHP must be passed to establish the
independent legal status of all education institutions in Indonesia (public and
private), there by making BHMN has a legal subset of BHP” . Permintaan
tersebut kemudian direspon dengan melahirkan UU No. 12 Tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi.
Demi memastikan pendidikan dapat menjadi arena bisnis
dan investasi yangmenguntungkan, World Bank bahkan telah mengembangkan
kerjasama dengan pemerintahan Jokowi melalui Proyek Kluster Pendidikan yang
meliputi pendidikan anak usia dini, dasar, menengah dan tinggi. World Bank
mengalokasikan bantuannya lebih dari US$ 830 juta melalui IDA dan IBRD. Dari
total seluruh proyek di sektor pendidikan, World Bank telah melakukan investasi
sebesar US$ 1,5 miliar. Tidak sampai disitu, World Bank bersama USAID juga
terlibat dalam program nasional bernama Bantuan Operasional Pendidikan (BOS).
World Bank membentuk program dengan nama BOS-KITA
(BOS-Knowledge Improvement for Transparency and Accountability ) dengan
total bantuan sebesar US$ 2 miliar. Tujuannya adalah untuk meningkatkan
investasi jumlah tenaga kerja berpendidikan rendah di Indonesia untuk menopang
bisnis perusahaan dan terhubung dengan skema fleksibilitas pasar tenaga kerja
dalam sektor perburuhan.
Diatas merupakan berbagai rentetan upaya pelepasan
tanggung jawab negara dalam penyelenggaraan pendidikan tinggi, seaakan belum
cukup karena hingga hari ini baru 16 PTN yang mampu mencapai status PTN BH atau
PTN yang melaksanakan pengelolaan secara otonom baik dalam hal akademik maupun
non akademik sehingga untuk melaksanakan percepatan pelepasan tanggung jawabnya
sehingga dirancanglah satu UU yang akan merpercepat pelepasan tanggung jawab
tersebut.
Pemuda Mahasiswa Bangkit,
Berorganisasi dan Berjuang Melawan Liberalisasi, Privatisasi dan Komersialisasi
Pendidikan
Kondisi rakyat Indonesia dan sektor pendidikan yang
terus dibelenggu oleh intervensi kekuatan keuangan global seperti Bank Dunia
dan IMF melahirkan kondisi krisis yang semakin akut. Liberalisasi, privatisasi
dan komersialisasi pendidikan membuat akses rakyat terhadap pendidikan kian
tertutup. Begitu pula nasib dan masa depan mahasiswa yang terus dibelenggu oleh
skema pendidikan yang menjauhkan dirinya dari realita kehidupan rakyat.
Atas kondisi tersebut dan praktek panjang perjuangan
rakyat Indonesia, maka mahasiswa harus kembali bangkit dan mengambil peranan
aktif dalam mewujudkan demokrasi dan kesejahteraan rakyat. Sejarah telah
memberikan pelajaran bagi mahasiswa, bahwa hanya dengan berjuang maka hak
demokratis rakyat dapat terpenuhi. Bahkan kemerdekaan Indonesia dari tangan
kolonialisme diraih dari hasil perjuangan panjang yang berdarah-darah. Oleh
karenanya, pemuda mahasiswa harus kembali ambil bagian aktif dalam membangun
gerakan di kampus-kampus dan perkotaan. Mahasiswa harus membongkar ilusi
individualisme dalam berjuang dan meraih tujuannya. Hanya dengan berorganisasi
dan membangun organisasi yang sejati dan majulah maka perjuangan kolektif dari
gerakan mahasiswa di Indonesia akan menemui hari depannya.
Tidak sampai disitu, perjuangan organisasi dan gerakan mahasiswa harus pula menyadari pentingnya mempersatukan diri dengan berbagai organisasi sektor rakyat lainnya. Gerakan mahasiswa harus bersatu dengan gerakan buruh, tani, perempuan, serta sektor rakyat tertindas lainnya. Karena persoalan dan masalah pokok dari mahasiswa tetap sama dengan persoalan pokok rakyat Indonesia, yaitu akibat dominasi dan monopoli atas tanah dan keterbelakangan industri di Indonesia. Persoalan tersebut harus diperjuangkan dan dimenangkan secara bersama oleh seluruh rakyat tertindas.
Pada bulan agustus lalu, Pemerintah telah memasukkan draft RUU Sisdiknas ke DPR, kondisi ini tentunya harus menjadi perhatian besar bagi mahasiswa untuk melakukan respon dan menyatakan sikapnya. Seperti sudah diuraikan sebelumnya, bahwa RUU Sisdiknas hanyalah upaya pelepasan tanggung jawab negara terhadap pendidikan. Oleh karenanya, Front Mahasiswa Nasional menyerukan kepada seluruh mahasiswa di Indonesia untuk menyatakan sikap secara bersama bahwa “Gerakan Mahasiswa Menentang Pembahasan RUU Sisdiknas” dan menuntut pemerintah untuk mewujudkan pendidikan yang ilmiah, demokratis dan mengabdi pada rakyat.
[1] Naskah Akademik RUU Sisdiknas, 2022.
[2] Badan Pusat Statistik, 2020. Statistik
Pemuda Indonesia 2020.
[3] Materi Pendidikan Dasar Organisasi FMN, 2017.
[4]Paper Intervensi World Bank dan IMF Dalam Dunia Pendidikan
di Indonesia: Dari Liberalisasi dan
Privatisasi Hingga Intervensi Orientasi Pendidikan, FMN
2018.
Keren analisisnya sangat komprehensif,ditunggu tulisan selanjutnya min 🙌
BalasHapusjunk WTO-WORLD BANK
BalasHapusMantap
BalasHapus