Program Transmigrasi dan Food Estate Papua, Wujud Nyata Fasisme Rezim Prabowo-Gibran !
Kebijakan sepihak pemerintahan Prabowo – Gibran terkait program Transmigrasi di Papua belakangan ini menjadi perbincangan dimana-mana. Letupan protes di tanah Papua maupun di luar papua menjadi penanda kebijakan tersebut mendapat penolakan serius dari warga papua. Hal ini terjadi tidak terlepas dari pengalaman masa lalu warga papua dimana program tersebut sudah pernah di jalanlankan.
Pada masa orde baru, melalui program PRA-PELITA hingga PELITA 7 pemerintah Soeharto menempatkan ribuan transmigran di tanah Papua. Sejak tahun 1967 hingga tahun 2000 terdapat 217 lokasi penempatan transmigran dengan jumlah transmigran sebanyak 78.650 jiwa yang total anggota keluarganya mencapai 306.447 jiwa. Program yang katanya akan membuat warga asli papua mendapatkan pengetahuan atau ilmu baru terutama dalam sistem pertanian, nyatanya tidak sesuai yang diharapkan. Warga asli papua ternyata tidak bisa menyesuaikan diri dengan pola pertanian modern tersebut yang akhirnya membuat warga asli papua semakin mendapatkan perlakuan diskriminatif dan termarjinalkan. Bukannya menciptakan kesejahteraan, program tersebut secara nyata hanya menghilangkan tanah-tanah adat warga asli papua yang kemudian di alih fungsikan menjadi lahan perkebunan skala besar dan industri yang pada akhirnya dimonopoli oleh perusahaan besar milik imperialis dan borjuasi besar komprador.
Pada rezim Prabowo - Gibran, program ini dibuat untuk menyukseskan program swasembada pangan melalui proyek ambisiusnya yaitu Food Estate yang akan menghilangkan hutan seluas 36.000 hektar atau seluas separuh kota Jakarta untuk mencetak sawah dan perkebunan tebu. Sama dengan program transmigrasi, proyek Food Estate juga mendapat penolakan keras dari warga papua terutama masyarakat adat yang mendiami dan menjaga hutan papua. Bukannya mendengarkan keinginan rakyat, presiden Prabowo malah akan tetap menjalankan dan menyukseskan proyek ini. Mereka yang dipersiapkan dan bersedia melakukan transmigrasi bahkan disematkan gelar “Patriot”. Aparat militer seperti TNI dan POLRI juga dipersiapkan untuk mensukseskan proyek tersebut. Bahkan kabarnya, POLRI akan merekrut bintara kompetensi khusus yang dipersiapkan untuk mensukseskan proyek tersebut. Mobilisasi aparat nyatanya hanya akan melahirkan teror dan ketakutan bagi warga asli papua yang secara tegas menolak proyek tersebut dan hendak mempertahankan tanah mereka.
Proyek Ambisius Food Estate yang kembali dijalankan oleh Prabowo adalah proyek yang telah berulang kali terbukti gagal. Selain tidak melalui perencanaan dan kajian lingkungan yang matang, proyek ini juga secara nyata menjauhkan akses kaum tani terhadap sarana produksinya yaitu tanah.
Proyek Food Estate berawal pada masa pemerintahan presiden Soeharto melalui program Bimbingan Masal (BIMAS) seluas 150.000 hektar di Jawa dan luar Jawa pada tahun 1969. Presiden Soeharto bertujuan mewujudkan ketahanan pangan dengan meningkatkan produksi beras dengan melibatkan pengusaha dalam negeri maupun asing. Melalui program ini pula presiden Soeharto memaksa rakyat untuk menyeragamkan makanan pokok mereka menjadi nasi dari yang sebelumnya beragam sesuai dengan produksi pertanian di daerah masing-masing. Tahun 1995, presiden Soeharto kembali mendorong peningkatan produksi pertanian melalui program Proyek Lahan Gambut (PLG) seluas 1.00.000 hektar di Kalimantan Tengah. Namun, proyek tersebut dihentikan pada tahun 1998 oleh presiden B.J. Habibie karena dinilai gagal. Hasilnya, terjadi kerusakan lahan gambut dan kebakaran lahan gambut secara massif pada waktu itu.
Proyek Food Estate kembali dihidupkan oleh presiden SBY pada tahun 2007 melalui mega proyek Merauke Integrated Rice Estate (MIRE) dan Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) pada tahun 2010 yang membutuhkan lahan seluas 1,2 Juta hektar lahan nyatanya hanya mampu dikelola seluas 100 hektar. Program ini dinyatakan gagal karena sebagian besar wilayah yang digunakan dalam proyek ini adalah lahan gambut.
SBY terus mengembangkan mega proyek Food Estate dan pada tahun 2011 SBY kembali membuat program Delta Kayan Food Estate (DEKAFE) di Bulungan Kalimantan Utara dimana proyek ini membutuhkan 50.000 hektar lahan 30.000 hektar akan dipergunakan untuk mencetak sawah dan 20.000 hektar sisanya untuk perkebunan dengan komoditas berbeda seperti kopi, teh, kakao,jagung, dll. Dilanjutkan pada tahun 2013 di Ketapang Kalimantan Barat dengan program mencetak 100.000 hektar sawah. Kedua proyek ini bernasib sama dengan proyek Food Estate sebelumnya yaitu mengalami kegagalan. Selain karena lahan yang tidak sesuai dengan komoditi yang ingin ditanam, banjir yang kerap terjadi juga menjadi salah satu faktor gagalnya proyek tersebut.
Pada Era Presiden Jokowi di periode ke 2 nya, Food Estate bahkan dimasukkan dalam Proyek Strategis Nasional 2020 – 2024. Pada tahun 2020 dengan dalih ketahanan dan cadangan pangan nasional akibat krisis iklim dan wabah covid 19 yang berkepanjangan, presiden Jokowi memprogramkan Food Estate mencetak sawah di Kalimantan Tengah dengan memanfaatkan lahan bekas PLG era Soeharto seluas 30.000 hektar dengan rincian seluas 10.000 hektar berada di Pulang Pisang dan 20.000 hektar di Kapuas. tahun 2021, luasan Food Estate di Kalimantan Tengah meningkat menjadi 60.000 hektar dimana 31.000 hektar lahan di Gunung Mas ditambahkan untuk kemudian ditanami komoditas singkong. Proyek Food Estate yang ditargetkan bisa mencapai 1,4 juta hektar pada tahun 2025 nyatanya gagal ditengah jalan. Perencanaan yang tidak baik dan terkesan dipaksakan menjadi faktor utama kegagalan proyek ini. Selain itu, minimnya keterlibatan masyarakat juga adalah bukti nyata bahwa proyek ini sebenarnya tidak diinginkan oleh masyarakat. Dalam proyek Food Estate Singkong di Gunung Mas yang dipimpin langsung oleh Kementerian Pertahanan, memobilisasi tentara dan pekerja dari luar. Sedangkan Food Estate padi yang dipimpin oleh Kementerian Pertanian, menggunakan konsep modern dan mengenyampingkan metode bertani masyarakat lokal sehingga yang terjadi dilapangan konsep itu tidak cocok diterapkan di lahan yang sebenarnya merupakan lahan gambut dan rentan terjadi banjir. Mirisnya, lahan-lahan yang sebelumnya direncanakan untuk program swasembada / ketahanan pangan oleh presiden Jokowi kini banyak yang terlantar dan ditumbuhi semak belukar parahnya lagi terpantau seluas 274, 67 hektar lahan siap tanam untuk komoditas sawit milik PT. WUL berada di lahan yang sebelumnya di peruntukkan untuk proyek Food Estate yang mengorbankan atau membuka ribuan hektar hutan untuk proyek tersebut.
Setelah kembali mengalami kegagaln di Kalimantan Tengah, bukannya mengevaluasi proyek Food Estate, presiden Jokowi di penghujung masa jabatannya kembali mendorong proyek Food Estate yang kali ini di fokuskan di Merauke Papua Selatan dan saat ini diteruskan oleh penggantinya yaitu Prabowo. Tidak main-main, Food Estate di Merauke direncanakan akan digarap di atas lahan seluas 2,29 juta hektar atau seluas 70 kali kota Jakarta. Proyek ini diperuntukkan untuk perkebunan tebu dan bioetanol seluas 1,11 juta hektar dimana Bahlil ditugaskan untuk menggaet investor untuk menjalankan proyek tersebut. Sisanya untuk program cetak sawah seluas 1,18 juta hektar yang kemudian menggandeng pengusaha kaya raya asal Kalimantan yaitu Haji Isam. Dua proyek inilah yang kemudian melahirkan program transmigrasi ke Papua bahkan akan dimulai dengan memobilisasi aparat militer terlebih dahulu.
Program Transmigrasi ke Papua dan Food Estate sama-sama mendapat penolakan keras dan tidak mendapat dukungan dari rakyat Indonesia terkhususnya warga asli Papua. Sebab mereka telah mengerti bahwa program tersebut sama sekali tidak menjawab problem pokok rakyat terkhususnya kaum tani. Malah sebaliknya, program ini hanya akan melanggengkan monopoli dan perampasan tanah serta memperparah kerusakan lingkungan dan krisis iklim yang lagi-lagi dampaknya buruknya akan kembali ke masyarakat.
Perjalanan panjang proyek Food Estate tidak bisa dipisahkan dari praktek perampasan tanah, sebab lahan Food Estate menghilangkan ratusan ribu bahkan jutaan hektar hutan, tanah ulayat bahkan lahan-lahan produktif rakyat yang kemudian di sulap menjadi lahan-lahan pertanian baru bahkan perkebunan besar yang dimonopoli oleh Negara yang menjelma menjadi tuan tanah. Proyek ini tentunya bukan untuk rakyat, namun pastinya proyek ini akan menarik pendanaan internasional baik berupa investasi maupun utang. Kemudian proyek ini nantinya akan memproduksi bahan mentah untuk kebutuhan industri monopoli pangan dan energy.
Ketahanan pangan yang menjadi jargon rezim berkuasa sejak dulu bahkan menjadi agenda prioritas rezim yang berkuasa hari ini yaitu Prabowo – Gibran merupakan praktek neoliberalisme dimana berfokus pada produksi skala besar yang lahir dari praktek monopoli tanah, ini jelas sangat bertentangan dengan semangat Reforma Agraria Sejati. Yang seharusnya didorong dan diagendakan adalah kedaulatan pangan, yang mengoptimalkan kemampuan maksimal dalam negeri dan meminimalkan ketergantungan atas modal asing. Sehingga rakyat dapat berdaulat sepenuhnya mengolah lahan dan mengembangkan sistem pangan lokal yang cocok dengan kondisi alam yang ada, sehingga kedaulatan pangan menjadi bagian dari upaya mewujudkan Reforma Agraria Sejati.
Posting Komentar untuk "Program Transmigrasi dan Food Estate Papua, Wujud Nyata Fasisme Rezim Prabowo-Gibran !"