Membongkar Mitos Tentang Otonomi Perguruan Tinggi
Ilustrasi/Abhimantara |
Penulis : Dep. Pendidikan & Propaganda FMN Makassar
Otonomi merupakan prasyarat untuk pengembangan ilmu pengetahuan serta tumbuhnya berbagai kreativitas, inovasi, dan pemikiran. Di banyak negara, otonomi melekat sejak sebuah perguruan tinggi didirikan, atau sering disebut sebagai otonomi konstitusional (constitutional autonomy).[1] Dalam dua dekade terakhir, Perguruan Tinggi Negeri semakin didorong untuk Otonom secara full baik dalam hal otonomi akademik maupun otonomi non akademik. Mari kita membedah, apakah otonomi PTN melahirkan manfaat seperti yang dimaksud diatas atau hanya mitos belaka.
1. Pengembangan ilmu pengetahuan serta tumbuhnya berbagai inovasi dan kreativitas
Perguruan Tinggi dinilai sangat sulit/ lambat dalam mengembangkan ilmu pengetahuan serta menumbuhkan kreativits dalam memajukan perguruan tinggi karena masih sangat terikat dengan birokrasi yang panjang sehingga untuk percepatan kemajuan ilmu pengetahuan, kreativitas, inovasi dan tindakan kritis sangat dibutuhkan otonomi agar lebih fleksibel untuk menyesuaikan dengan perkembangan yang begitu pesat.
Pengembangan ilmu pengetahuan, inovasi dan kreativitas tentunya sesuatu yang kita cita-citakan bersama untuk memajukan kebudayaan suatu bangsa. Namun, ternyata itu hanyalah mitos belaka bagi perguruan tinggi yang diberi hak otonom karena baik kampus yang langsung dibawah kementerian terkait maupun yang otonom ternyata masih menghambat kemajuan ilmu pengetahuan yang ditandai dengan banyaknya pelarangan diskusi,[2] represifitas aksi massa dalam kampus[3] bahkan sampai pada pemberian sanksi bagi mahasiswa yang menyampaikan pendapatnya secara terbuka.[4] Ilmu pengetahuan dan kreativitas tentunya tak akan mengalami kemajuan jika dimonopoli oleh satu pihak yang tak ingin membuka ruang diskusi demi kemajuan perguruan tinggi dan ilmu pengetahuan.
Dengan status yang otonom diharapkan mampu melahirkan berbagai inovasi melalui penelitian yang dilakukan oleh dosen-dosen namun faktanya menujjukkan hal sebaliknya seperti yang dikatakan oleh Oki Rahadianto Sutopo salah satu dosen sosiologi UGM bahwa “Ketika penelitian mulai dikooptasi oleh pasar, disinilah integritas dosen dipertanyakan,” ujar Oki. Dia menjelaskan jika adanya orientasi neoliberalisme ini juga memunculkan masalah kemandirian dalam produksi ilmu pengetahuan. Kemandirian, integritas, dan kejujuran dosen menjadi penting karena semua penelitian didasari oleh hipotesis. Bila etos mencari kebenaran dari hipotesis penelitian telah hilang dan digantikan oleh permintaan pasar, maka hal ini jelas akan mempengaruhi hasil penelitian tersebut.[5]
2. Menurunkan biaya kuliah yang ditanggung oleh mahasiswa
Salah satu argumentasi yang digunakan oleh pihak yang mendukung otonomi keuangan perguruan tinggi mengatakan bahwa jika perguruan tinggi diberikan hak otnomi dalam mencari dan mengelola sendiri keuangannya maka biaya kuliah yang ditanggung oleh mahasiswa akan semakin sedikit/murah karena dengan hak otonomi tersebut perguruan tinggi akan semakin leluasa untuk membangun atau mengembangkan usahanya sehingga jika pendapatann dari unit usaha meningkat maka mahasiswa tidak perlu lagi dibebankan biaya kuliah.
Argumentasi diatas hanyalah mitos belaka karena jika kampus diberi hak otonomi keuangan maka bantuan pendanaan dari negara akan semakin dikurangi bahkan dihapuskan karena kampus dinilai mampu menjalankan tri dharma perguruan tinggi tanpa bantuan dari negara, bantuan yang selama ini diberikan oleh negara seperti pembangunan gedung, belanja pegawai (ASN) dan sebagian biaya operasional akan dihilangkan dan harus ditanggung oleh kampus.
Satu-satunya jalan yang akan ditempuh oleh kampus karena dinilai mudah yaitu menaikkan biaya kuliah yang ditanggung oleh mahasiswa, hal itu sejalan dengan kebijakan yang diambil oleh UNHAS dengan terus menaikkan UKT bahkan membebankan uang pembangunan bagi mahasiswa jalur mandiri yang nominalnya tak tanggung-tanggung karena mencapai 200 juta. Data laporan audit unhas 2019 juga menujjukkan sumber pemasukan terbesarnya berasal dari biaya pendidikan mencapai Rp. 332.738.683.954 pada tahun 2018 dan mengalami kenaikan pada tahun 2019 menjadi Rp. 371.635.256.825 sedangkan pendapatan dari unit usahanya pada tahun 2018 sebesar Rp. 89.480.471.820 dan Rp. 104.334.137.286 pada tahun 2019.[6] Data tersebut menunjukkan bahwa sumber pemasukan terbesar dari kampus berasal dari mahasiswa bahkan 3 kali lipat dari pendapatan unit usahanya.
Singkatnya, kehadiran otonomi non akademik lebih banyak mudharatnya ketimbang manfaatnya. Meningkatnya biaya kuliah secara drastis, praktek nepotisme akan semakin massif dan pembungkaman demokrasi serta kampus yang akan semakin jauh dari realita sosial masyarakat dan akan menjadi menara gading yang terpisah dari masyarakat.
Percepatan kampus khususnya Perguruan Tinggi Negeri menuju otonomi semakin dimassifkan melalui RUU Sisdiknas sehingga pemuda mahasiswa harus bangkit dan terus berjuang menentang RUU tersebut dan mendorong terwujudnya pendidikan yang ilmiah, demokratis dan mengabdi pada rakyat.
PEMUDA
MAHASISWA BANGKIT, BERORGANISASI DAN BERJUANGLAH!!
[1] D.K. McKnight, University of Minnesota Constitutional Autonomy,
Oktober 2004, halaman 1.
[2] Haris Prabowo,"Diskusi di Kampus Unud Dibubarkan Paksa Sehari sebelum KTT G20", https://tirto.id/gyAS(diakses pada tanggal 27 Nov. 2022 Pukul 17.55 WITA)
[3] Darul Amri Lobubun, "Detik-detik Rektor Unhas Bubarkan Aksi Mahasiswa di Gedung Rektorat" https://www.youtube.com/watch?v=PDRbH6uT9H0, (diakses pada tanggal 27 Nov. 2022 Pukul 17.55 WITA)
[4] St. Reski Amalia, "Gara-gara Aksi, Enam Mahasiswa FE UNM Kena Skorsing" https://profesi-unm.com/2018/07/11/gara-gara-aksi-enam-mahasiswa-fe-unm-kena-skorsing/ (diakses pada tanggal 27 Nov. 2022 Pukul 17.55 WITA)
[5] Anisa Azmi, M. Affan Asyraf, Han Revanda Putra "Dilema Penelitian Dosen Indonesia di Tengah Agenda Neoliberal" https://www.balairungpress.com/2019/11/dilema-penelitian-dosen-indonesia-di-tengah-agenda-neoliberal/ (diakses pada tanggal 28 Nov. 2022 pukul 11.15)
[6] Laporan
keuangan untuk tahun yang berakhir 31 desember 2019 dan 2018 dan laporan
auditor independen, tahun 2019.
Posting Komentar untuk "Membongkar Mitos Tentang Otonomi Perguruan Tinggi"