AS-TIONGKOK DAN OPERASI CULAS “PERDAMAIAN DUNIA”
Seperti yang kita ketahui, konflik intra-Imperialis, selalu mampu menyulut krisis dan penderitaan berkepanjangan bagi rakyat dunia. Untaian derita angkara murka ini selalu digagas dengan platform yang dibangun bertahun-tahun sebelumnya. Bak pertunjukan teater, rakyat duduk seperti penonton: melihat, mendengar, namun tidak berperan di atas panggung. Kendati demikian, pentas teater tersebut menghadirkan dua pemeran antagonis: Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok.
Sejak tahun 2013 saat Xi Jinping didapuk sebagai presiden baru, Tiongkok memulai babak baru pembangunan kontrol dan dominasi ekonomi-politik global melalui gagasan program Belt and Road Initiative (BRI) atau jalur sutra abad 21. Yaitu program ekspor kapital asing yang dilakukan melalui penanaman modal di seluruh negeri; Dirangkai dalam area geopolitik yang saling terhubung dan linear mulai dari Asia sampai ke Eropa Barat. Gagasan tersebut tentunya merupakan cara Tiongkok untuk menyampaikan pesan kepada AS sebagai pimpinan Imperialisme; Bahwa Tiongkok menuntut pembagian kekuasaan dunia.
Beberapa negara yang dijahit dalam area investasi BRI, juga dilibatkan oleh Tiongkok secara aktif dan terbuka untuk “pasang badan” mengamankan kapital dan berhadapan dengan negara-negara boneka AS sekalipun harus memantik konflik bersenjata. Sebagai contoh, perang antara Rusia-Ukraina yang “dibungkus” dalam wacana pertentangan pengaruh politik aliansi militer The North Atlantic Treaty Organization (NATO) melawan romantisme negara ex-Uni Soviet. Sejatinya, perang tersebut merupakan tirai pertama metamorfosis perang proxy antara AS dengan Tiongkok.
Rasanya lazim bagi negara Imperialis; Ekspansi teritori NATO adalah upaya AS untuk memperluas sayap politiknya demi menampik ancaman porak-poranda dominasi BRI dan program turunannya. Mahalnya biaya perang akhirnya membuat AS menggunakan Ukraina sebagai barikade depan yang dikontrol di Uni Eropa (UE). Di sisi lain, UE yang tergabung dalam NATO juga diminta oleh AS untuk menyokong pertahanan Ukraina. Namun karena ketergantungan 40%-50% gas alam, beberapa anggota UE utamanya Jerman dan Italia tidak menampilkan kekompakan aliansi militer tersebut.
Hal ini akhirnya memaksa AS untuk memberikan bantuan militer kepada Ukraina secara langsung senilai USD 66,5 miliar (Rp 1 kuadriliun), tiga Baterai dan Amunisi Pertahanan Udara Patriot; 12 sistem rudal NASAMS; Sistem Pertahanan Udara dan Amunisi HAWK; Rudal AIM-7, RIM-7, dan AIM-9M; 3.000 rudal anti pesawat Stinger; Drone dan Truk Senjata c-UAS; Amunisi VAMPIRE.[1]
Namun setelah 750.000[2] nyawa rakyat tak bersalah mati sia-sia, konflik tersebut berakhir saat AS melakukan manuver politik yang membahas perdamaian Rusia-Ukraina pada 18 Februari 2025. Forum tersebut dimediasi oleh Pangeran Salman dan dihadiri oleh Menlu AS Marco Rubio dan Menlu Rusia Sergei Lavrov di Riyadh. Meskipun demikian, yang mengambil perhatian sejatinya bukan pada inisiatif Pangeran Salman yang berupaya menjadi penengah atau menciptakan suasana sejuk nan damai antara juragan NATO dengan Rusia yang sebelumnya sempat bersitegang. Namun lebih pada fakta, bahwa forum tersebut tidak melibatkan Ukraina dan UE sebagai negara dan kawasan yang paling terimbas perang proksi Rusia-Ukraina.
Perubahan posisi AS yang mendekat ke Rusia akan mengubah keseimbangan pengaruh politik di Eropa. Pendekatan AS ke Rusia jelas mengoyak-koyak posisi Ukraina. Namun, justru itu yang diinginkan oleh AS. Sebab dengan melemahnya dukungan untuk Ukraina akibat berubahnya sikap AS yang berpihak ke Rusia, perang Rusia-Ukraina bisa lebih cepat berakhir. Hal ini lantas menimbulkan pertanyaan: mengapa AS ingin perang Rusia-Ukraina segera diselesaikan?
Kenyataan ini sejatinya cukup mencuri perhatian. Karena pada faktanya, platform tarik-ulur politik yang dilakukan oleh AS memiliki kemiripan dengan konflik perang 12 hari Iran-Israel. Setelah seluruh serangan dilancarkan bertubi-tubi sejak 13 Juni oleh kedua belah negara tersebut, pada tanggal 21 Juni AS justru secara terbuka terlibat langsung dalam konflik Iran-Israel dengan membombardir tiga fasilitas nuklir milik Iran di Teheran: Isfahan, Natanz, dan Fordow.
Setelah tiga fasilitas nuklirnya dibombardir, Parlemen Iran akhirnya mengumumkan bahwa negaranya akan segera menutup Selat Hormuz; Selat yang menangani 30% pengiriman minyak global. Meskipun ajuan tersebut masih menunggu keputusan dewan keamanan nasional, AS harus menelan sepercik ancaman. Ditutupnya selat Hormuz yang mampu memicu fluktuasi harga minyak Brent USD 73 hingga USD 92 dollar AS per barel, serta potensi kenaikan harga 15-20%[3] pada 2025 cukup membuat AS mengalami satu pukulan telak di timur tengah. Hingga pada tanggal 22 Juni, Menlu AS Marco Rubio meminta Tiongkok untuk segera menghubungi Iran untuk membatalkan inisiasi blokade Selat Hormuz.
Setelahnya, pada tanggal 24 Juni, tepatnya tiga hari setelah AS membombardir Iran, Presiden AS Donald Trump mengklaim bahwa Iran-Israel ingin “berdamai”. Namun, Iran belum membuat kesepakatan apapun dengan AS maupun Israel perihal gencatan senjata. Dalam kesempatan ini, AS seakan menjambak Iran untuk patuh pada klaimnya: segera berdamai dan patuh pada tawaran gencatan senjata. Tuntutan ini disampaikan setelah cibiran tentang Presiden Iran Ayatollah Khomeini dilayangkan di akun Social Truth milik Trump sendiri pada tanggal 18 Juni yang mengolok sekaligus meminta Iran menyerah tanpa syarat.
Akhirnya pada tanggal 25 Juni, AS-Iran-Israel sepakat menandatangani gencatan senjata selama 12 hari. Tepat beberapa hari setelah Iran menembakkan rudal ke pangkalan militer AS di Qatar. Inisiatif ini seakan tidak lazim dilakukan oleh AS. Pasalnya, alih-alih merawat konflik di timur tengah sebagai area empuk dan kaya sumber daya untuk dieksploitasi, AS justru menginginkan Iran-Israel segera berdamai. Setelah 627 jiwa tewas dan 4.870 jiwa mengalami luka berat, pagelaran teatrikal berdarah ini berakhir, namun melahirkan pertanyaan yang sama: mengapa AS ingin segera menyelesaikan konflik Iran-Israel?
Populisme Trump: Mendamaikan, Menyatukan, Mempersiapkan, Menyerang Kemudian
Perlu diketahui, sejak 20 Januari 2025, saat kali kedua Donald Trump dilantik sebagai Presiden AS, Trump berangan untuk menyelesaikan badai krisis yang sedang dialami oleh negeri Imperialis itu. Sekaligus membangkitkan kembali dominasi AS terhadap Tiongkok.
Sejak tahun 2024, utang sebesar USD 35,5 triliun[4] (Rp.575 kuadriliun) yang setara dengan 123% PDB nya sendiri merupakan ancaman serius bagi AS. Selain itu, melemahnya produksi industri dalam negeri juga menyulut trend finansialisasi dan deindustrialisasi di AS. Jumlah dan konsumsi produk impor di AS lebih banyak daripada produk dalam negeri, akhirnya membuat neraca pendapatan AS tidak seimbang dan banyak pabrik melakukan offshoring karena kalah tarung dengan produk impor. Fenomena ini bermuara pada kenyataan pahit bahwa terdapat 1,7 juta orang menganggur selama lebih dari 27 minggu sejak Oktober 2024:[5] tenaganya tidak dibutuhkan karena tidak ada tuntutan industri kapitalis monopoli yang membutuhkan tenaga kerja yang banyak. Selain itu, sekalipun industri dalam negeri masih berdiri, hampir seluruh industri di AS sudah menggunakan alat kerja serba otomatis berbasis Artificial Intelligence (AI).
Baginya, momok petaka ini yang akhirnya mendorong Trump untuk menggagas platform politik proteksionis bernama America First dan Make America Great Again (MAGA). Yaitu doktrin politik dengan semangat sovinis, pragmatis, dan tentunya anti Tiongkok. Visinya adalah mengembalikan kejayaan industri manufaktur AS di tanahnya sendiri dan menghambat perkembangan kekuatan kapitalis monopoli lainnya. Trump menjalankan revitalisasi hegemoni AS agar dapat mengembalikan martabat dan pengaruh negerinya sebagai negara super power tunggal dunia.
Secara sepihak, AS meninggalkan Perjanjian Paris yang dinilai tidak adil bagi bisnis dan klas pekerja AS; Meninggalkan WHO; Merombak perjanjian dagang dengan Kanada dan Meksiko; Meningkatkan eskalasi perang dagang dengan Tiongkok; Hingga menyelesaikan keterlibatan perang dan konflik bersenjata non pokok, utamanya di Eropa dan Timur Tengah. Seluruh rentetan upaya tersebut dirajut dalam satu misi, yaitu efisiensi dan efektifitas.
Tak heran mengapa Trump ingin cepat menyelesaikan perang di Rusia-Ukraina: karena harga konflik di sana sangatlah mahal. Berbeda jauh dengan platform Joe Biden sebelumnya, rezim proteksionis Trump bertujuan untuk mengedepankan penghematan di tengah krisis yang sedang bersarang di dalam negerinya dengan cara-cara yang pragmatis. Alih-alih menyeret Ukraina ke dalam NATO agar jauh dari pengaruh Tiongkok sebagai strategi politik, Trump memilih berdamai dengan Rusia serta menghentikan donor dan bantuan militer ke Ukraina.
Begitu pula di Iran-Israel yang hanya berlangsung 12 hari saja, itupun setelah AS menghujani rudal B-2 yang menyasar tiga stasiun nuklir milik Iran. Tujuan praktisnya hanya untuk memberikan sinyal “peringatan” kepada Khomeini agar menyudahi serangan balasan terhadap Israel. Karena dalam hal ini, AS ingin segera mendamaikan konflik diantara kedua belah negara tersebut.
Yang justru menyorot perhatian adalah saat Israel turut terlibat dalam wacana perdamaian AS melalui papan reklame yang dipasang di Tel Aviv pada tanggal 25 Juni lalu. Papan Reklame tersebut bertuliskan “The Abraham Alliance: It’s Time for a New Middle East” yang turut memuat foto Donald Trump, Benjamin Netanyahu, dengan bersama para pemimpin negara timur tengah, salah satunya adalah Kepala Negara Palestina Mahmoud Abbas.
Wacana Aliansi Abraham Shield adalah koalisi keamanan regional yang digagas oleh Israel untuk mewujudkan perdamaian di timur tengah setelah seluruh perang berjilid-jilid telah menelan jutaan korban jiwa. Melalui slogan “With Crisis, Comes Opportunity”, Inisiasi ini tentunya tidak lepas dari misi AS untuk menyelesaikan perhelatan panggung teatrikal peperangan di timur tengah yang tak berkesudahan. Maka sejatinya, lanskap politik ini merupakan rekayasa yang dibangun oleh AS untuk menempuh proyek besar yang tak lepas dari tujuan utamanya: Menyelesaikan krisis dalam negeri dan menghunuskan taring kepada Tiongkok.
Manuver politik ini cukup mengejutkan. Pasalnya, AS sangat tergesa-gesa untuk membangun situasi perdamaian di negara-negara yang sebelumnya pernah ia adu domba. Lantas apa yang sedang direncanakan oleh Trump?
Meninjau pernyataan yang diberikan oleh Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth yang dimuat oleh Reid Standish dalam kanal media Radio Free Europe (RFE),[6] terdapat kemungkinan bahwa AS akan berfokus pada kawasan di Asia-Pasifik. Melaksanakan kebijakan ‘Membendung Tiongkok’ dan mulai meninggalkan Eropa Timur dan Timur Tengah, dan mulai berfokus pada kawasan Asia-Pasifik untuk langsung menghadang Tiongkok.
AS membangun rencana tersebut secara bertahap dan cukup terselubung. Mulai dari pembentukan aliansi AUKUS; Kerjasama Trilateral AS-Jepang-Filipina; Patroli USS Nimitz (CVN-68) di Selat Malaka, Hingga pembukaan kantor markas penghubung NATO di Tokyo. Ketegangan antara Taiwan-Tiongkok dan Laut China Selatan (LCS) dinilai oleh banyak analis geopolitik sebagai bagian dari strategi AS untuk menahan gerak laju pengaruh Tiongkok di Asia-Pasifik.
Indonesia: Menunggu Meledaknya Bom Waktu
Kompleksitas lanskap politik ini sejatinya cukup menggetarkan radar ancaman kedaulatan negeri bagi Indonesia. Pasalnya, ekonomi-politik Indonesia dipengaruhi dan berpihak kepada dua negara Imperialis. Seluruh agenda pembangunan ekonomi di Indonesia ditopang oleh dua “bendungan modal” besar yang saling bertentangan: Asian Infrastructure Investment Bank (AIIB) milik Tiongkok dan World Bank milik PBB yang rantai politiknya diikat dan dipengaruhi oleh AS. Wujud modal tersebut dapat dilihat dari berdirinya ratusan industri manufaktur dan ekstraktif; pembangunan pariwisata premium; serta penguasaan lahan untuk perkebunan, perhutanan, dan tambang skala besar.
Seluruh agenda pembangunan ini tidak sama sekali berasal dan melahirkan kapital nasional. Faktanya, seluruh kapital yang berputar merupakan bagian dari kapital asing; mulai dari proses penanaman modal hingga muara pendapatan nasional. Kenyataan pahit ini harus ditelan oleh rakyat Indonesia, yang tak pernah mengetahui bahwa lini kehidupannya dikungkung oleh intervensi kapital asing.
Apabila Indonesia berdiri di antara AS dan Tiongkok, maka Indonesia akan menjadi negara yang diperebutkan oleh kedua belah negara Imperialis tersebut. Tentu demikian, pasalnya, tidak ada Imperialis yang ingin membagi dua “kue kekuasaan” dengan Imperialis lainnya. Negara Imperialis akan mengupayakan segala cara agar Indonesia terseret dan berpihak secara penuh kepadanya serta menanggalkan pengaruh Imperialis lainnya. Dalam proyeksi yang paling maksimal, perebutan pengaruh Imperialis yang saling berlawanan di dalam negara boneka ini akan sangat antagonistik.
Tidak seperti konflik perbatasan yang sedang dialami oleh Taiwan-Tiongkok atau Kamboja-Thailand, potensi strategi perebutan pengaruh di Indonesia akan mirip dengan upaya perebutan pengaruh Imperialis di Myanmar: Junta Militer yang didalangi oleh Tiongkok melawan gerakan anti rezim militer yang sebagian besar disokong oleh AS. Besar kemungkinan pola ini dilakukan. Pasalnya, Indonesia memiliki karakter politik yang mirip dengan Myanmar (sebelum Junta militer hadir): tidak memiliki konflik bersenjata di perbatasan-perbatasan negara dan eksisnya proses aktivasi tentara nasional yang mulai masuk dalam ketatanegaraan.
Yang perlu diantisipasi adalah upaya Prabowo Subianto untuk melakukan berbagai pengaturan ulang kebijakan guna menyikapi tindakan salah satu Imperialis kelak. Terdapat potensi penambahan jumlah rekrutmen komponen-komponen paramiliter dan infanteri dalam bungkus wacana “situasi darurat/genting”. Bersamaan dengan itu, seluruh lini politik, ekonomi, dan kebudayaan akan diintervensi dua hingga empat kali lipat dari sebelumnya.
Selain itu, akumulasi kapital yang berasal dari surplus komoditi akan dikencangkan. Ekspansi lahan pertanian, perkebunan, dan perhutanan skala besar yang berasal dari agenda perampasan lahan. Tujuannya tentu untuk mengejar target Rp139,4 triliun ketahanan pangan[7] dan menambah jumlah ekspor komoditi perhutanan tiga kali lipat dari USD 3,5 miliar.[8] Meskipun demikian, upaya tersebut adalah solusi semu yang tidak dapat menjawab akar permasalahan rakyat Indonesia utamanya kaum tani dan buruh perkebunan, justru menjerumuskan hari depannya.
Tak menutup kemungkinan, penghisapan terhadap klas buruh oleh industri-industri manufaktur di Indonesia juga akan semakin menajam. Perlu diketahui, bagi industri manufaktur bercorak kapitalisme penghisapan adalah syarat untuk menyelamatkan pabrik-pabrik yang terancam pailit. Hingga saat ini, terdapat 4 juta buruh industri yang terpukul oleh Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal pasca Sritex Group memutus 11.025 kontrak kerja buruhnya. PHK massal tersebut disebabkan karena banyak pabrik tidak mampu merelakan 70% kapital asing yang menopang aktivitas industrinya pulang kembali ke negara asal: AS, setelah negeri paman sam tersebut menerapkan repatriasi kapital pada periode yang sama saat kebijakan proteksionisme diterapkan oleh Trump.
Anjloknya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sebesar 9,19%[9] hingga trading halt yang disebabkan kekhawatiran para pemodal asing terhadap birokrasi pemerintahan yang akan segera multi-polar sejak pengesahan RUU TNI dibahas dan direncanakan akan disahkan tanpa keterlibatan partisipasi publik telah mengajarkan kita. Jika konflik bersenjata terjadi, niscaya para Pemodal Asing akan berpikir dua kali untuk menanam modal di Indonesia. Investor macam apa yang ingin menanam (dan mempertahankan) modal di negeri yang sedang problematis dan dilanda porak-poranda ketegangan militer?
Seluruh sketsa ini sejatinya lahir jika salah satu Imperialis berhasil menyeret Indonesia ke dalam liang lahat rekayasa konflik bersenjata. Apabila Imperialisme sedang berperang dan karenanya membuat negeri tersebut porak-poranda, maka yang akan dialami oleh negeri bonekanya adalah penderitaan berdarah-darah. Niscaya demikian yang akan dialami oleh Indonesia. Sebabnya adalah karena Indonesia selalu berdiri di bawah topangan kapital asing sehingga agenda ekonomi, politik, dan kebudayaan nasional mudah untuk dikontrol, diintervensi, dan dimanipulasi.
Ini adalah dampak dari enggannya Indonesia untuk membangun Industri Nasional sejak dini yang bebas dari intervensi asing. Demikian juga, memilih berpaling untuk mewujudkan Reforma Agraria Sejati. Alih-alih demikian, Indonesia justru mempercayai Imperialisme untuk mendukung program pembangunan bangsa. Over trust tersebut akhirnya membuat Imperialisme melakukan operasi kasat mata assassination membabi buta bangsa.
[1] AS Rilis Sejumlah Bantuan Militer yang Diberikan ke Ukraina, Ini Daftarnya
[2] Korban Melebihi Populasi Yogya, Rusia Bertahan? - PinterPolitik.com
[3] Iran-Israel Conflict Threatens National Industry
[4] INFOGRAFIK: Peringkat Utang AS Turun Terseret Beban Fiskal - Infografik Katadata.co.id
[6] China Hunts For Opportunities In Europe And Taiwan After Ukraine Diplomacy Goes Awry
[7] Rp139,4 Trilyun untuk Ketahanan Pangan: Prioritas 2025
[8] KLHK: Kinerja ekspor hasil hutan menunjukkan tren positif di awal 2024 - ANTARA News
[9] IHSG Dibuka Turun 9,19%, BEI Langsung Berlakukan Trading Halt
Posting Komentar untuk "AS-TIONGKOK DAN OPERASI CULAS “PERDAMAIAN DUNIA”"