Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sesat Pikir "Wahabi Lingkungan” Ulil

Penulis : Wahyu Chandra | Jurnalis Mongabay Indonesia



Di tengah dunia yang diguncang oleh krisis iklim, krisis pangan, dan krisis air bersih, suara-suara yang menyerukan perlindungan terhadap bumi justru kerap disudutkan. Salah satu pernyataan yang menuai kontroversi datang dari Ulil Abshar Abdalla, tokoh publik yang identik dengan diskursus keislaman progresif Nahdlatul Ulama. Ia melabeli aktivis lingkungan sebagai “wahabi lingkungan”—sebuah frasa yang pada permukaan mungkin dimaksudkan sebagai kritik atas sikap ekstrem, namun dalam praksisnya justru menjadi alat delegitimasi terhadap perlawanan yang lahir dari realitas keterdesakan ekologis.


Pernyataan ini bukan sekadar sembrono, tapi mengandung kecenderungan yang lebih dalam: upaya untuk mendisiplinkan ruang publik yang semakin dipenuhi oleh narasi ekologis dari akar rumput. Dalam konteks ini, Ulil tidak sedang berargumen, ia sedang memproduksi ulang hierarki wacana. Ia berdiri di atas podium otoritas moral dan intelektual, lalu menunjuk mereka yang di bawah dengan tudingan simplistik yang mengabaikan kompleksitas realitas.


Dalam Weapons of the Weak, James C. Scott menunjukkan bagaimana kelompok subordinat melawan dominasi melalui strategi-strategi kecil yang tidak selalu terlihat: gosip, ejekan, kepatuhan semu, atau sabotase diam-diam. Perlawanan ekologis yang kini muncul dari komunitas-komunitas petani, nelayan, dan masyarakat adat merupakan bentuk nyata dari senjata lemah itu. Mereka tidak punya media besar, tidak punya pendanaan korporat, tidak menulis buku tebal. Tapi mereka punya ketekunan, kekesalan, dan penderitaan kolektif yang membentuk kesadaran ekologis sebagai jalan hidup.


Tudingan “wahabi lingkungan” seolah-olah menyamakan semua bentuk militansi ekologis sebagai fundamentalisme. Ini adalah kekeliruan epistemik sekaligus kekeliruan etik. Sebab mereka yang memprotes pembabatan hutan, pencemaran sungai, dan penghancuran gunung tidak sedang menyebar sesuatu yang dianalogikan sebagai ‘faham keagamaan radikal’, tapi sedang mencoba bertahan hidup. Kalau pun mereka punya “iman,” itu adalah iman ekologis—yang lahir dari tubuh yang sakit oleh debu tambang dan paru-paru anak-anak yang rusak karena PLTU.


Pandangan semacam itu juga gagal melihat dimensi sejarah dan politik dari perjuangan lingkungan. Teori kritis seperti yang dikembangkan Adorno dan Horkheimer mengingatkan bahwa ideologi bisa menjadi alat dominasi yang menyamar sebagai kewajaran. Dalam konteks ini, kritik Ulil menyatu dalam logika ideologis yang membungkus kehancuran ekologis sebagai harga sah dari pembangunan dan kemajuan.


Kita bisa memperluas kritik ini dengan pandangan John H. Bodley dalam Victims of Progress. Dalam buku itu, Bodley menjelaskan bagaimana masyarakat-masyarakat lokal sering dikorbankan atas nama kemajuan yang ditentukan oleh logika kapitalisme dan negara. “Kemajuan,” dalam banyak kasus, adalah proses sistematis mengorbankan komunitas kecil untuk memenuhi selera produksi dan konsumsi global. Mereka yang diusir dari tanah adatnya, yang airnya diracuni limbah tambang, yang anaknya mati karena pencemaran udara—adalah korban dari narasi kemajuan itu sendiri.


Aktivis lingkungan yang berdiri bersama masyarakat korban ini justru sedang mencoba membongkar mitos “progres” itu. Mereka menunjukkan bahwa tidak semua jalan menuju masa depan harus menabrak martabat manusia dan kelestarian alam. Tuduhan bahwa mereka adalah “wahabi” dalam artian radikal dan intoleran, sama artinya dengan menyamakan penderitaan dengan fanatisme. Ini adalah kekeliruan logika dan ketidakpekaan etis yang berbahaya.


Ulil barangkali merasa bahwa ia sedang meluruskan arah perjuangan. Namun justru di sinilah bahayanya: ketika suara elite religius meremehkan atau menertawakan aspirasi ekologis, maka legitimasi masyarakat untuk menuntut keadilan ekologis menjadi lemah. Dalam istilah Pierre Bourdieu, ini adalah benturan antara habitus dominan dengan habitus alternatif yang sedang tumbuh dari bawah. Ketika ranah simbolik dikendalikan oleh segelintir elite, maka narasi lingkungan dari kelas subaltern menjadi mudah dicap sebagai “keliru,” “radikal,” bahkan “sesat.”


Padahal, seperti dicontohkan dalam banyak studi etnografi, masyarakat adat telah jauh lebih lama hidup selaras dengan alam ketimbang para teknokrat pembangunan. Dalam hal ini, kita justru perlu meminjam pemikiran dari ekoteologi Islam—seperti yang dikembangkan oleh Seyyed Hossein Nasr—yang menyatakan bahwa hubungan manusia dengan alam adalah hubungan spiritual, dan perusakan terhadap bumi adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanah Tuhan.


Pernyataan Ulil juga bisa dibaca dalam kerangka reciprocal aggression dalam teori psikologi sosial—yakni sebuah bentuk reaksi agresif terhadap ancaman simbolik yang dirasakan dari kelompok yang lebih lemah secara struktural, namun semakin vokal secara politik. Ketika aktivis lingkungan berhasil merebut ruang moral dalam diskursus publik, mereka menjadi ancaman baru terhadap tatanan simbolik yang selama ini dikuasai elite.


Namun pertanyaannya, apakah suara dari komunitas akar rumput memang layak dipandang sebagai ancaman? Atau justru mereka adalah penyeimbang yang dibutuhkan dalam dunia yang semakin tidak pasti? Naomi Klein pernah menyatakan bahwa krisis iklim bukan sekadar akibat dari karbon di udara, tapi juga hasil dari sistem ekonomi yang membiarkan eksploitasi tanpa batas. Dalam konteks ini, aktivisme lingkungan bukan sekadar gerakan moral, tapi panggilan untuk menyelamatkan dunia dari logika kehancuran.


Kita bisa bertanya balik: siapa sebenarnya yang ekstrem?


Mereka yang menjaga sungai tetap bersih, atau mereka yang mengizinkan korporasi mencemari lingkungan demi devisa negara? Siapa yang fanatik: petani yang mempertahankan tanahnya, atau negara yang memaksakan tambang dengan aparat bersenjata?


Kritik terhadap aktivisme lingkungan hanya akan relevan jika dilakukan dari posisi empati, bukan dari mimbar moral yang justru menertawakan penderitaan. Dan kritik semacam itu harus dilandasi kesadaran bahwa bumi ini adalah rumah bersama—bukan hanya bagi manusia, tapi juga bagi generasi yang belum lahir.


Daripada menuduh para penjaga hutan dan pelindung sungai sebagai “wahabi,” mungkin kita perlu menengok diri kita sendiri: apakah kita sudah cukup berani melawan sistem yang menghancurkan bumi, atau kita justru berdiri di balik tameng agama dan intelektualitas untuk membungkam mereka yang paling menderita?

Posting Komentar untuk " Sesat Pikir "Wahabi Lingkungan” Ulil"