Memahami Fasisme: Akar Sejarah, Perkembangan dan Bagaimana Melawannya Hari ini
Di tengah abad ke-21 yang serba digital dan serba cepat ini, kita hidup dalam dunia yang secara kasat mata tampak aman bahkan stabil. Demokrasi liberal menjadi sistem dominan di banyak negara dan institusi global seperti PBB atau Uni Eropa tampaknya cukup mapan menjaga keteraturan dunia. Namun jika kita menajamkan pandangan, ada yang bergerak diam-diam di bawah permukaan. Gelombang baru tengah tumbuh dan kali ini bukan hanya dalam bentuk perang atau kudeta militer, tapi melalui kotak suara, algoritma media sosial, dan bahasa patriotisme yang dibungkus ketakutan.
Kita hidup di masa di mana semakin banyak negara dipimpin oleh pemimpin berhaluan kanan konservatif yang secara terbuka mengkritik pluralisme, meremehkan kebebasan sipil, dan mengusung nasionalisme eksklusif. Fenomena ini tidak hanya terjadi di satu dua negara, ia menjalar hampir ke seluruh benua. Di Italia, Georgia Meloni memimpin pemerintahan yang dalam banyak aspek menghidupkan kembali pada semangat lama Benito Mussolini. Partai-nya, Fratelli d'Italia bahkan menggunakan simbol yang berasal dari era fasis Italia. Di Amerika Serikat, Donald Trump dengan jargon megahnya menjadi representasi populisme sayap kanan modern dengan retorika yang sering menyerang pers, lembaga peradilan, serta kelompok minoritas. Di India, Perdana Menteri Narendra Modi dan Partai Bharatiya Janata dikenal dengan nasionalisme Hindu yang telah memarginalkan Muslim dalam banyak kebijakan. Sementara di Hungaria, Viktor Orban secara terang-terangan menyatakan bahwa demokrasi liberal telah usang dan menggantinya dengan konsep demokrasi liberal yang lebih otoriter dan eksklusif. Fenomena ini bukan hanya bersifat elitis atau top down, ia juga menemukan gaungnya di kalangan rakyat biasa. Paling mengejutkan di kalangan anak muda, di ruang-ruang digital seperti TikTok, YouTube, dan forum-forum daring muncul komunitas muda yang mulai meromantisasi simbol-simbol fasis mulai dari swastika hingga slogan rasis. Di beberapa negara, survei menunjukkan bahwa anak muda yang merasa kecewa pada demokrasi justru mulai melihat sistem otoriter sebagai solusi cepat untuk kompleksitas zaman. Lalu pertanyaannya, apakah ini hanya nostalgia masa lalu atau ada sesuatu yang lebih dalam sedang bangkit? Untuk menjawabnya, mari kita menyelam lebih dalam pada apa yang sebenarnya dimaksud dengan fasis.
Fasisme secara sederhana adalah sebuah ideologi politik ekstrem kanan yang lahir dari krisis, baik krisis ekonomi, identitas, maupun eksistensial suatu bangsa. Tapi fasisme bukan sekadar sistem pemerintahan otoriter. Ia adalah gerakan totalitarian yang berusaha membentuk masyarakat baru berdasarkan kepatuhan mutlak terhadap negara dan pemimpinnya. Sejarawan Robert Paxton dalam bukunya yang berjudul The Anatomy of Fascism (2004) mendefinisikan fasisme bukan dari doktrin tertulisnya, melainkan dari perilaku politiknya. Dalam bukunya, Paxton menyatakan fasisme adalah bentuk mobilisasi politik yang mengandalkan nasionalisme ekstrem, pemujaan kekerasan, penolakan terhadap pluralisme, serta keyakinan bahwa satu pemimpin yang kuat adalah solusi tunggal bagi bangsa.
Fasisme memang selalu bersifat performatif. Ia tidak datang dengan dalil-dalil filsafat yang mapan atau teori politik yang kompleks. Ia datang sebagai aksi radikal, teatrikal, penuh simbol dan momentum. Ia membangun kekuatan politiknya melalui konflik dengan memunculkan musuh bersama dan menawarkan harapan palsu tentang kejayaan masa lalu yang konon akan kembali. Seperti yang dikatakan di awal, fasisme bukan sekadar ideologi. Ia adalah cara memobilisasi perasaan, perasaan amarah, nostalgia, ketakutan, dan hasrat untuk tunduk pada satu suara tunggal. Untuk membentuk persepsi yang utuh tentang apa itu fasisme, sejumlah ciri khas dapat dikenali dan diulang di berbagai konteks sejarah sebagai berikut:
1. Fasisme selalu ditandai dengan pengkultusan terhadap pemimpin karismatik. Seseorang yang dianggap sebagai penyelamat bangsa, pemilik suara rakyat yang sejati, bahkan nyaris tidak tergantikan. Figur ini bukan sekadar pemimpin politik, tapi simbol absolut dari kehendak kolektif yang dikonstruksi.
2. Fasisme bersifat anti demokrasi. Ia menolak pluralisme, menindas kebebasan pers, dan mengabaikan prinsip checks and balance. Pemilu mungkin tetap diselenggarakan, namun sebatas seremoni untuk mengukuhkan kekuasaan, bukan arena pertarungan gagasan.
3. Nasionalisme ekstrem menjadi jantung dari ideologi fasis negara dan bangsa. Diperlakukan sebagai entitas suci yang harus diselamatkan dari pengkhianat dalam negeri maupun musuh asing.
4. Fasisme mengagungkan militerisme dan kekerasan. Ketertiban, kemurnian, dan kejayaan dianggap hanya bisa ditegakkan dengan disiplin keras dan kekuatan koersif. Dalam pandangan ini, kekerasan bukan sesuatu yang harus dihindari, melainkan dibenarkan sebagai alat pemurnian sosial.
5. Fasisme selalu menciptakan musuh bersama. Yahudi, imigran, komunis, liberal, LGBT, minoritas agama. Siapapun bisa dijadikan kambing hitam atas segala kegagalan dan kecemasan kolektif. Musuh bersama ini tidak selalu nyata, namun dikonstruksi secara berulang agar rasa takut dan kebencian terus terpelihara.
6. Fasisme bercita-cita mengontrol total kehidupan publik, pendidikan, media, seni, bahkan olahraga tidak luput dari pengaruhnya. Semua dipakai sebagai alat propaganda untuk memperkuat dominasi ideologi, menghapus keragaman suara, dan menormalisasi satu kebenaran tunggal yang ditetapkan oleh negara.
Stanley Payne dalam bukunya yang berjudul Fascism: Comparison and Definition (1980) menyebut bahwa fasisme adalah sebuah reaksi terhadap modernitas yang kacau. Fasisme menawarkan tatanan baru yang tampak tegas dan menyajikan stabilitas, tapi sebenarnya dibangun di atas penghapusan kebebasan dan pemaksaan keseragaman. Maka dari itu, hal yang membuat fasisme berbahaya bukan hanya pada kekejamannya di masa lalu, melainkan pada kemampuannya untuk berkamuflase di masa kini. Jason Stanley dalam bukunya yang berjudul How Fascism Works (2018) memperingatkan bahwa fasisme di era digital tidak selalu datang dalam bentuk parade militer atau seragam hitam. Fasisme menyelinap melalui algoritma, meme, dan narasi politik yang membenturkan kita melawan mereka. Fasisme bangkit melalui nostalgia akan masa lalu yang katanya lebih tertib dan lewat janji bahwa hanya kekuasaan mutlak yang bisa menyelesaikan kekacauan hari ini.
Lahirnya Fasisme
Untuk memahami mengapa dunia saat ini semakin bersimpati pada ideologi yang dulu melahirkan perang dan genosida, kita perlu melacak akarnya bukan hanya dari teori tapi dari sejarah panjang fasisme itu sendiri. Karena hanya dengan memahami bagaimana ia tumbuh kita bisa mengenali tanda-tanda kebangkitannya. Oleh karena itu, mari kita mulai dari awal, dari jalanan Roma di tahun 1922 di mana seorang mantan jurnalis bernama Benito Mussolini mengubah jalan sejarah dunia. Tepat setelah Perang Dunia I berakhir pada tahun 1918, Italia adalah negara yang menang perang tetapi merasakan pahitnya kekalahan. Rakyat kecewa, ekonomi hancur, harga-harga melonjak, inflasi merajalela, dan janji kemenangan dari pemerintah liberal tak kunjung terwujud. Atas semua derita yang dialami setelah perang dunia pertama, yang terjadi di Italia kemudian adalah krisis multidimensi. Dengan ekonomi stagnan, pemerintah lemah, buruh menggelar pemogokan besar-besaran, dan para veteran perang pulang ke rumah tanpa pekerjaan namun membawa trauma dan kemarahan. Sejarawan Emilio Gentile dalam bukunya yang berjudul The Sacralization of Politics in Fascist Italy (1993) bahkan menyebut masa pasca perang dunia pertama sebagai periode kekacauan tanpa narasi. Sebuah zaman yang dipenuhi kekecewaan kolektif, kebingungan ideologis, dan runtuhnya kepercayaan terhadap lembaga-lembaga lama. Dalam situasi inilah kegelisahan sosial dan kekosongan arah politik membuka jalan bagi munculnya figur baru yang mampu menawarkan kepastian arah dan musuh bersama. Sosok itu tak lain dan tak bukan adalah Benito Mussolini, seorang mantan sosialis yang beralih haluan dengan pengalaman kerja sebagai wartawan yang piawai memainkan bahasa dan emosi publik, serta orator ulung yang memahami bagaimana kegelisahan bisa diubah menjadi kekuatan mobilisasi. Untuk membangun basis politiknya, Mussolini mendirikan surat kabar Il Popolo d’Italia sebagai alat propaganda dan pusat penyebaran ide-ide nasionalisme radikal. Tidak lama kemudian, pada bulan Maret tahun 1919, Mussolini membentuk kelompok paramiliter yang dikenal sebagai Fasci di Combattimento. Organisasi ini merekrut berbagai elemen masyarakat yang tersingkir dari sistem lama, yaitu: para veteran perang yang merasa dikhianati oleh negara, buruh yang kecewa dengan janji sosialisme, kaum nasionalis yang marah atas hasil Perjanjian Versailles, serta pemuda-pemuda urban yang gelisah di tengah ketidakpastian zaman. Kombinasi ini menjadi bahan bakar bagi gerakan yang akan mengguncang fondasi demokrasi Italia dan melahirkan apa yang kelak disebut dunia sebagai fasisme.
Dalam arsip Corriere della Sera, sepanjang tahun 1919 hingga 1921 terlihat bagaimana media konservatif Italia saat itu justru memberikan ruang pada Mussolini yang mereka anggap sebagai benteng melawan komunisme. Inilah ironi awal fasisme: lahir dengan janji keteraturan tetapi menggunakan kekerasan untuk mencapainya. Fasisme menjanjikan keteraturan dan kestabilan, tetapi sejak awal menggunakan kekerasan sebagai sarana utama untuk mencapainya. Dan kekerasan itu segera dilegalkan secara sosial bahkan dirayakan. Sebab setelah itu, fasisme Italia mulai menunjukkan wajah aslinya. Anggota Squadristi, pasukan paramiliter berseragam hitam yang dikenal sebagai kaos hitam, mulai menyerang serikat buruh, membakar kantor Partai Sosialis hingga membubarkan demonstrasi rakyat dengan brutal. Aksi-aksi ini bukan penyimpangan dari gerakan, melainkan bagian inheren dari strategi politik fasis, yakni tujuannya untuk menggantikan diskusi dengan intimidasi dan menggantikan proses demokratis dengan ketakutan.
Dalam buku yang berjudul Mussolini’s Italy: Life Under the Fascist Dictatorship karya R. J. B. Bosworth (2005), dijelaskan bahwa antara tahun 1920 dan 1922 ada lebih dari 2.000 insiden kekerasan politik yang dilakukan kelompok fasis. Namun sebagian besar pelakunya tidak dihukum. Mengapa? Karena banyak elit pengusaha dan tuan tanah mendukung fasisme sebagai benteng terhadap revolusi komunis yang dikhawatirkan akan meledak seperti di Rusia pada tahun 1917. Dalam konteks sejarah ini, fasisme tumbuh bukan karena ia populer dan memberikan harapan serta optimisme, tetapi karena ia ditoleransi dan dibiarkan berkembang oleh kelas atas yang melihatnya sebagai pilihan yang lebih aman. Dan atas toleransi dan pembiaran itu, puncak kekerasannya terjadi pada bulan Oktober tahun 1922 ketika sekitar 30.000 fasis bersenjata melakukan March on Rome. Sebuah demonstrasi kekuatan yang dirancang untuk menekan Raja Vittorio Emanuele III.
Alexander De Grand dalam bukunya yang berjudul The Rise of Italian Fascism 1918–1922 (1976) menyebutkan bahwa sebenarnya tentara Italia mampu menghentikan para fasis ini. Tapi sang raja takut terjadi perang sipil dan memilih untuk tidak melawan. Akibatnya Benito Mussolini diundang ke Roma untuk ditunjuk sebagai perdana menteri secara legal. Inilah titik penting dalam sejarah dunia saat fasisme mengambil alih kekuasaan bukan lewat kudeta berdarah tetapi lewat kompromi politik dan ketakutan elit. Dan setelah berkuasa, Mussolini bergerak cepat membentuk negara totalitarian. Dalam kurun waktu lima tahun, Mussolini menghapuskan parlemen multi, membungkam pers, melarang serikat buruh independen, dan menghapus pemilu yang bebas. Mussolini menyebut sistem barunya sebagai stato corporativo, sebuah negara yang menyatukan pengusaha, pekerja, dan negara dalam satu wadah di bawah komando pusat.
Simonetta Falasca-Zamponi dalam bukunya yang berjudul Fascist Spectacle: The Aesthetics of Power in Mussolini’s Italy (2023) bahkan menggambarkan bagaimana Mussolini tidak hanya mengatur negara tetapi juga menciptakan teater politik, arsitektur, film, parade, patung, dan buku pelajaran sekolah. Semuanya diarahkan untuk memuja negara dan dirinya. Bahkan anak-anak sedari dini di sekolah dasar diajari untuk menyapa dengan salam fasis. Lagu-lagu wajib pun mengandung pujian terhadap Mussolini, sementara sejarah ditulis ulang untuk mengagungkan kejayaan Kekaisaran Romawi dan menggambarkan Italia sebagai bangsa unggul. Slogan seperti credere, obbedire, combattere (percaya, taat, bertempur) menjadi nilai moral resmi negara. Namun fasisme tidak hanya terbatas pada dalam negeri. Pada tahun 1935 Italia menyerang Ethiopia dan membentuk koloni dengan menggunakan gas beracun serta kekerasan brutal yang kemudian dikutuk dunia internasional. Akan tetapi, Liga Bangsa-Bangsa (LBB) gagal memberikan sanksi tegas dan di sinilah fasisme mulai merasa tidak terkalahkan.
Fasisme Bermutasi
Jika Italia adalah tanah kelahiran fasisme, maka Jerman adalah tempat ideologi itu mengalami mutasi menjadi bentuk yang paling ekstrim dan paling mematikan dalam sejarah modern. Di Jerman, fasisme tidak hanya menjadi sistem politik otoriter, tetapi berubah menjadi proyek rasis yang terorganisir secara sistematis dan terlegitimasi oleh negara. Transformasi itu kita kenal dengan nama nasional-sosialisme atau dalam istilah yang lebih umum disebut sebagai Nazisme. Semua hal ini bermula pada trauma besar yang ditinggalkan oleh Perang Dunia Pertama. Kekalahan Jerman dalam perang disusul oleh syarat-syarat yang dianggap sebagai penghinaan dalam Perjanjian Versailles tahun 1919. Hal ini menciptakan luka kolektif yang mendalam bagi bangsa Jerman. Dalam perjanjian itu, selain dipaksa menyerahkan wilayah dan membubarkan sebagian besar kekuatan militernya, Jerman diwajibkan membayar reparasi perang dalam jumlah yang sangat besar. Pada saat yang sama, sistem monarki Kekaisaran Jerman runtuh dan digantikan oleh Republik Weimar, yakni pemerintahan demokratis yang justru dianggap oleh sebagian besar rakyat sebagai simbol kelemahan dan kompromi terhadap musuh. Luka historis itu tidak berdiri sendiri. Ia diperparah oleh kondisi ekonomi yang hancur total: pengangguran massal, merosotnya daya beli, dan hiperinflasi yang membuat uang kertas nyaris tidak bernilai. Pada titik terendah, orang-orang harus membawa sekeranjang penuh uang hanya untuk membeli sepotong roti. Sejarawan Richard Evans dalam bukunya The Coming of the Third Reich (2004) bahkan menggambarkan periode ini sebagai masa krisis legitimasi demokrasi, saat kepercayaan terhadap sistem baru ambruk sebelum sempat berakar. Dalam rentetan kekacauan itu, rakyat mulai merindukan satu hal: ketertiban, otoritas, dan arah yang pasti. Dalam ruang hampa harapan itulah benih-benih fasisme menemukan tanah suburnya.
Dengan momen paceklik itu, muncul seorang tokoh yang dalam beberapa tahun kemudian akan mengubah sejarah dunia. Dialah Adolf Hitler, seorang mantan kopral Perang Dunia Pertama yang terlempar dari kehidupan militer ke dunia politik. Hitler bergabung dengan Partai Buruh Jerman, sebuah partai kecil berhaluan nasionalis yang kemudian diubah namanya menjadi Partai Nazi. Di tangan Hitler, partai ini tidak hanya menjadi alat politik, tetapi juga wahana ideologi baru dengan gabungan antara nasionalisme ekstrem, anti-Marxisme, anti-Semitisme, dan penolakan total terhadap demokrasi liberal. Hitler menulis gagasan-gagasan ideologisnya dalam buku Mein Kampf yang Ia tulis saat menjalani hukuman penjara akibat kudeta gagal di Munich pada tahun 1923. Dalam bukunya itu, Hitler menyusun narasi besar tentang kemurnian ras Arya, kebutuhan akan pemimpin otoriter, kebencian terhadap Yahudi yang Iatuduh sebagai biang kerok keruntuhan Jerman, serta obsesi ekspansionis terhadap Lebensraum atau “ruang hidup” di timur. Ian Kershaw dalam bukunya yang berjudul Hitler: A Biography (2010) menegaskan bahwa Mein Kampf bukan sekadar manifesto politik, melainkan peta jalan bagi genosida yang dengan cermat merancang legitimasi moral dan politik atas kekerasan sistematis.
Buku Mein Kampf ini pula menjadikan nazisme mulai menguat dalam lanskap politik Jerman, seiring dengan krisis ekonomi global tahun 1929 ketika Depresi Besar menghantam Eropa dan membuat Jerman kembali terpuruk dengan jumlah pengangguran melonjak hingga mencapai 7 juta orang. Partai Nazi menawarkan jawaban cepat atas situasi ini, yaitu: nasionalisasi arah ekonomi, penolakan terhadap kapitalisme internasional, serta penciptaan musuh bersama dalam bentuk Yahudi dan komunis.
Dalam pemilu tahun 1932, Partai Nazi menjadi partai dengan suara terbanyak di parlemen. Hitler, yang sebelumnya hanya seorang tokoh pinggiran, diangkat secara sah sebagai Kanselir Jerman pada tanggal 30 Januari 1933. Setelah mendapatkan kekuasaan, seperti halnya Mussolini, Hitler pun tidak membuang waktu untuk mengkonsolidasikan rezimnya. Sebulan kemudian, pada Februari 1933, insiden kebakaran Gedung Reichstag menjadi alasan bagi pemerintah Nazi untuk memberlakukan dekrit darurat yang mencabut hak-hak sipil, membungkam pers, dan menangkap ribuan lawan politik. Dalam waktu kurang dari setahun, Jerman berubah menjadi negara satu partai. Semua lembaga dan organisasi, baik serikat buruh, partai politik, maupun media independen, dibubarkan atau dipaksa menyatakan kesetiaan kepada negara. Atas situasi darurat yang diciptakannya, pemerintahan Nazi Hitler kemudian memperluas kendali hingga ke dalam ranah kehidupan pribadi. Negara mengambil alih pendidikan dan mendirikan organisasi pemuda seperti Hitlerjugend yang melatih anak-anak sejak dini dalam ideologi Nazi.
Michael Burleigh dan Wolfgang Wippermann dalam bukunya The Racial State (1991) menyebut Jerman Nazi sebagai “negara rasial” yang menjalankan eksperimen sosial berdasarkan prinsip-prinsip biologi, bukan hukum. Hal ini terlihat dari bagaimana perempuan-perempuan Jerman didorong untuk kembali ke rumah dan melahirkan anak-anak ras “murni. Puncak dari ideologi Nazisme adalah antisemitisme negara. Pada tahun 1935 diberlakukan Hukum Nuremberg yang mencabut status kewarganegaraan warga Yahudi dan melarang mereka menikah dengan orang Jerman. Ini bukan sekadar diskriminasi, tetapi tahap awal dari proses sistematis menuju pemusnahan. Beberapa sejarawan bahkan menyebut masa ini sebagai awal dari apa yang dinamakan antisemitisme terlembaga, di mana kebencian tidak lagi bersifat sosial atau ideologis, melainkan menjadi struktur resmi negara.
Tidak seperti fasisme Italia yang cenderung bersifat lokal dan defensif, Nazisme tampil jauh lebih ekspansionis dan agresif. Dengan mengusung Drang nach Osten (dorongan ke timur) dan gagasan Lebensraum, Hitler mulai memperluas wilayah kekuasaannya. Dimulai dengan aneksasi Austria pada tahun 1938, kemudian Sudetenland, dan akhirnya seluruh wilayah Cekoslowakia. Ambisi itu mencapai puncaknya ketika Jerman menyerbu Polandia pada 1 September 1939. Dunia pun tersentak: ini bukan lagi sekadar nasionalisme ekstrem, melainkan proyek imperium yang mengancam tatanan global. Maka dimulailah Perang Dunia II, konflik berskala planet yang membuka fase tergelap dalam sejarah manusia, terutama melalui operasi sistematis yang dikenal sebagai Holocaust—pembantaian lebih dari 6 juta orang Yahudi bersama kelompok minoritas lain yang dianggap sebagai musuh rasial.
Dari Mutasi Menjadi Berkembang ke Berbagai Negeri
Namun, fasisme tidak berhenti di Italia dan Jerman. Keberhasilan kedua rezim ini dalam merebut serta mengkonsolidasikan kekuasaan melalui retorika nasionalisme, militerisme, dan penghancuran demokrasi liberal segera menginspirasi lahirnya berbagai bentuk otoritarianisme di penjuru dunia. Ideologi fasis menjadi semacam cetak biru (blue print) yang diterjemahkan dalam konteks lokal, namun tetap mempertahankan inti utamanya: kekuasaan yang terpusat dan absolut, penghapusan oposisi politik, glorifikasi negara sebagai entitas sakral, serta penaklukan individu pada kehendak kolektif yang ditentukan sepihak oleh negara.
Salah satu bentuk fasisme yang paling menonjol muncul di Spanyol di bawah kepemimpinan Jenderal Francisco Franco. Spanyol jatuh ke dalam kediktatoran militer yang bertahan hampir 4 dekade setelah kemenangan pasukan nasionalis atas faksi republik dalam Perang Saudara Spanyol. Franco mendirikan negara otoriter yang membungkam semua oposisi politik, melarang serikat buruh independen, dan mengganti kebebasan sipil dengan nilai-nilai konservatif yang dikontrol ketat oleh militer dan Gereja Katolik.
Sementara itu, di Jepang varian fasisme berkembang dalam bentuk militerisme-imperialis. Sejak awal 1930-an, kekuasaan militer Jepang semakin mendominasi pemerintahan sipil. Kaisar Hirohito dipuja sebagai dewa hidup, dan negara digerakkan untuk memperluas wilayah kekuasaan dengan dalih membawa “Peradaban Asia Timur Raya.” Buku Japan’s Imperial Conspiracy karya David Bergamini (1971) menjelaskan bagaimana sistem Jepang saat itu membentuk masyarakat yang tunduk sepenuhnya pada kehendak negara dan militer, dengan menyebarkan propaganda nasionalistik melalui pendidikan dan budaya populer. Meskipun tidak memakai label “fasisme” secara eksplisit, struktur kekuasaan, pemujaan terhadap pemimpin, dan penggunaan kekerasan untuk tujuan ekspansi jelas menempatkan Jepang dalam spektrum ideologi fasis.
Di Amerika Latin, fasisme berkembang dalam bentuk populisme militer dan kediktatoran konservatif. Salah satu yang paling dikenal adalah rezim Getúlio Vargas di Brasil. Ia memerintah dalam sistem yang disebut Estado Novo sejak tahun 1937—sebuah sistem yang menghapus partai politik, membentuk polisi rahasia, serta menggunakan propaganda dan pendidikan untuk membangun loyalitas kepada negara. Thomas Skidmore dalam bukunya Authoritarian Brazil (1976) menjelaskan bahwa Vargas tidak hanya mengadopsi taktik-taktik fasis Eropa, tetapi juga menciptakan sistem korporatisme yang menyeret buruh dan pengusaha ke dalam struktur negara, serupa dengan model yang dibangun Mussolini di Italia.
Namun, pembicaraan tentang fasisme dunia tidak akan lengkap tanpa menyentuh Indonesia, negara yang memang tidak pernah secara resmi mengidentifikasi diri sebagai fasis, tetapi dalam beberapa periode sejarahnya menunjukkan ciri-ciri otoritarianisme yang sejalan dengan praktik fasisme klasik. Salah satu momen paling penting adalah ketika Presiden Soekarno membentuk sistem Demokrasi Terpimpin pada tahun 1959, setelah membubarkan Konstituante dan menerbitkan Dekret Presiden 5 Juli 1959. Soekarno mengakhiri demokrasi parlementer dan mengambil alih kekuasaan legislatif. Partai politik dilemahkan, pemilu diabaikan, dan media dikontrol secara ketat. Dalam pidato-pidatonya, Soekarno memobilisasi massa dengan retorika nasionalisme dan antiimperialisme, sekaligus menciptakan mitos politik tentang dirinya sebagai pemimpin besar revolusi. Pada saat yang bersamaan, Soekarno membentuk poros ideologis antara nasionalisme, komunisme, dan Islam yang disebut NASAKOM untuk menjaga stabilitas politik, tetapi pada prakteknya justru memperkuat kekuasaan pribadinya.
Setelah Soekarno tumbang dalam kekacauan politik tahun 1965-1966, Indonesia memasuki era baru yang tidak kalah otoriter. Di bawah pemerintahan Soeharto selama lebih dari 32 tahun, negara dijalankan dengan karakteristik fasisme administratif. Militer mengendalikan hampir semua aspek kehidupan, mulai dari birokrasi sipil hingga media. Partai politik dikerdilkan dan dimanipulasi dalam sistem yang hanya menyisakan Golkar sebagai kekuatan utama, sementara seluruh lembaga negara diarahkan untuk menjaga “stabilitas nasional.” Fedy Hadis dalam bukunya State and Civil Society in Indonesia (1997) menjelaskan bahwa orde otoriter Soeharto adalah bentuk otoritarianisme birokratik yang menjinakkan masyarakat sipil dan menyingkirkan ruang-ruang perdebatan. Sistem ini tidak didasarkan pada ideologi rasis atau ekspansionisme seperti Nazisme, namun tetap mempertahankan kontrol total atas rakyat, memperalat hukum, dan menciptakan budaya ketakutan yang melumpuhkan oposisi. Dalam konteks ini, Indonesia menunjukkan bahwa fasisme tidak selalu datang dengan seragam militer; ia bisa muncul dalam bentuk ketertiban yang dibangun melalui pemaksaan, penghapusan oposisi, dan kultus terhadap pemimpin. Ia bisa bersembunyi di balik jargon pembangunan dan keamanan nasional, namun tetap mengekang kebebasan, membungkam kritik, dan menata kehidupan warga dalam kerangka yang ditentukan oleh negara.
Pelajaran dari semua kasus ini—Franco di Spanyol, Hirohito di Jepang, Vargas di Brasil, hingga Soekarno dan Soeharto di Indonesia—adalah bahwa fasisme bukan satu ideologi tunggal yang hanya bisa hidup di Eropa tahun 1930-an. Ia adalah bentuk kekuasaan yang bisa muncul kapan saja, ketika negara, dalam ketakutannya terhadap kekacauan, merayakan keteraturan melalui penghilangan perbedaan, pembungkaman oposisi, dan penundukan total individu kepada negara.
Kamuflase Fasisme dalam Budaya: Bagaimana dengan Dunia Kita Hari ini?
Dalam konteks dunia hari ini, kehadiran fasisme tidak selalu diumumkan dengan bendera swastika atau lambang elang Romawi. Ia tidak selalu berteriak di jalan atau memimpin pawai obor di malam hari. Justru sebaliknya, fasisme sering hadir dalam bentuk yang lebih halus dan membaur dalam keseragaman politik yang dibungkus sebagai persatuan nasional, dalam glorifikasi satu identitas tunggal sebagai inti keutuhan bangsa, serta dalam narasi bahwa hanya ada satu suara sah yang benar-benar mewakili rakyat.
Dalam dunia yang semakin cemas, semakin terfragmentasi oleh krisis, dan semakin lelah oleh kompleksitas demokrasi, fasisme terus mencari bentuk barunya, lebih fleksibel, lebih tersembunyi, dan lebih mudah menyusup ke dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu medan yang kini menjadi ladang subur bagi bentuk baru itu adalah budaya populer. Fasisme yang dulu tampil dalam parade militer dan pidato bombastis dari balkon istana kini hadir di tempat-tempat yang barangkali tidak kita duga di layar bioskop, dalam video game, di platform TikTok, hingga tersembunyi dalam meme yang dibagikan jutaan kali. Budaya populer abad ke-21 tidak hanya mempresentasikan fasisme sebagai objek naratif atau sejarah masa lalu, tetapi juga kerap menjadi sarana penyebaran nilai-nilai fasis baik secara sadar maupun terselubung melalui estetika, simbol hingga romantisasi kekuasaan otoriter. Dan sudah sejak lama Hollywood dan industri film global menggunakan fasisme sebagai bahan cerita. Film seperti The Great Dictator yang rilis pada tahun 1940, Charlie Chaplin merupakan salah satu satir pertama terhadap Adolf Hitler dan totalitarianisme. Dalam film itu, Chaplin tidak hanya menertawakan kegilaan seorang diktator, tetapi juga memperingatkan dunia akan bahaya kekuasaan yang berakar pada kebencian. Pesan moral film tersebut tetap relevan bahwa fasisme tidak datang dengan tanduk, tetapi dengan keseragaman, kepatuhan, dan retorika indah tentang kemurnian dan pengorbanan.
Namun representasi fasisme tidak selalu muncul dalam bentuk kritik. Dalam beberapa dekade terakhir muncul tren fetisisasi estetika fasisme dalam film, fashion, dan video game. Estetika seragam rapi, arsitektur monumental, dan simbol kekuasaan yang simetris menjadi daya tarik visual tersendiri. Susan Sontag dalam esainya yang terkenal berjudul Fascinating Fascism menulis bahwa gaya fasis memiliki daya pikat karena ia menawarkan kesempurnaan, kemurnian, dan ketertiban dalam dunia yang kacau. Ia memperingatkan bahwa ketika estetika fasis dirayakan tanpa kritik, ia bisa menjadi pintu masuk bagi romantisasi ideologi yang seharusnya ditolak. Video game seperti Wolfenstein, Call of Duty, dan Halo menghadirkan fasisme sebagai bagian dari gameplay. Sebagian memang menyungguhkan kritik dan perlawanan terhadap Nazi, tetapi sebagian yang lain, terutama dalam modifikasi komunitas justru menjadi ruang nostalgia dan permainan peran sebagai negara fasis.
Dalam artikel yang berjudul The Alt-Right Has a Video Game Problem karya Luke O’Brien yang terbit pada The Atlantic (2017) dipaparkan bagaimana kelompok ekstrem kanan menggunakan ruang-ruang permainan ini untuk merekrut anggota muda, menyisipkan narasi supremasi kulit putih, dan mengedarkan propaganda dalam bentuk yang tidak terdeteksi secara eksplisit. Tak kalah penting adalah kemunculan fasis estetik di media sosial. Meme dengan gambar serdadu Romawi. Potongan wajah Mussolini atau Hitler dengan kutipan palsu tentang kekuatan dan kehormatan hingga editan dramatis tentang tokoh otoriter masa lalu. Kini ramai berseliweran di Instagram dan TikTok. Dalam studi Digital Fascism, The Next Wave yang diterbitkan oleh European Journal of Cultural Studies (2022) dikatakan bahwa generasi muda terpapar estetika fasis bukan lewat kelas sejarah, melainkan lewat audio visual yang mengemasnya secara ironis dan menarik dengan algoritma yang memperkuat keterlibatan emosional. Meme seperti ini dengan mudah berpindah dari satir ke glorifikasi.
Fenomena ini juga tidak lepas dari pengaruh budaya pop Jepang, khususnya dalam subkultur anime, karakter-karakter dengan estetika militaristik, kelompok rasa yang menginginkan tatanan baru dan glorifikasi pemimpin karismatik menjadi motif yang terus diulang. Dalam beberapa komunitas daring, konsep seperti order, chaos, strong leadership, dan cleansing society menjadi bagian dari narasi populer yang dekat dengan nilai-nilai fasis meskipun tidak selalu dikemas secara eksplisit politis. Dan yang membuat fasisme dalam budaya populer berbahaya bukan semata-mata kontennya, tetapi cara ia beroperasi. Ia menyusup bukan lewat ajaran, tetapi lewat perasaan, rasa bangga, marah, ingin membalas, ingin terlihat kuat, ingin menjadi bagian dari kelompok besar. Fasisme hari ini memang tidak selalu mengajak kita untuk membenci secara frontal, tetapi cukup dengan mengajak kita merasa istimewa, berbeda dari yang lain, dan menolak kompleksitas. Dan dalam dunia digital yang cepat, emosional, dan penuh ilusi kontrol. Pesan-pesan semacam ini menyebar lebih cepat daripada penjelasan akademik atau jurnalisme mendalam.
Dan dalam konteks ini penting untuk membedakan antara representasi dan glorifikasi. Memang tidak semua penggunaan simbol fasis dalam film atau seni adalah dukungan terhadap fasisme. Namun ketika simbol-simbol itu dikonsumsi tanpa pemahaman historis, tanpa konteks kritis, dan justru menjadi gaya hidup atau identitas daring, kita harus bertanya apakah kita sedang menertawakan masa lalu atau sedang menyambutnya kembali? Sebab fasisme dalam budaya populer hari ini bergerak seperti hantu, tidak selalu terlihat tetapi terasa. Ia hadir di antara ironi dan nostalgia, di antara meme dan merchandise, di antara satir dan propaganda. Dan jika kita tidak cermat membaca tanda-tandanya, kita bisa menjadi bagian dari penyebarannya. Dan setelah kita sadari ada bahaya laten fasisme, pertanyaan yang tidak terelakan adalah bagaimana kita bisa melawan fasisme hari ini?
Bagaimana Melawan Fasisme Hari ini?
Melawan fasisme berarti pertama-tama mengenalinya. Dalam bentuknya yang paling awal dan tersamar, Hannah Arendt dalam bukunya yang berjudul The Origins of Totalitarianism (1951) mengingatkan bahwa totalitarianisme tidak lahir dari kekerasan tiba-tiba, melainkan dari rasa bosan terhadap politik, sinisme terhadap kebenaran, dan penarikan diri warga dari ruang publik. Ketika masyarakat berhenti peduli, ketika fakta digantikan oleh opini, ketika minoritas dianggap beban, dan ketika pemimpin kuat lebih disukai ketimbang hukum, maka benih-benih fasisme mulai tumbuh.
Kedua, kita harus melindungi institusi demokrasi. Betapapun tidak sempurnanya parlemen, pers, lembaga yudikatif, organisasi masyarakat sipil, semuanya bukan sekadar instrumen birokratis, tetapi pagar-pagar etis yang mencegah negara terjerumus ke dalam absolutisme. Ketika fasisme muncul, ia seringkali tidak menghancurkan institusi secara langsung, tetapi melumpuhkannya dari dalam, menempatkan orang-orang yang loyal, membengkokkan hukum, memanipulasi opini publik.
Ketiga, kita harus memulihkan kepercayaan pada fakta dan nalar. Dalam dunia yang dilanda post-truth, kebohongan yang terus diulang bisa lebih dipercaya daripada kebenaran yang rumit. Fasisme berkembang dalam kabut disinformasi semacam ini dengan menciptakan musuh bersama, menyebar teori konspirasi, dan mencurigai semua bentuk intelektualitas sebagai elitisme atau omon-omon belaka. Maka pendidikan kritis, literasi media, dan budaya diskusi yang sehat adalah tameng penting. Hal ini seperti apa yang pernah dikatakan oleh George Orwell dalam bukunya berjudul 1984 (2021), bahwa kebebasan adalah hak untuk mengatakan bahwa 2 + 2 = 4.
Keempat, kita harus membangun solidaritas lintas identitas. Fasisme hidup dari polarisasi antara mayoritas dan minoritas, antara pribumi dan asing, antara kita dan mereka. Ia memecah belah masyarakat dan menabur ketakutan sebagai alat kendali. Melawannya berarti menjalin simpul-simpul solidaritas yang lebih kuat dari narasi kebencian. Ini tidak mudah, terutama ketika isu-isu identitas dipolitisasi. Tapi seperti yang ditulis Angela Davis dalam bukunya Women, Race, and Class (1981) bahwa dalam perjuangan untuk keadilan tidak ada netralitas. Kita harus memilih, membiarkan dunia dikuasai oleh ketakutan atau memperjuangkan ruang hidup yang setara bagi semua.
Kelima dan yang paling penting kita harus berani bersuara. Fasisme berkembang bukan hanya karena ada orang yang kejam, tetapi karena banyak yang diam. Ketika buku dibakar, ketika lawan politik dibungkam, ketika minoritas didiskriminasi, sikap diam bukan lagi kebijaksanaan, tetapi bentuk partisipasi pasif dalam ketidakadilan. Primo Levi penyintas Holocaust dalam bukunya yang berjudul If This Is a Man (2014) menulis bahwa setiap waktu adalah waktu untuk memilih dan diam adalah juga pilihan.
Dan dalam konteks Indonesia hari ini, melawan fasisme berarti menolak narasi tunggal tentang nasionalisme yang menolak keberagaman. Ia berarti mengkritisi wacana stabilitas yang dibangun di atas pembungkaman. Ia berarti memelihara ruang publik yang hidup dari kampus hingga media sosial. Dari komunitas akar rumput hingga parlemen. Ia berarti tidak takut menyebut ketidakadilan sebagai ketidakadilan meskipun datang dari tangan yang sah secara elektoral. Sebab melawan fasisme bukan pekerjaan satu generasi. Ini adalah tugas moral yang harus diwariskan dari satu zaman ke zaman lain. Ia bukan hanya pertarungan politik, tetapi pertarungan batin antara rasa takut dan keberanian, antara kemalasan dan kepedulian, antara menyerah dan berharap.
Dan seperti yang ditulis oleh Umberto Eco dalam esai yang berjudul Ur-Fascism (1995), bahwa kita harus mengidentifikasi fasisme dalam bentuk apapun, kapanpun, dan di mana pun ia muncul. Karena fasisme bisa datang kembali bahkan dengan wajah yang paling polos dan bahasa yang paling sopan. Penghujung tulisan ini, pertanyaannya bukan lagi apakah fasisme akan kembali. Pertanyaannya adalah ketika ia kembali dengan wajah baru dan bahasa baru. Apakah kita akan mengenalinya dan apakah kita siap untuk melawannya?
Daftar Pustaka
Bergamini, D. (1971). Japan’s imperial conspiracy. Heinemann.
Bosworth, R. J. B. (2005). Mussolini’s Italy: Life under the fascist dictatorship. Penguin.
Burleigh, M., & Wippermann, W. (1991). The racial state: Germany 1933–1945. Cambridge University Press.
Davis, A. (1981). Women, race, and class. Vintage Books.
De Grand, A. J. (1976). The rise of Italian fascism 1918–1922. University of California Press.
Eco, U. (1995). Ur-fascism. The New York Review of Books.
Evans, R. J. (2004). The coming of the Third Reich. Penguin.
Falasca-Zamponi, S. (2023). Fascist spectacle: The aesthetics of power in Mussolini’s Italy. University of California Press.
Gentile, E. (1993). The sacralization of politics in fascist Italy. Harvard University Press.
Hadiz, V. R. (1997). State and civil society in Indonesia. Routledge.
Hitler, A. (1925/2010). Mein Kampf (I. Kershaw, Ed.). Vintage.
Kershaw, I. (2010). Hitler: A biography. W. W. Norton & Company.
Levi, P. (2014). If this is a man. Abacus.
O’Brien, L. (2017, October). The alt-right has a video game problem. The Atlantic. https://www.theatlantic.com
Orwell, G. (1949/2021). 1984. Penguin Classics.
Paxton, R. O. (2004). The anatomy of fascism. Knopf.
Payne, S. G. (1980). Fascism: Comparison and definition. University of Wisconsin Press.
Skidmore, T. (1976). Authoritarian Brazil: Origins, policies, and future. Oxford University Press.
Sontag, S. (1974). Fascinating fascism. The New York Review of Books.
Stanley, J. (2018). How fascism works: The politics of us and them. Random House.
Arendt, H. (1951). The origins of totalitarianism. Harcourt, Brace & Company.
European Journal of Cultural Studies. (2022). Digital fascism: The next wave. Sage Journals.
Posting Komentar untuk "Memahami Fasisme: Akar Sejarah, Perkembangan dan Bagaimana Melawannya Hari ini"