Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Plastik : Dari Penemuan ke Polusi

Gambar : MS Designer

Penulis : Abdul Salman (Direktur Kareso Alam Bulukumba)


Ketika saya menggali riwayat plastik, saya serasa dibawa ke tahun 1856 saat Alexander Parkes mematenkan Parkesine, bahan semi-sintetis yang ia pamerkan di London enam tahun kemudian. Publik bersorak karena kini gading, tanduk, dan sutra tak lagi dipakai. Pada 1869 John Hyatt memurnikan seluloid, diikuti Leo Baekeland yang menemukan bakelit tahun 1907, plastik sintetis sejati yang tahan panas.


Bagi dunia industri, rantai karbon itu terdengar seperti mukjizat: ringan, murah, lentur. Ironinya, justru karena sifat “tahan lama” itulah plastik berubah dari penemuan penyelamat menjadi sumber masalah lintas generasi, bagi kesehatan, ekologi, ekonomi, dan bahkan budaya manusia.


Selepas Perang Dunia II, laju produksi plastik melonjak seolah tak mengenal rem: 1,5 juta ton pada 1950 berubah menjadi lebih dari 400 juta ton pada 2020. Setiap polimer mendapat panggungnya sendiri: PVC (Polivinil Klorida) membalut kabel, HDPE (High-Density Polyethylene) menjadi jeriken, PET (Polyethylene Tereftalat) melahirkan miliaran botol minum. Persentase daur ulang global hanya sekitar sembilan persen, sisanya dibakar, ditimbun, atau tercecer ke alam. Saya melihat angka-angka itu bukan sekadar statistik, melainkan bukti betapa keasyikan manusia memproduksi tak diimbangi tanggung jawab mengolahnya. Padahal setiap ton plastik yang lahir ikut melepas emisi rumah kaca sejak tahap kilang hingga ia dibakar.


Di Indonesia, plastik muncul perlahan seperti ombak kecil yang tiba tanpa kita sadari. Kresek buatan Jepang mulai beredar di pasar tradisional akhir 1970-an, disusul gelombang kemasan instan pada dekade 1990-an ketika toko kelontong desa menjual mi, kopi, dan minyak dalam sachet mungil. Negara belum punya regulasi daur ulang; pemulung bekerja sendiri, sementara budaya buang sampah di belakang rumah tetap berjalan. Dalam dua puluh tahun, plastik berpindah status dari kemewahan menjadi limbah meresahkan bagi warga.


Kesadaran bahwa plastik adalah krisis global meledak setelah Program Lingkungan PBB (UNEP) mempublikasikan temuan delapan juta ton plastik bocor ke laut setiap tahun, setara satu truk sampah per menit. Mikroplastik ditemukan di puncak Everest, darah manusia, bahkan hujan gurun; saya pribadi tercengang saat riset 2023 mendeteksi partikel polimer dalam plasenta bayi. Polusi ini tidak hanya mencemari ekosistem, namun juga memperparah iklim karena 98 persen plastik berasal dari minyak dan gas. Tanpa intervensi besar, laporan ilmiah memprediksi kebocoran bisa naik tiga kali lipat pada 2040 dibanding tingkat hari ini di Bumi.


Ironi sebagai negeri maritim terasa pahit ketika Indonesia tercatat sebagai penyumbang sampah plastik laut terbesar kedua di dunia. Studi Jambeck 2021 memperkirakan 56 ribu ton plastik Indonesia mengapung di samudra setiap tahun, dan saya melihat buktinya langsung di Pantai Tanjung Silopo—jaring nelayan tersangkut sachet deterjen.


Bencana banjir Jakarta 2002 dan longsor TPA Leuwigajah 2005 yang menewaskan 157 orang menunjukkan bahwa plastik tak sekadar mencemari laut, tetapi mengancam nyawa saat menyumbat drainase. Keironian memuncak karena kita juga mengimpor 194 ribu ton sampah plastik dari Eropa pada 2022 tanpa protes publik luas.



Menurut Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) 2024, Indonesia menghasilkan 34,2 juta ton sampah setahun, dan 19,7 persen di antaranya plastik. Dari total itu, baru 59,7 persen terkelola melalui TPA atau fasilitas 3R, sehingga sekitar 13,7 juta ton hilang ke lingkungan.


Tantangannya berlapis: kapasitas TPA hampir penuh, budaya bakar sampah masih kuat, skema Extended Producer Responsibility (EPR) berjalan lambat, dan bank sampah baru menjangkau kurang dari sepuluh persen penduduk. Saya melihat daya tarik produk murah sekali pakai tetap dominan karena daya beli rendah serta distribusi air minum isi ulang belum merata.


Pelajaran menarik datang ketika saya melihat perbandingan Inggris, Jerman, dan Indonesia. Inggris menerapkan landfill tax tinggi dan skema deposit-return (DRS) untuk botol, menargetkan 70 persen daur ulang pada 2030. Jerman melangkah lebih jauh: Undang-Undang Siklus Tertutup membebani produsen, warga memisah enam fraksi sampah di rumah, dan tingkat daur ulang plastiknya melampaui 60 persen. 




Indonesia masih mengandalkan TPA terbuka; inisiatif 3R bersifat komunitas dan penegakan EPR belum tegas. Perbedaan utama terletak pada insentif ekonomi dan penalti hukum: tanpa dua mekanisme itu, perilaku konsumen sulit berubah dalam skala nasional yang konsisten dan terukur.


Sejak Majelis Lingkungan PBB 2022 memberi mandat merundingkan Global Plastics Treaty (GPT), saya sempat optimis akan lahir perjanjian yang akan menyelamatkan lingkungan dari plastik. Kenyataannya, pertemuan hingga sesi INC-4 masih didominasi lobi industri petrokimia; banyak negara maju mendorong pasal sukarela ketimbang kuota wajib pengurangan resin murni. Tanpa target hulu yang mengurangi produksi dan skema pendanaan transisi bagi negara berkembang, GPT berisiko menjadi dokumen kosmetik seperti Protokol Kyoto edisi sampah. Bagi saya, kelemahannya bukan kekurangan ilmu, tetapi ketidakmauan politik menghadapi ekonomi minyak bernilai triliunan dolar yang menopang banyak kursi parlemen di seluruh dunia hari ini.


Saran saya sederhana tetapi menuntut keberanian. Pemerintah perlu segera menerapkan moratorium impor sampah plastik, pajak progresif pada kemasan sekali pakai, dan peta jalan pengurangan resin  lima persen per tahun. Industri harus beralih ke model guna-ulang dengan insentif fiskal dan kewajiban mengambil seratus persen kemasan yang mereka edarkan.


Pemerintah daerah wajib menutup TPA terbuka, menggencarkan bank sampah digital, dan memasukkan edukasi plastik ke kurikulum SD. Lembaga keuangan dapat memberi kredit mikro bagi koperasi pemulung. Pada akhirnya, konsumen—termasuk saya—harus mengurangi konsumsi harian dan memilih produk isi ulang tanpa menunggu orang lain.


Sumber :

Batampos, “Sejarah Plastik: Penemuan Revolusioner…”, 30 Mei 2025.

Kompas.com, “Sejarah Penemuan Plastik…”, 29 Oktober 2021.

Suara.com, “Indonesia Darurat Sampah Plastik…”, 22 Mei 2025.

Media Indonesia, “Kurangi Produksi Plastik di Hulu…”, 29 Mei 2025.

KLHK (SIPSN), “Capaian Kinerja Pengelolaan Sampah 2024”.

WWF Indonesia, “Mengendalikan Produk Plastik…”, 7 September 2024.

Jambeck et al., “Plastic Waste Inputs from Land into the Ocean”, Science, 2021.

Katadata.co.id, “10 Negara Pengirim Sampah Plastik…”, 5 November 2024.

UNEP, “From Pollution to Solution: Marine Litter and Plastic Waste”, 2021.

Greenpeace, “Global Plastics Treaty: Progress and Pitfalls”, 2024.

Posting Komentar untuk "Plastik : Dari Penemuan ke Polusi"