MENGHITUNG HARGA YANG TERBAYAR: EKSTERNALITAS ROKOK DAN PERAN CUKAI DALAM MENJAGA KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
Penulis : Yusrina Nadda Herawati (Mahasiswi Universitas Brawijaya)
PENDAHULUAN
Indonesia
menghadapi tantangan serius dalam mengendalikan konsumsi rokok. Nikotin dari
rokok menyebabkan efek feeling good
yang membuat perokok mudah kecanduan dan sulit untuk berhenti. Menurut laporan Southeast Asia Tobacco Control Alliance (SEATCA)
berjudul The Tobacco Control Atlas, ASEAN
Region, Indonesia memiliki jumlah perokok di kawasan ASEAN, yakni sekitar
65,19 juta orang (BPS Provinsi Jawa Barat, 2020).
Jumlah ini setara dengan 34% dari total populasi Indonesia pada tahun 2016.
Untuk saat ini, data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023 oleh Kemenkes
menunjukkan bahwa jumlah perokok aktif diperkirakan mencapai 70 juta orang (Kemenkes RI, 2024). Kebiasaan merokok kini sudah
meluas ke kalangan generasi muda, tidak hanya pada laki-laki, tetapi juga
perempuan. Rokok bukan hanya masalah individu, tetapi juga menimbulkan dampak
sosial dan ekonomi yang luas. Biaya kesehatan akibat penyakit terkait tokok,
penurunan produktivitas, dan beban terhadap anggaran negara menjadi beban
bersama yang harus ditanggung masyarakat. Cukai rokok telah lama digunakan
sebagai instrumen ekonomi untuk menginternalisasi eksternalitas negatif dari
konsumsi rokok (Kornelius Marbun, 2025).
Namun, efektivitasnya sering terhambat oleh tarik-menarik antara ketimpangan
fiskal, industri, dan perlindungan kesehatan publik. Esai ini akan membahas
bagaimana cukai rokok dapat berperan dalam mengurangi dampak negatif rokok
terhadap kesehatan publik di Indonesia.
ISI
Menurut
Mankiw, eksternalitas adalah dampak tak terkompensasi dari tindakan seseorang
terhadap kesejahteraan orang lain. Ketika pengaruhnya terhadap lingkungan
kurang baik, eksternalitas disebut sebagai eksternalitas negatif. Konsumsi
rokok adalah contoh dari eksternalitas negatif. Perokok tidak hanya
membahayakan kesehatannya sendiri, tetapi orang-orang di sekitarnya melalui
asap rokok pasif. Selain itu, biaya pengobatan penyakit rokok seperti kanker,
penyakit jantung, dan gangguan pernapasan sering kali ditanggung oleh sistem
kesehatan publik. Tingginya jumlah perokok di Indonesia berpotensi meningkatkan
jumlah kasus PTM (Penyakit Tidak Menular) di masyarakat, yang pada akhirnya
berpotensi meningkatkan pembiayaan kesehatan yang ditanggung ABPN (Hidayatullah & Iskandar, 2023). Penelitian yang
dilakukan oleh Strategist of Center for
Indonesia Strategic Development Initiatives (CISDI) tahun 2019, menjelaskan
bahwa rata-rata pengobatan untuk penyakit yang disebabkan oleh rokok sebesar
Rp27,7 triliun di tahun 2019. Dari jumlah tersebut, Rp15,6 triliun atau 56
persennya ditanggung oleh BPJS Kesehatan dan dibiayai oleh pemerintah melalui
APBN (Sembiring, 2021). Hal ini menunjukkan
bahwa dampak ekonomi dari konsumsi rokok sangat signifikan dan memerlukan
intervensi kebijakan yang efektif.
Cukai
rokok merupakan bentuk pajak pigouvian yang dikenakan untuk menginternalisasi
biaya sosial dari konsumsi tokok. Dengan menaikkan harga rokok melalui cukai,
diharapkan konsumsi rokok dapat dikurangi, terutama di kalangan remaja dan
kelompok berpenghasilan rendah yang lebih sensitif terhadap perubahan harga.
Kenaikan pajak sebesar 25% pada tahun 2021 menurunkan prevalensi perokok dewasa
dari 33,8% menjadi 32,0%, dan prevalensi perokok remaja dari 9,1% menjadi 8,6% (International Union Against Tuberculosis and Lung Disease,
2021). Hal ini akan mengurangi 340.000 kematian dini dan mencegah
sekitar 200.000 anak-anak Indonesia untuk mulai merokok. Pada saat yang sama,
produktivitas tenaga kerja akan meningkat karena kesehatan penduduk yang lebih
baik, dan perekonomian akan menghasilkan 126.000 pekerjaan baru pada akhir 2021
karena pengeluaran rumah tangga bergeser dari sektor tembakau.
Berdasarkan
data Direktorat Jenderal Bea dan Cukai tahun 2024, pemerintah menerima cukai
sebesar Rp216,9 triliun (Direktorat Jenderal Bea dan
Cukai, 2025) atau melebihi anggaran kesehatan nasional 2024 sebesar
Rp187,5 triliun (Kementerian Sekertariat Negara
Republik Indonesia, 2024). Ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan
antara tujuan fiskal dan tujuan kesehatan. Pemerintah menghadapi dilema antara
mempertahankan pendapatan dari cukai rokok dan upaya untuk menurunkan konsumsi
rokok demi kesehatan publik. Ketergantungan pada pendapatan dari cukai rokok
dapat menghambat implementasi kebijakan pengendalian tembakau yang lebih ketat.
Selain itu, kompleksnya struktur tarif cukai dengan berbagai lapisan
berdasarkan jenis produk, volume, dan harga membuat kebijakan ini kurang
efektif dalam menekan konsumsi rokok secara keseluruhan.
Guna
menyeimbangkan antara kepentingan fiskal dan kesehatan masyarakat, pemerintah
perlu mengambil langkah yang lebih menyeluruh. Salah satu langkah penting
adalah menyederhanakan struktur tarif cukai yang saat ini masih sangat kompleks
dan berlapis. Kompleksitas ini memungkinkan industri rokok menghindari tarif
tinggi dengan memecah volume produksi agar masuk ke golongan lebih rendah.
Penyederhanaan struktur tarif cukai menjadi dua kategori utama, yaitu rokok
linting tangan dan rokok buatan mesin, dapat mempermudah pengawasan dan
meningkatkan efektivitas kebijakan pengendalian konsumsi rokok (Center of Human dan Development (CHED), 2024).
Selain
itu, penerimaan cukai seharusnya tidak hanya menjadi alat fiskal tetapi juga
harus dikembalikan untuk memperbaiki dampak eksternalitas negatif dari rokok.
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 72 Tahun 2024 menetapkan bahwa Dana Bagi Hasil
Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) dialokasikan dengan ketentuan 50% untuk
kesejahteraan masyarakat, 10% untuk penegakan hukum, dan 40% untuk kesehatan (Kemenkeu, 2024). Namun, praktik di lapangan masih
jauh dari ideal dan pelaporan penggunaan dana kerap tidak transparan. Upaya
pengendalian juga perlu diperkuat melalui regulasi non fiskal. Misalnya
pengawasan terhadap iklan dan promosi rokok, terutama di media digital, masih
longgar meski sudah dilarang di banyak ruang publik. Peraturan pemerintah Nomor
28 Tahun 2024 tentang kesehatan bagian pengamanan zat adiktif, menerapkan
pembatasan ketat terhadap iklan produk tembakau dan rokok elektronik (Kemenkes RI, 2024a). Secara khusus, pada pasal 449
ayat (1) melarang pemasangan iklan di lokasi-lokasi publik sensitif seperti
fasilitas kesehatan maupun pendidikan. Dengan demikian, efektivitas
pengendalian dampak negatif rokok sangat bergantung pada integrasi kebijakan
baik fiskal maupun non-fiskal. Pembatasan iklan hanya akan menjadi regulasi
normatif jika tidak adanya pengawasan ketat serta ketegasan dari pihak
berwenang.
Namun,
upaya penekanan konsumsi rokok tidak hanya bergantung pada kebijakan fiskal dan
non fiskal semata. Lebih dari itu, pemerintah juga perlu meninjau ulang
ketergantungan struktural terhadap industri tembakau, baik dari sisi ekonomi,
ketenagakerjaan, maupun penerimaan negara, agar kebijakan pengendalian rokok
dapat berjalan secara berkelanjutan dan menyeluruh. Sekitar 16.000 warga Kediri
menggantungkan hidupnya kepada industri rokok di kotanya (Nurkhalim et al., 2021). Kondisi ini membuat
pemerintah kesulitan untuk secara efektif mengurangi ketergantungan ekonomi
masyarakat pada industri tersebut. Meski begitu, studi dari (World Health Organization, 2020) menunjukkan bahwa
kombinasi antara kenaikan tarif cukai dan pembatasan non-fiskal seperti
pelarangan iklan secara signifikan mampu menurunkan konsumsi, mencegah ratusan
ribu kematian dini, dan menyelamatkan generasi muda dari adiksi nikotin.
PENUTUP
Dalam
menghadapi masalah eksternalitas negatif akibat konsumsi rokok di Indonesia,
cukai bukanlah satu-satunya solusi, melainkan merupakan salah satu instrumen
paling strategis dalam kerangka kebijakan kesehatan publik. Cukai yang
dirancang secara sederhana, dengan tarif yang lebih tinggi untuk produk yang
lebih berisiko, dan dikelola dengan transparan, bukan hanya menjadi alat untuk
menghimpun penerimaan negara, tetapi juga cara yang efektif untuk mengurangi
dampak sosial dan ekonomi akibat konsumsi dari rokok. Penelitian oleh Chaloupka
dkk. (2012) yang berjudul “Tobacco Taxes
as a Tobacco Control Strategy”, dikutip dalam (LPEM
FEB UI, 2023) menyebutkan bahwa kombinasi kebijakan fiskal dan non
fiskal secara konsisten lebih efektif dalam menurunkan konsumsi rokok dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat dibandingkan kebijakan tunggal. Oleh
karena itu, penguaran kebijakan cukai harus dibarengi dengan pelarangan total
iklan rokok, pembentukan kawasan bebas rokok yang ketat, serta program
rehabilitasi atau alternatif ekonomi bagi daerah yang bergantung pada industri
tembakau. Dalam jangka panjang, keberhasilan Indonesia dalam mengelola
eksternalitas rokok akan menjadi indikator keberpihakan negara terhadap
kesehatan generasi mendatang. Sebab, pada akhirnya, harga yang terbayar dari
konsumsi rokok bukan hanya tercermin dalam angka statistik, tetapi dalam nyawa
yang hilang, keluarga yang berduka, dan masa depan yang terancam oleh
ketergantungan struktural terhadap institusi yang merugikan kesehatan publik.
DAFTAR PUSTAKA
Ambarwati, D. (2025). Hubungan Pengetahuan dan Sikap Dengan
Perilaku Merokok Pada Remaja di SMK Negeri 68 Jakarta.
BPS Provinsi Jawa Barat. (2020). Statistisi Jawa Barat Ber-Opini Konsentrasi
Isu Sosial.
Center of Human dan Development
(CHED). (2024). Experts and Government
Institutions Discuss Increase in Cigarette Excise Tariffs 2025-2026.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
(2025, January 13). Penerimaan Bea Cukai
Tahun 2024 Tumbuh Positif. https://www.beacukai.go.id/berita/penerimaan-bea-cukai-tahun-2024-tumbuh-positif.html
Hidayatullah, T., & Iskandar, L.
(2023). BULETIN APBN Vol. VIII, Edisi 19.
III, 4.
International Union Against
Tuberculosis and Lung Disease. (2021). Manfaat
Kenaikan Pajak Atas Produk Tembakau di Indonesia.
https://theunion.org/sites/default/files/2021-03/Tax%20Benefit_indo_0.pdf
Kemenkes RI. (2024a). Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024
tentang Kesehatan.
Kemenkes RI. (2024b, August 2). Tekan Konsumsi Perokok Anak Dan Remaja.
https://kemkes.go.id/eng/tekan-konsumsi-perokok-anak-dan-remaja
Kemenkeu. (2024). PENGGUNAAN DANA BAGI HASIL CUKAI HASIL
TEMBAKAU. www.jdih.kemenkeu.go.id
Kementerian Sekertariat Negara
Republik Indonesia. (2024, June 3). Formula
Jitu Pemerintah Atasi Kenaikan Inflasi Medis dan Biaya Kesehatan.
https://www.setneg.go.id/baca/index/formula_jitu_pemerintah_atasi_kenaikan_inflasi_medis_dan_biaya_kesehatan
Kornelius Marbun, F. (2025). KEBIJAKAN CUKAI ROKOK SEBAGAI INSTRUMEN
FISKAL: STUDI KUALITATIF TENTANG DAMPAK KONSUMSI DAN PENERIMAAN NEGARA DI
INDONESIA.
LPEM FEB UI. (2023). DARI LPEM BAGI INDONESIA: AGENDA EKONOMI DAN
MASYARAKAT (2024-2029).
Nurkhalim, R. F., Wismaningsih, E.
R., Jayanti, K. D., Indra, Y., Dewi, K., & Nugraheni, R. (2021). Upaya Pencegahan Perilaku Merokok Pada Siswa
SD di Daerah Penghasil Rokok. 11,
2021. http://ojs.unm.ac.id/index.php/
Sembiring, L. J. (2021, August 12). Riset: Rugi Negara Lebih Besar Ketimbang
Untung dari Rokok! CNBC Indonesia.
https://www.cnbcindonesia.com/news/20210812161438-4-268044/riset-rugi-negara-lebih-besar-ketimbang-untung-dari-rokok
World Health Organization. (2020). Menaikkan Cukai dan Harga Produk Tembakau
untuk Indonesia Sehat dan Sejahtera.
Posting Komentar untuk "MENGHITUNG HARGA YANG TERBAYAR: EKSTERNALITAS ROKOK DAN PERAN CUKAI DALAM MENJAGA KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA"